Monday, 11 August 2025

On Being an Actual Adult....

Semakin saya bertambah usia dan bertemu berbagai jenis manusia, ternyata ada banyak pembelajaran yang harus saya ambil dengan cara yang tidak menyenangkan.

Salah satunya adalah kebiasaan berbagi.

Terlihat dari rekam jejak blog, bisa dikatakan blog ini ada karena saya suka yapping tentang buku-buku yang saya baca. Bacaan apa yang disukai, tidak disukai, dan yang saya rekomendasikan untuk dipilih karena nggak mau sesuatu yang bagus itu tidak diketahui khalayak.....

Kemudian, hobi baca berkembang menjadi hobi melukis. Diawali dengan rasa penasaran ingin menambah keterampilan dan membuktikan ke diri sendiri bahwa melukis itu bisa dipelajari sendiri lewat bantuan Youtube dan Instagram, saya rutin meluangkan waktu akhir pekan untuk berlatih. Setiap hasilnya saya upload ke akun media sosial karena saya memang tipe orang yang harus held myself accountable lewat postingan (visual) yang bisa dilihat orang banyak dan dikunjungi kembali dengan mudah. Kalau disimpan dalam jurnal (tertulis), akan terlupakan oleh ketertarikan-ketertarikan lain. Namun rupanya, tidak semua orang memaknai postingan saya sebagai sebuah milestone pribadi. Entah bagaimana, ada yg melihat lukisan saya, bacaan saya, dan langsung membandingkan ke diri mereka sendiri, hingga mengambil kesimpulan: kamu ada di posisi ber-privilege karena belum dibebani oleh peran keluarga, pantas saja bisa beraktivitas sebebas itu.

Dari situlah saya mulai merefleksikan diri, bahwa mungkin ketika sudah berkarir dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, sesuatu yang sebenarnya dibagi untuk menyemangati diri sendiri, totally harmless, ternyata bisa dianggap sebagai serangan bagi orang lain. Dianggap kurang beban kerja lah, dianggap nggak sesibuk kolega lain lah, dianggap nggak semenderita kolega lain lah...... Padahal memang keberadaan media sosial saya itu hanya untuk update milestone aktivitas hobi saja. Membaca, melukis, berkebun, masak..... Nggak pernah pamer jalan-jalan atau foya-foya lain. Aktivitas melukis pun, dilakukan setelah jam kerja (18:00-23:00) dan di akhir pekan. Sehingga, jadi bingung ya sebenernya kesenjangannya ada di mana. Apalagi kalau melihat pengetahuan saya ini memungkinkan saya untuk menambah 2 mata kuliah ajar yang bisa diberikan ke mahasiswa, kok rasanya lebih banyak positif dari negatifnya?

Jadi, yah, berdasarkan yang sudah-sudah, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti berbagi apa saja "prestasi" hidup yang sudah terselesaikan. Tentu tetap membaca, melukis, berkebun, dan memasak di waktu luang. Bagaimanapun, melukis sukses menjadi coping mechanism untuk meregulasi emosi negatif proses berduka. Setiap gelombang kesedihan muncul, menyelesaikan 1 kanvas lukisan membantu untuk mengembalikan suasana hati ke (minimal) normal. Membaca selalu dilakukan karena banyak aktivitas yang memerlukan proses menunggu dan selalu dirutinkan untuk cafe hopping sebagai momen rekreatif. Sedangkan berkebun dan memasak, well it's my responsibility to people of my home....  

Saat ini saya mulai membiasakan untuk menulis jurnal visual pribadi sebagai pengganti media update, tentu sambil merapel karya yang sudah dibuat sebelumnya. Memang benar, kita tidak bisa mengendalikan reaksi orang lain terhadap yang kita sampaikan, tapi kita bisa menyesuaikan apa yang kita sampaikan agar meminimalkan reaksi yang tidak baik. Dalam kasus ini, penyampaiannya saya sesuaikan menjadi nol.

So, this is my actual goodbye...

Sebagai bonus, saya ((pamerkan)) untuk terakhir kalinya, 3 lukisan terbaik yang berhasil terselesaikan baru-baru ini. Artwork pieces no. 160, 162, dan 170...




No comments:

Post a Comment