Dua minggu lalu saya membaca biografi Leonardo da Vinci.
Walter Isaacson, sang penulis, juga mempublikasikan biografi Steve Jobs yang
sudah saya baca tahun lalu. Saya suka dengan gaya menulis Mr. Isaacson. Sangat indah
tapi tidak mengabaikan informasi yang
diberikan. Karena Steve Jobs memiliki keterkaitan dengan Leonardo da Vinci,
maka saya sempatkan waktu untuk membaca biografi sang legenda lukis ini.
“He saw beauty in both art and engineering, and his ability to combine
them was what made him a genius.”—Steve Jobs.
Leonardo da Vinci (yang memiliki arti, Leonardo yang berasal dari Vinci) merupakan putra dari Piero da Vinci (seorang notaris, kelas tinggi) dan Caterina Lippi (rakjat jelata, yatim piatu). Karena lahir di luar ikatan pernikahan, Leonardo tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak dan meneruskan karir ayahnya sebagai notaris. Leonardo cuma dapat abacus school, sekolah formal untuk ilmu-ilmu sederhana yang digunakan sehari-hari. Tapi sebenarnya, INI MERUPAKAN HAL YANG BAGUS LHO, karena Leonardo pada akhirnya bisa mengejar karir sebagai seniman kreatif. Leonardo sesungguhnya mudah bosan dan terdistraksi, jadi ya karir sebagai notaris itu enggak banget lah bagi dia.
...sangat menyenangkan ya melihat dari sisi positif seperti
ini.
Leonardo adalah pribadi yang mudah penasaran. Bukan kepo
sama gosip tetangga sebelah loh ya. Nggak peduli mah dia. Penulis menjelaskan
bahwa buku-buku catatan milik Leonardo merupakan rekam jejak rasa keingintahuan
paling besar dalam sejarah manusia. Buku-buku catatan Leonardo menjadi saksi
bagaimana dia berusaha memahami keindahan yang diihat, cara kerja mesin-mesin
yang ia temui atau ingin ia ciptakan, dan berbagai hal yang luput dari
pengamatan manusia pada umumnya saking kita terbiasa menemuinya sehari-hari. Hasil
riset, perhitungan, gambar prototype…
terekam dan bisa tersampaikan pada kita saat ini, bahwa kehebatan seseorang
dicapai dari hasil belajar dan kerja yang sangat intens dan berkelanjutan.
He pushed himself to perceive shapes and shadows with wondrous
precision. He was particularly good at apprehending movement, from the motions
of a flappy wing to the emotions flickering across a face. On this foundation
he built experiment.
Pada akhirnya Leonardo pindah ke Florence, sebuah kota yang sangat mendukung jiwa-jiwa seni dari berbagai disiplin. Di kota ini, Leonardo belajar dari banyak ahli, namun yang saya bahas cuma 3 ya:
Pertama, Brunelleschi,
seorang arsitek dome yang
merumuskan perspektif linier. Penemuannya mengubah seni secara luas dan
memengaruhi ilmu optik yang ada saat itu. Kedua, Alberti, yang mengembangkan penemuan Brunelleschi dalam menggunakan
geometri (dan matematika) ke dalam seni dua dimensi. Saya suka sama Alberti
sih, karena dia sangat termotivasi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan
masyarakat sehingga nggak ragu-ragu buat mempublikasikan hasil temuannya dan
rajin membuka forum-forum diskusi. Berkat dia, status seniman bisa setara sama
profesi-profesi humanis lainnya. Ketiga, Verocchio,
seorang pemahat ahli yang menjadi mentor Leonardo sejak usia 14 tahun. Leonardo
banyak berkolaborasi dengan Verocchio dan banyak belajar tentang the beauty of geometry darinya.
As scluptor, Verrochio had mastered the twists and thrusts that impart
dynamism to a body. Added to that is Leonardo’s ability to convey the effects
of light on object and his extreme observation of nature.
Yang paling saya suka dari Leonardo adalah pendiriannya yang
teguh akan apa yang ia yakini benar. Alberti berpendapat bahwa garis pada
lukisan penting untuk ditorehkan agar batas terlihat dengan jelas. Verocchio
pun melakukan hal itu. Namun dari pengamatannya sehari-hari, Leonardo
menyimpulkan bahwa tidak
ada garis batas yang mencolok ketika kita melihat benda-benda tiga dimensi. Hal ini dapat kita lihat di lukisan Tobias and the Angel, yang ia lukis
bersama Verocchio. Jatah yang dilukis Leonardo tampak lebih hidup dibandingkan
jatah yang dilukis Verocchio. Paling lucu waktu mereka melukis Baptism of Christ sih, karena saking
njomplangnya kemampuan Leonardo dan Verocchio, si Verocchio sampai ngambek dan
memutuskan untuk nggak mau ngelukis lagi seumur hidupnya :))
Lewat biografi ini, saya jadi mengerti kenapa banyak orang mengidolakan Leonardo
da Vinci; dia benar-benar mengubah cara kerja pelukis dengan lebih memfokuskan
pada realita dan detail, dia menggunakan ilmu pengetahuan untuk menciptakan
sebuah seni, dan dia memberikan emosi pada
objek-objek yang dilukis. Itu semua ia dapatkan dari kegigihan dan proses
belajar, yang kita pun bisa lakukan asalkan mau dan wani perih. Leonardo tidak terpaku pada krisis yang ia alami (menjadi anak tidak sah
dari seorang bangsawan sehingga tidak mendapatkan hak dan warisan dari
ayahnya), tetapi berfokus
pada pembangunan modal diri berdasarkan minat pada seni dan
bersungguh-sungguh dalam proses belajarnya.
Saya membaca biografi ini sambil berdiskusi panjang sama teman saya yang lagi double degree di Paris. Kita sama-sama kagum dengan semangat Leonardo dalam melakukan riset demi
mewujudkan hipotesis yang ia yakini. Kegigihan Leonardo menjadi semacam cambuk bagi
kita untuk berusaha lebih keras dalam belajar dan berkarya. Saya rasa, kalian juga harus menemukan teman yang bisa diajak diskusi tentang hal-hal semacam ini, karena akan sangat membantu dalam membentuk pemahaman dari berbagai sudut pandang (meminimalkan bias pembaca). Can't wait for another long phone calls with you, Armania. Oh, how I love the advance of technology! We can have free conversations whilst being miles away with superb quality.
Bonus penampakan catatan saya ketika membaca biografi ini:
No comments:
Post a Comment