Saturday, 18 May 2019

[Review Buku] What I Talk About When I Talk About Running oleh Haruki Murakami


Tahun 2013 adalah pertama kalinya saya serius mendalami literatur luar negeri. Masih ingat betul, salah satu buku yang saya pilih adalah milik Murakami: What I Talk About When I Talk About Running. Saya cari versi cetaknya, saya garis bawahi kata yang asing (banyak banget), dan saya baca sampai di titik saya menyerah. Saat itu saya tahu kalau Haruki Murakami adalah penulis hebat, sehingga karyanya pasti bagus. Tapi toh, saya tetap nggak mudeng di buku ini dia ngomong apa dan berhenti di bab kedua.

Enam tahun kemudian, saya membuka buku ini kembali. Kemampuan Bahasa Inggris saya sudah mengalami perbaikan yang signifikan, sampai di titik dimana saya nggak hanya ngerti dia ngomong apa, tetapi juga bisa merasakan emosi seperti apa yang Murakami tuturkan di kata-kata yang dia susun. Pada akhirnya, saya bisa memahami apa yang orang-orang elukan tentang kehebatan Murakami. Buku ini adalah media dimana saya bisa benar-benar melihat seperti apa buah dari kerja keras dan konsistensi mempelajari Bahasa Inggris tanpa henti.

Pain is inevitable. Suffering is optional.

What I Talk About When I Talk About Running adalah buku pertama (dan hingga saat ini, satu-satunya) Murakami yang saya baca. Pendekatan yang saya ambil sama seperti ketika membaca Roxane Gay: melalui memoir yang mereka tulis. Berbeda dengan Hunger milik Roxane Gay, saya bisa menerima What I Talk About When I Talk About Running. Dari sini saya mendapati kenyataan bahwa penulis tersohor baru bisa saya nikmati karyanya ketika saya sudah jelas bisa menikmati memoir mereka. Memoir yang merupakan refleksi “suara hati” si penulis menjadi acuan apakah saya satu visi (atau, tidak berada dalam kubu yang sangat berseberangan) dalam suatu hal.

Most of what I know about writing I’ve learned through running every day. These are practical, physical lessons. How much can I push myself? How much rest is appropriate—and how much is too much? How far can I take something and still keep it decent and consistent? When does it become narrow-minded and inflexible? How much should I be aware of the world outside, and how much should I focus on my inner world? To what extent should I be confident in my abilities, and when should I start doubting myself? I know that if I hadn’t become a long-distance runner when I became a novelist, my work would have been vastly different. How different? Hard to say. But something would have definitely been different.

Seperti judulnya, What I Talk About When I Talk About Running membahas tentang hobi besar Haruki Murakami: lari. Pandangannya mengenai olahraga yang dianggap orang-orang bisa memunculkan “inspirasi” bagi penulis (lari bukan metode untuk mencari inspirasi bagi Murakami, melainkan sarana untuk bisa menikmati waktu pribadi dalam diam demi mempertahankan kesehatan mentalnya), metode yang ia pakai untuk bisa menyelesaikan marathon, dan kesusahan-kesusahan yang ia alami yang jarang dibicarakan oleh pelari profesional pada umumnya, dipecah dalam 9 bab yang setiap babnya menceritakan perjuangannya menaklukkan marathon negara-negara berbeda. Pemikiran-pemikiran Murakami mengenai lari meresonansi caranya menulis buku. Dan secara tidak mengejutkan, saya merefleksikan pemikiran Murakami ke dalam etika kerja yang saya punya. 

Murakami (atau lebih tepatnya, si Penerjemah buku ini) mampu mengungkapkan dengan baik passion dari penulis serta pandangannya atas berbagai hal. Tulisan dari Murakami jadi tampak bernyawa dan memotivasi bagi saya. Meskipun buku ini diterbitkan hampir 10 tahun yang lalu, efeknya terasa sehebat buku nonfiksi bestseller terkini yang lagi nangkring di rak toko buku. Saya terutama suka dengan realisasi diri yang ada di balik kalimat-kalimat humble berikut:

What’s crucial is whether your writing attains the standards you’ve set for yourself.

At least that’s why I’ve put in the effort day after day: to raise my own level.

In long-distance running the only opponent you have to beat is yourself, the way you used to be.

I can see that during my twenties my worldview changed, and I matured.

I’ve gradually come to the realization that this kind of pain and hurt is a necessary part of life.

