Thursday, 13 October 2016

[Review Buku] Murder with Fried Chicken and Waffles oleh A.L. Herbert

Murder with Fried Chicken and Waffles
(A Mahalia Watkins Soul Food Mystery #1)
penulis A.L. Herbert
320 halaman, NA/ Misteri
Rating:  
Dipublikasikan 24 Februari 2015 oleh Kensington

Welcome to Mahalia’s Sweet Tea—the finest soul food restaurant in Prince George’s County, Maryland. In between preparing her famous cornbread and mashed potatoes so creamy “they’ll make you want to slap your Momma,” owner Halia Watkins is about to dip her spoon into a grisly mystery…
Halia Watkins has her hands full cooking, hosting, and keeping her boisterous young cousin, Wavonne, from getting too sassy with customers. Having fast-talking entrepreneur Marcus Rand turn up in her kitchen is annoying enough when he’s alive—but finding his dead body face-down on her ceramic tile after hours is much worse.
Marcus had his enemies, and the cast iron frying pan beside his corpse suggest that at last, his shady business deals went too far. Halia is desperate to keep Sweet Tea’s name out of the sordid spotlight but her efforts only make Wavonne a prime suspect. Now Halia will have to serve up the real villain—before the killer returns for a second helping.
Feature delicious recipes from Mahalia’s Sweet Tea, including Sour Cream Corn Bread and Sweet Corn Casserole!

Dalam kisah misteri kali ini kita akan mengikuti Halia, pemilik sekaligus juru masak dari restoran Sweet Tea, untuk mengungkap pembunuh Marcus—co-owner yang ia temukan meninggal di dapur restorannya. Halia sebenarnya bisa saja menyerahkan urusan ini kepada polisi, namun reputasi restoran sangat dipertaruhkan. Tidak ada kan yang ingin pergi makan di restoran yang menjadi crime scene, selezat apapun masakannya?

Karena itulah Halia memiliki ide “gila” untuk memindahkan jasad Marcus jauh-jauh dari restoran. Dengan dibantu Wavonne, sepupunya, duo the dumb and dumber ini membuang jasad Marcus ke dekat tempat sampah sambil menunggu seseorang “menemukannya” keesokan paginya. Namun, ketika berita penemuan mayat tidak mereka dengar seharian, barulah mereka sadar bahwa jasad Marcus sudah hilang! Siapa orang yang repot-repot membersihkan pekerjaan mereka? Apakah orang yang sama yang membunuh Marcus?

Rupanya aksi Halia dan Wavonne malah berbuntut panjang. Ditambah “kebodohan” Wavonne mencuri kartu kredit Marcus dan menggunakannya untuk berbelanja di sepenjuru kota, detektif kini malah mencurigai Wavonne sebagai tersangka utama pembunuh Marcus. Untuk menyelamatkan sepupunya dari masalah yang ia mulai itulah, Halia bertekad untuk mengungkap siapa pembunuh Marcus yang sebenarnya.

Tidak persis seperti yang disajikan restoran Sweet Tea, tapi tetep bikin ngiler! 

Saya sangat bisa menangkap passion Halia terhadap makanan berkualitas yang dimasak dengan sepenuh hati, yang dihantarkan dengan apik oleh penulis di bagian pembukaan cerita. Karena itu saya heran ketika masalah Marcus ini berbuntut panjang, Halia malah jadi sibuk kesana kemari untuk melakukan investigasinya sendiri. Sweet Tea benar-benar diabaikan. Padahal kalau diperhatikan di awal-awal, Halia-lah yang bertanggung jawab dalam sebagian besar tugas meracik dan memasak menu-menu andalah Sweet Tea. Lantas, bagaimana Sweet Tea bisa tetap bertahan kalau koki utamanya ilang-ilangan begini? Lagipula, Halia benar-benar ceroboh dalam melakukan investigasi dan malah mengundang kecurigaan terhadap dirinya sendiri dan Wavonne. Halia juga kekeuh sekali buat mentraktir siapapun yang kira-kira memiliki informasi yang ia butuhkan, sehingga bikin penasaran orang kan, kok dia repot-repot banget. Maksudnya saya sih kelewat niat gitu lah kalau motif Halia adalah hanya untuk membebaskan Wavonne dari status tersangka, karena dia malah getol sekali “mengalihkan” perhatian detektif ke suspect lain.


Murder with Fried Chicken and Waffles menawarkan tema diversifikasi yang cukup kental. Hampir semua tokohnya merupakan warga berkulit hitam (African-American), dan surprisingly hal ini jarang saya temui lho. Sepertinya penulis berusaha untuk menghapus stereotip masyarakat akan warga berkulit hitam di kota kecil yang biasa kita lihat di TV (yang kebanyakan lebih menjurus ke sifat-sifat negatif), walaupun pada akhirnya saya malah tidak bisa “nyambung”. Menurut saya, masyarakat African-American memiliki gaya bicara dan aksen tersendiri yang khas ala-ala nigga begitu (yaa nggak sampe nge-rap juga sih cara ngomong mereka lol). Halia di sini sama sekali tidak memiliki cara bicara seperti itu, yang membuat saya awalnya nggak ngeh kalau dia itu juga termasuk African-American. Mungkin karena saya di sini hanya “membaca” dialog, jadi tidak bisa menangkap aksen Halia dengan jelas.


Walaupun kisah dalam novel ini lumayan kurang realistis dan tidak dieksekusi dengan maksimal, bagian akhir dari novel ini cukup “nendang” dan bahkan sukses bikin saya ngidam buat makan ayam goreng tepung KF*. Tidak berhenti di situ, saya sampai berencana buat memasukkan pancake (yaaah sejenis lah ya sama waffle, nggak punya cetakan waffle soalnya EHEHE) sebagai salah satu menu Weekly Sunday Brunch yang akhir-akhir ini rutin saya adakan. Mungkin kapan-kapan saya bakal mencoba resep-resep andalan Halia yang ada di novel ini ya, mumpung kelinci percobaannya bersedia hahahaha.


Overall, saya memberikan rating tiga bintang untuk novel ini. Dua bintang untuk eksekusi ceritanya, sedangkan satu bintang tambahan buat resep-resep lezat yang dihadirkan di sini. Saya tetap ingin melanjutkan baca buku keduanya kok, teman-teman. Semoga Halia dan Wavonne memiliki perkembangan karakter yang signifikan ya.

2 comments:

  1. Cieee Sany baca buku misteriii xDDDb wah keren ada resepnya, aku juga mauu ih! hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. belum siap buat misteri yang berat dan gelap hahah

      Delete