Saturday, 26 January 2019

[Review Buku] One Child: The Story of China's Most Radical Experiment oleh Mei Fong


Many economists, however, agree that China's rapid economic rise had more to do with Beijing's moves to encourage foreign investment and private entrepreneurship than quota on babies.

Bacaan “serius” awal tahun disponsori oleh buku yang sempat bikin heboh bahkan hingga saat ini masih dilarang keberadaannya di China: One Child, The Story of China’s Most Radical Experiment. Sempat ragu untuk membahasnya di blog karena nggak yakin apakah saya bisa menyampaikan esensi dari buku ini secara netral. Tapi, mengingat alasan utama saya membaca buku ini adalah murni sebagai upaya memperluas cakrawala berpikir dan memahami dampak dari keputusan pemerintah mengeluarkan aturan yang membawa perubahan besar… saya akan mencoba untuk kritis dan netral sebisa mungkin (with my current emotional baggage, crowded mind, and all).

Kenapa harus netral? Karena topik yang sangat sensitif ini dibahas dari satu sudut pandang saja. Seorang jurnalis berketurunan Tionghoa yang tidak menetap di China sejak lahir  (hence, dia bukan salah satu yang merasakan langsung dampak aturan ini) melakukan penelitian dan menuliskannya dalam sebuah buku. Sudut pandang pemerintah? Tidak ada pembahasannya. Berdasarkan buku favorit saya sepanjang masa, Factfulness, kadang seorang jurnalis terlalu fokus pada pihak yang tertindas dan mengabaikan pihak yang sejahtera dari berlakunya sebuah aturan. Hal ini tentu menimbulkan pergeseran opini publik, terutama jika yang muncul bagian negatifnya saja. Buku ini dilarang kan keberadaannya? Apa alasan sesungguhnya dari pelarangan ini? Jadi, bisa saya katakan membaca buku ini benar-benar harus dengan kepala dingin dan mental yang stabil.

Sisi terang dari buku ini adalah saya tahu penulis benar-benar terjun ke lapangan (dia dapat penempatan di China oleh kantornya, Wall Street Journal, mulai tahun 2003) dan menyaksikan sendiri dampak dari aturan one child, terutama ketika gempa besar terjadi di Shifang. Meski hanya satu sisi, setidaknya cerita yang saya dapatkan lengkap. Terlebih, argumen-argumennya juga masuk akal, dengan data pendukung yang masih nyambung di otak. Jadi, rasa sangsinya masih di taraf yang wajar.

Problem the one-child policy would lead to: aging, son preference, a vastly diminished work force over time.

Menurut saya yang penting untuk disoroti dari dampak aturan one child ya 3 hal di atas, sih. Dengan alasan mencegah ledakan penduduk, China mewajibkan punya anak satu saja. Benar, beberapa dekade setelah aturan diberlakukan, akan terlihat penurunan jumlah penduduk. Tetapi ketika melihat rasio, akan kelihatan njomplangnya kelompok usia muda dengan usia tua. Kita bakal lebih banyak menjumpai warga usia lanjut di sana. Sedangkan kita tahu, mereka sudah tidak produktif dan justru membutuhkan banyak dana pensiun dan perawatan kesehatan. Bukannya yang diambil itu dari anggaran pemerintah? Atau lebih jelasnya sih, subsidi dari angkatan kerja produktif yang masih muda (yang, balik lagi, rasionya jauh lebih sedikit dari yang usia senja)? Ini bakal jadi PR yang berat bagi anak-anak tunggal di masa depan.

Yang kedua adalah preferensi untuk punya anak laki-laki *sigh*. Penjelasan dari buku ini agak brutal sih, karena faktanya, hanya demi mendapatkan anak laki-laki, warga negara di sana rela menggugurkan janin yang ketahuan perempuan atau bahkan menjual/membunuh/membuang bayi perempuan yang lahir. Pertamanya saya bingung, karena logikanya ya… kalau semua tetangga kalian nanam mangga, kenapa kalian ikut nanam mangga? Kenapa nggak nanam….pisang, misalnya? Kan jelas tuh waktu panen mangga massal, harganya bakal turun. Kita yang punya pohon pisang bakal berjaya. Tetapi kemudian saya sadar kalau di China, punya anak laki-laki berarti nama keluarga dan garis keturunan tidak akan punah. But still…. logika saya benar terjadi di masa sekarang, dimana banyak lelaki bujang kesulitan cari istri karena ketika menikah, calon pengantin perempuan membutuhkan mahar selangit (aturan dasar permintaan dan penawaran). 

