Monday, 29 October 2018

[Book Review] Leonardo da Vinci oleh Walter Isaacson


Dua minggu lalu saya membaca biografi Leonardo da Vinci. Walter Isaacson, sang penulis, juga mempublikasikan biografi Steve Jobs yang sudah saya baca tahun lalu. Saya suka dengan gaya menulis Mr. Isaacson. Sangat indah tapi tidak mengabaikan informasi yang diberikan. Karena Steve Jobs memiliki keterkaitan dengan Leonardo da Vinci, maka saya sempatkan waktu untuk membaca biografi sang legenda lukis ini.

“He saw beauty in both art and engineering, and his ability to combine them was what made him a genius.”—Steve Jobs.

Leonardo da Vinci (yang memiliki arti, Leonardo yang berasal dari Vinci) merupakan putra dari Piero da Vinci (seorang notaris, kelas tinggi) dan Caterina Lippi (rakjat jelata, yatim piatu). Karena lahir di luar ikatan pernikahan, Leonardo tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak dan meneruskan karir ayahnya sebagai notaris. Leonardo cuma dapat abacus school, sekolah formal untuk ilmu-ilmu sederhana yang digunakan sehari-hari. Tapi sebenarnya, INI MERUPAKAN HAL YANG BAGUS LHO, karena Leonardo pada akhirnya bisa mengejar karir sebagai seniman kreatif. Leonardo sesungguhnya mudah bosan dan terdistraksi, jadi ya karir sebagai notaris itu enggak banget lah bagi dia.

...sangat menyenangkan ya melihat dari sisi positif seperti ini.

Leonardo adalah pribadi yang mudah penasaran. Bukan kepo sama gosip tetangga sebelah loh ya. Nggak peduli mah dia. Penulis menjelaskan bahwa buku-buku catatan milik Leonardo merupakan rekam jejak rasa keingintahuan paling besar dalam sejarah manusia. Buku-buku catatan Leonardo menjadi saksi bagaimana dia berusaha memahami keindahan yang diihat, cara kerja mesin-mesin yang ia temui atau ingin ia ciptakan, dan berbagai hal yang luput dari pengamatan manusia pada umumnya saking kita terbiasa menemuinya sehari-hari. Hasil riset, perhitungan, gambar prototype… terekam dan bisa tersampaikan pada kita saat ini, bahwa kehebatan seseorang dicapai dari hasil belajar dan kerja yang sangat intens dan berkelanjutan.

He pushed himself to perceive shapes and shadows with wondrous precision. He was particularly good at apprehending movement, from the motions of a flappy wing to the emotions flickering across a face. On this foundation he built experiment.

Pada akhirnya Leonardo pindah ke Florence, sebuah kota yang sangat mendukung jiwa-jiwa seni dari berbagai disiplin. Di kota ini, Leonardo belajar dari banyak ahli, namun yang saya bahas cuma 3 ya:

Pertama, Brunelleschi, seorang arsitek dome yang merumuskan perspektif linier. Penemuannya mengubah seni secara luas dan memengaruhi ilmu optik yang ada saat itu. Kedua, Alberti, yang mengembangkan penemuan Brunelleschi dalam menggunakan geometri (dan matematika) ke dalam seni dua dimensi. Saya suka sama Alberti sih, karena dia sangat termotivasi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan masyarakat sehingga nggak ragu-ragu buat mempublikasikan hasil temuannya dan rajin membuka forum-forum diskusi. Berkat dia, status seniman bisa setara sama profesi-profesi humanis lainnya. Ketiga, Verocchio, seorang pemahat ahli yang menjadi mentor Leonardo sejak usia 14 tahun. Leonardo banyak berkolaborasi dengan Verocchio dan banyak belajar tentang the beauty of geometry darinya.

As scluptor, Verrochio had mastered the twists and thrusts that impart dynamism to a body. Added to that is Leonardo’s ability to convey the effects of light on object and his extreme observation of nature.

Yang paling saya suka dari Leonardo adalah pendiriannya yang teguh akan apa yang ia yakini benar. Alberti berpendapat bahwa garis pada lukisan penting untuk ditorehkan agar batas terlihat dengan jelas. Verocchio pun melakukan hal itu. Namun dari pengamatannya sehari-hari, Leonardo menyimpulkan bahwa tidak ada garis batas yang mencolok ketika kita melihat benda-benda tiga dimensi. Hal ini dapat kita lihat di lukisan Tobias and the Angel, yang ia lukis bersama Verocchio. Jatah yang dilukis Leonardo tampak lebih hidup dibandingkan jatah yang dilukis Verocchio. Paling lucu waktu mereka melukis Baptism of Christ sih, karena saking njomplangnya kemampuan Leonardo dan Verocchio, si Verocchio sampai ngambek dan memutuskan untuk nggak mau ngelukis lagi seumur hidupnya :))

Lewat biografi ini, saya jadi mengerti kenapa banyak orang mengidolakan Leonardo da Vinci; dia benar-benar mengubah cara kerja pelukis dengan lebih memfokuskan pada realita dan detail, dia menggunakan ilmu pengetahuan untuk menciptakan sebuah seni, dan dia memberikan emosi pada objek-objek yang dilukis. Itu semua ia dapatkan dari kegigihan dan proses belajar, yang kita pun bisa lakukan asalkan mau dan wani perih. Leonardo tidak terpaku pada krisis yang ia alami (menjadi anak tidak sah dari seorang bangsawan sehingga tidak mendapatkan hak dan warisan dari ayahnya), tetapi berfokus pada pembangunan modal diri berdasarkan minat pada seni dan bersungguh-sungguh dalam proses belajarnya.


Saya membaca biografi ini sambil berdiskusi panjang sama teman saya yang lagi double degree di Paris. Kita sama-sama kagum dengan semangat Leonardo dalam melakukan riset demi mewujudkan hipotesis yang ia yakini. Kegigihan Leonardo menjadi semacam cambuk bagi kita untuk berusaha lebih keras dalam belajar dan berkarya. Saya rasa, kalian juga harus menemukan teman yang bisa diajak diskusi tentang hal-hal semacam ini, karena akan sangat membantu dalam membentuk pemahaman dari berbagai sudut pandang (meminimalkan bias pembaca). Can't wait for another long phone calls with you, Armania. Oh, how I love the advance of technology! We can have free conversations whilst being miles away with superb quality. 

Bonus penampakan catatan saya ketika membaca biografi ini:



No comments:

Post a Comment