Murder with Fried Chicken and Waffles
(A Mahalia Watkins Soul Food Mystery #1)
penulis A.L. Herbert
320 halaman, NA/ Misteri
Rating:
Dipublikasikan 24 Februari 2015
oleh Kensington
Welcome to Mahalia’s Sweet Tea—the finest soul food restaurant in Prince
George’s County, Maryland. In between preparing her famous cornbread and mashed
potatoes so creamy “they’ll make you want to slap your Momma,” owner Halia
Watkins is about to dip her spoon into a grisly mystery…
Halia Watkins has her hands full cooking, hosting, and keeping her
boisterous young cousin, Wavonne, from getting too sassy with customers. Having
fast-talking entrepreneur Marcus Rand turn up in her kitchen is annoying enough
when he’s alive—but finding his dead body face-down on her ceramic tile after
hours is much worse.
Marcus had his enemies, and the cast iron frying pan beside his corpse
suggest that at last, his shady business deals went too far. Halia is desperate
to keep Sweet Tea’s name out of the sordid spotlight but her efforts only make
Wavonne a prime suspect. Now Halia will have to serve up the real
villain—before the killer returns for a second helping.
Feature delicious recipes from
Mahalia’s Sweet Tea, including Sour Cream Corn Bread and Sweet Corn Casserole!
Dalam kisah misteri kali ini kita
akan mengikuti Halia, pemilik sekaligus juru masak dari restoran Sweet Tea,
untuk mengungkap pembunuh Marcus—co-owner
yang ia temukan meninggal di dapur restorannya. Halia sebenarnya bisa saja
menyerahkan urusan ini kepada polisi, namun reputasi restoran sangat
dipertaruhkan. Tidak ada kan yang ingin pergi makan di restoran yang menjadi crime scene, selezat apapun masakannya?
Karena itulah Halia memiliki ide
“gila” untuk memindahkan jasad Marcus jauh-jauh dari restoran. Dengan dibantu
Wavonne, sepupunya, duo the dumb and
dumber ini membuang jasad Marcus ke dekat tempat sampah sambil menunggu
seseorang “menemukannya” keesokan paginya. Namun, ketika berita penemuan mayat
tidak mereka dengar seharian, barulah mereka sadar bahwa jasad Marcus sudah
hilang! Siapa orang yang repot-repot membersihkan pekerjaan mereka? Apakah
orang yang sama yang membunuh Marcus?
Rupanya aksi Halia dan Wavonne malah berbuntut panjang. Ditambah “kebodohan” Wavonne mencuri kartu kredit Marcus dan menggunakannya untuk berbelanja di sepenjuru kota, detektif kini malah mencurigai Wavonne sebagai tersangka utama pembunuh Marcus. Untuk menyelamatkan sepupunya dari masalah yang ia mulai itulah, Halia bertekad untuk mengungkap siapa pembunuh Marcus yang sebenarnya.
Tidak persis seperti yang disajikan restoran Sweet Tea, tapi
tetep bikin ngiler!
Saya sangat bisa menangkap passion Halia terhadap makanan berkualitas
yang dimasak dengan sepenuh hati, yang dihantarkan dengan apik oleh penulis di
bagian pembukaan cerita. Karena itu saya heran ketika masalah Marcus ini
berbuntut panjang, Halia malah jadi sibuk kesana kemari untuk melakukan
investigasinya sendiri. Sweet Tea benar-benar diabaikan. Padahal kalau
diperhatikan di awal-awal, Halia-lah yang bertanggung jawab dalam sebagian
besar tugas meracik dan memasak menu-menu andalah Sweet Tea. Lantas, bagaimana Sweet
Tea bisa tetap bertahan kalau koki utamanya ilang-ilangan begini? Lagipula,
Halia benar-benar ceroboh dalam melakukan investigasi dan malah mengundang
kecurigaan terhadap dirinya sendiri dan Wavonne. Halia juga kekeuh sekali buat mentraktir siapapun
yang kira-kira memiliki informasi yang ia butuhkan, sehingga bikin penasaran
orang kan, kok dia repot-repot banget. Maksudnya saya sih kelewat niat gitu lah kalau motif
Halia adalah hanya untuk membebaskan
Wavonne dari status tersangka, karena dia malah getol sekali “mengalihkan”
perhatian detektif ke suspect lain.
Murder with Fried Chicken and Waffles menawarkan tema
diversifikasi yang cukup kental. Hampir semua tokohnya merupakan warga berkulit
hitam (African-American), dan surprisingly
hal ini jarang saya temui lho. Sepertinya penulis berusaha untuk menghapus
stereotip masyarakat akan warga berkulit hitam di kota kecil yang biasa kita
lihat di TV (yang kebanyakan lebih menjurus ke sifat-sifat negatif), walaupun pada
akhirnya saya malah tidak bisa “nyambung”. Menurut saya, masyarakat
African-American memiliki gaya bicara dan aksen tersendiri yang khas ala-ala nigga begitu (yaa nggak sampe nge-rap juga sih cara ngomong mereka lol).
Halia di sini sama sekali tidak memiliki cara bicara seperti itu, yang membuat
saya awalnya nggak ngeh kalau dia itu juga termasuk African-American. Mungkin karena saya di sini hanya “membaca” dialog, jadi tidak
bisa menangkap aksen Halia dengan jelas.
Walaupun kisah dalam novel ini
lumayan kurang realistis dan tidak dieksekusi dengan maksimal, bagian akhir
dari novel ini cukup “nendang” dan bahkan sukses bikin saya ngidam buat makan
ayam goreng tepung KF*. Tidak berhenti di situ, saya sampai berencana buat
memasukkan pancake (yaaah sejenis lah ya sama waffle, nggak punya cetakan
waffle soalnya EHEHE) sebagai salah satu menu Weekly Sunday Brunch yang akhir-akhir ini rutin saya adakan.
Mungkin kapan-kapan saya bakal mencoba resep-resep andalan Halia yang ada di
novel ini ya, mumpung kelinci percobaannya bersedia hahahaha.
Overall, saya memberikan rating tiga bintang
untuk novel ini. Dua bintang untuk eksekusi ceritanya, sedangkan satu bintang
tambahan buat resep-resep lezat yang dihadirkan di sini. Saya tetap ingin
melanjutkan baca buku keduanya kok, teman-teman. Semoga Halia dan Wavonne
memiliki perkembangan karakter yang signifikan ya.
Cieee Sany baca buku misteriii xDDDb wah keren ada resepnya, aku juga mauu ih! hehe
ReplyDeletebelum siap buat misteri yang berat dan gelap hahah
Delete