…and that’s why I’ve had to constantly keep my body in motion, in some cases pushing myself to the limit, in order to heal the loneliness I feel inside and to put it in perspective.

I’m the kind of person who has to experience something physically, actually touch something, before I have a clear sense of it. No matter what it is, unless I see it with my own eyes I’m not convinced.

…needless to say, it takes quite a bit of time, plus effort, to go through each stage, step by step, and arrive at a conclusion. Sometimes it takes too long, and by the time I’m convinced, it’s already too late. But what’re you going to do? That’s the kind of person I am.

Dari berbagai filosofi lari milik Murakami yang benar-benar merefleksikan kehidupan saya, terdapat satu kutipan yang benar-benar menggambarkan perjuangan saya dalam hal akademik. Murakami secara luwes menjelaskan perasaannya ketika menerjang jarak “batas aman” miliknya melalui kalimat: “Up to nineteen miles I’m sure I can run a good time, but past twenty-two miles I run out of fuel and start to get upset at everything. And at the end I feel like a car that’s run out of gas. But after I finish and some time has passed, I forget all the pain and misery and am already planning how I can run an even better time in the next race.” 

Ketika pertama menyusun rencana tesis, saya tahu saya akan menerjang batas aman yang seumur hidup saya punya. Jangan tanya semenderita apa saya waktu proses eksekusinya; sudah dalam taraf menyeret diri dari hari ke hari. Tetapi penderitaan itu saya alami dengan penuh kesadaran kalau hasil akhirnya dapat memberikan kemudahan bagi banyak pengusaha UMKM. Untuk mendapatkan hasil sesuai standar pribadi, saya benar-benar harus mendorong diri sendiri dengan iming-iming jajanan atau gelato atau drama korea. Saya jadi paham sama apa arti “musuh terbesar adalah diri sendiri,” karena hari ke hari, saya harus atur strategi biar progress saya maju ke depan dan bukannya mundur ke belakang (atau lebih parah, mandeg di tengah-tengah). Sebegitu sensitifnya saya sama tesis saat itu, waktu dekan saya bercanda “Gimana, kapan lanjut S3?” saya membalas dengan guyonan juga tapi sambil bergidik. Rupanya, ketika semua sudah selesai, beberapa bulan sudah lewat, saya mendapati kalau saya sudah siap jika memang takdir menuntun saya buat lanjut S3. Saya bahkan positif bisa lebih kuat dalam menanggung tekanan penelitian yang semakin rumit.

Just… accept me when I’m being dramatic. I just need to complain. After that, I’ll give my very best at every step needed.

Begitulah. Memoir dari Murakami ini memiliki peran besar untuk membantu saya “mengenali” diri saya sendiri, baik dalam hal filosofi hidup yang saya pegang maupun etika kerja yang saya lakukan selama ini. Saya dulu nggak sadar kalau saya sangat kompetitif, perfeksionis, dan persuasif—karena lebih sering menampilkan emosi mager dan bodo amat sama masalah orang lain. Saya juga ternyata mudah defensif ketika rencana hidup yang sudah ditata matang-matang diremehkan atau dianggap angin lalu ketika seorang lelaki meminta saya untuk give all up buat “jadi ibu rumah tangga saja”—padahal sebelumnya saya kira saya itu tipe yang mengikuti arus. Membaca buku ini benar-benar membuka mata tetapi juga menghabiskan waktu yang cukup lama karena sedikit-sedikit saya harus berhenti dan berpikir. Mengganggu flow membaca saya yang biasanya bisa tamat 5-6 buku per bulan.

Selain sebagai media refleksi, informasi berharga yang disajikan Murakami dalam memoir ini adalah penjelasan di balik layar mengenai kegagalan dan penderitaan dia selama berlatih untuk marathon. Kita tidak bisa menjumpai hal semacam ini di sembarang buku self-help. Kejujuran Murakami dalam mengakui kelemahannya dalam satu hal serta upaya gigihnya untuk tetap maju memantik motivasi di diri saya untuk terus meningkatkan kualitas diri dengan berani mengenali kelemahan-kelemahan yang saya punya. Hanya dengan begitu saya bisa tahu harus fokus improve di bagian mana.

Exerting yourself to the fullest within your individual limits: that’s the essence of running, and a metaphor for life—and for me, for writing as well.

No comments:

Post a Comment