Masalah ketiga adalah angkatan kerja masa depan yang menurun drastis, sedangkan China selama ini dikenal sebagai surganya mendirikan pabrik-pabrik bagi perusahaan asing. Sudah kelihatan kok penurunannya. Saat ini para mandor sudah harus nambahin bonus-bonus bagi karyawannya karena makin susah cari pengganti kalau ada karyawan yang rewel. Dari sisi karyawan memang bahagia. Tapi, apa perubahan ke depan yang harus dilakukan pemerintah dan perusahaan untuk menghadapi fenomena ini? Sudah siapkah? Biar… penambahan bonusnya nggak cuma demi mempertahankan karyawan aja gitu lho, tapi benar-benar setiap pihak yang terlibat dapat peningkatan value dari kondisi sebelumnya.


Temuan lain yang menarik bagi saya adalah pembahasan tentang ekspektasi. Sebagai anak satu-satunya, orang tua pasti memastikan si anak mendapatkan segalanya yang terbaik. Bahkan, kakek nenek pun ikut turun tangan. Tetapi, sampai kapan? Ketika kecil memang anak ini seperti punya banyak pelindung. Dua atau tiga puluh tahun kemudian deh… peran mereka bakal ditukar. Si anak bakal jadi tumpuan satu-satunya bagi sesepuhnya. Padahal, si anak juga harus mulai memikirkan masalah menikah dan keturunannya sendiri. Ini sama saja mempersiapkan si anak buat jadi sandwich generation, dengan serangan ganda ke atas karena nggak cuma harus ngurus ayah-ibu tapi juga ditambah kakek-nenek seorang diri.

Ekspektasi dari orang tua untuk menjadi SANGAT SUKSES pun pada akhirnya membuat banyak anak stres dan mengalami tuntutan tinggi dalam hal karir. Mereka harus jadi yang terbaik dari yang terbaik. Mereka jadi nggak punya waktu buat mencoba hal-hal baru dan nggak bisa belajar merasakan kegagalan (ya know what happen to us Asian when we going home with bad gradesSHAME!). Kegagalan nggak dianggap sebagai salah satu bentuk belajar, tetapi sebagai... kegagalan (ha!). Aib keluarga. Bikin rasa percaya diri terjun bebas. Horizon mereka jadi lebih sempit dan terfokus pada satu titik, dan terkadang titik tersebut adalah impian sang orang tua, bukan dari anaknya sendiri.

In that sense, the one-child policy can be judged a huge success, for it changed the mindset of Chinese people.

Masih banyak dampak lain yang terjadi berkat diberlakukannya aturan ini, baik dari sisi ekonomi, politik, hingga hubungan internasional. Saya sampai gedek sendiri lah bacanya. Faith in humanity destroyed, kakaaaa. Pantas sampai dilarang peredarannya di China ya, karena seperti membuka aib kegagalan negara dalam membuat satu aturan paling digadang-gadang dalam sejarah. 


Moral yang saya dapatkan dari buku ini adalah kita harus serahkan perkara bikin aturan ke yang berhak, mengingat aturan one child ini bukan disusun oleh para ahli ekonomi atau demografi atau fi-fi lainnya, melainkan disusun oleh rocket scientists. Banyak dampak langsung dan tidak langsung yang bakal otomatis terjadi macam domino, sehingga pertimbangan ahli tentu lebih meminimalkan risiko. Terus, penting juga buat membaca dengan kepala dingin buku-buku macam gini. Ambil informasi berharga, eliminasi propaganda politik, dan catat dengan baik. Mau gimana pun, pengalaman memang guru paling berharga. Tapi nggak asyik kan kalau masuk ke kelompok yang baper terus koar-koar di medsos padahal kita baru dapat info dari satu pihak saja?

Sekian dulu ulasan buku ini dari saya. Sungguh perjalanan yang terjal sampai akhirnya bisa menamatkan buku ini. Semoga cukup netral dan informatif ya buat kalian. Dan doakan saya bisa konsisten mengulas buku yang saya baca ke depannya. 

1 comment:

  1. Tantangan terbesar pemerintah china benar-benar merubah mind-set akan arti sejahterah. Cukup netral ulasan anda mengingat anda adalah wanita. Saya meng-aamiin-i atas kemauan baik anda mengulas buku yang membacanya menguras emosi sekaligus ego! Hahaa terimakasih burthday girl!

    ReplyDelete