Mari kita bicara tentang When Breath Becomes Air.
Buku ini adalah sebuah memoar yang ditulis oleh Paul Kalanithi, seorang residen ahli bedah yang divonis menderita kanker paru-paru setahun sebelum masa residensinya selesai. Yang membuat memoar ini menarik perhatian saya adalah sebelum menempuh pendidikan kedokteran, Paul terlebih dahulu mendalami sastra Inggris dan human biology. Bahkan, tujuan utama Paul mempelajari ilmu kedokteran adalah untuk mencari jawaban yang tidak bisa didapatkan dari pendidikannya terdahulu: what makes human life meaningful?
Jujur saja, saya memulai buku ini dengan perasaan skeptikal karena pertama, tampilan cetak Vintage tidak nyaman untuk dibaca; spacing-nya terlalu lebar. Kedua, gaya penulisan Paul agak… tidak pas sama ekspektasi. Diterbitkan tahun 2017, When Breath Becomes Air tidak hanya menyabet predikat The Worldwide Bestseller, tetapi juga masuk daftar The Wellcome Book Prize. Versi yang saya punya dihiasi banyak pujian dari figur dan media terkemuka, dengan kata-kata seperti… lyrical, profound, moving, dan sejenisnya. Tentu saya jadi penasaran sebagus apa karya tulis seseorang yang sudah menekuni sastra selama puluhan tahun mengenai ilmu dan filosofi medis yang tampak sangat rumit dan penuh istilah asing. Namun ketika membaca, saya tidak merasakan apa yang dimaksud "pujian-pujian" tersebut. Heck, bahkan foreword dari Abraham Verghese pun terasa datar. Mungkin itu alasan saya menunda untuk melanjutkan baca buku ini sejak Bulan April (well, itu dan keserakahan saya).
Buku ini saya tenteng kemana-mana sebelum akhirnya bisa dibaca secara ngegas: ke dokter gigi tiap dua mingguan, ke kafe, ke gelato, bahkan ditaruh samping bantal biar pas bangun buat sahur bisa sambil baca. Dedikasi banget lol.
Baru sekitar halaman 51 mulai terasa flow yang baik dari cerita yang diutarakan Paul. Mungkin karena di bagian ini, Paul mulai menceritakan masa-masa ketika dia mengenyam pendidikan kedokteran setelah sebelumnya mendalami ilmu sastra dan biologi, suatu hal yang memantik rasa penasaran saya sejak awal. Karena latar belakang dua bidang tersebut, Paul memiliki mindset untuk memperlakukan pasiennya tidak sebagai “masalah untuk dipecahkan” atau sebatas “paycheck untuk membayar tagihan,” melainkan sebagai sesama manusia yang sedang dalam masa transisi dari hidup normal ke perjalanan panjang penuh rasa sakit dan putus asa. Paul secara khusus memberikan perhatian kepada keluarga pasien, karena mereka adalah pihak yang akan berjuang bersama si pasien. Sangat perlu untuk mengedukasi mereka tentang kondisi apa yang akan mereka hadapi bersama-sama.
Amid the tragedies and failures, I feared I was losing sight of the singular importance of human relationships, not between patients and their families but between doctor and patient. Technical excellence was not enough. As a resident, my highest ideal was not saving lives—everyone dies eventually—but guiding a patient or family to an understanding of death or illness. When a patient comes in with a fatal head bleed, that first conversation with a neurosurgeon may forever color how the family remembers the death, from a peaceful letting go (“Maybe it was his time”) to an open sore of regret (“Those doctors didn’t listen! They didn’t even try to save him!”). When there’s no place for the scalpel, words are the surgeon’s only tool.
Inilah poin yang ingin saya konfirmasi melalui buku ini. Beberapa calon tenaga medis yang sempat saya kenal belum paham mengenai pentingnya membangun hubungan yang baik antara dokter dengan pasien beserta keluarganya. Dulu saya tidak paham kenapa mereka malah jengkel ketika ibu pasien curhat pakai bahasa daerah yang asing dan merepet. Atau, ngomel ke saya ketika ada keluarga yang tidak paham sama istilah njelimet yang mereka lontarkan (saya jawabnya: "Ya jelas mereka nggak mudeng, kan pas dosennya jelasin, mereka nggak ikut masuk ke kelas"). Tidak semua seperti itu, tetapi ketika saya nemu, saya jadi bertanya-tanya tentang pendidikan hubungan interpersonal seperti apa yang diajarkan ketika masih di kelas. I GET IT, y'all sleepy from pulling that endless night shifts. Tetapi keadaan tidak bersahabat yang tercipta pada akhirnya akan membuat pasien enggan untuk lebih terbuka dalam menceritakan kondisi kesehatannya.
I feared I was on the way to becoming Tolstoy’s stereotype of a doctor, preoccupied with empty formalism, focused on the rote treatment of disease—and utterly missing the larger human significance.
…the physician’s duty is not to stave off death or return patients to their old lives, but to take into our arms a patient and family whose lives have disintegrated and work until they can stand back up and face, and make sense of, their own existence.
Maka, pantas jika tulisan Paul dalam memoar ini dianggap sebagai acuan penting untuk membentuk mindset dan empati yang lebih baik bagi tenaga-tenaga medis di luar sana. Paul Kalanithi memilih jalur ini untuk memahami lebih mendalam apa arti hidup yang meaningful bagi pasien-pasien yang menjadi tanggungjawabnya sehingga dia bisa memilih tindakan yang tepat untuk mereka. Dan saya rasa, mindset-nya akan bagus sekali untuk diaplikasikan oleh calon-calon tenaga medis yang baru saja terjun ke dunia koas. Siapa yang mengira ilmu sastra bisa diaplikasikan sebaik ini di bidang kedokteran, huh? Membuat saya lebih mengapresiasi orang-orang yang mendalami ilmu berat ini (baik sastra, kedokteran, atau gabungan keduanya).
Neurosurgery requires a commitment to one’s own excellence and a commitment to another’s identity. The decision to operate at all involves an appraisal of one’s own abilities, as well as a deep sense of who the patient is and what she holds dear.
Doctors in highly charged fields met patients at inflected moments, the most authentic moments, where life and identity were under threat; their duty included learning what made that particular patient’s life worth living, and planning to save those things if possible—or to allow the peace of death if not. Such power required deep responsibility, sharing in guilt and recrimination.
Porsi yang cukup besar di memoar ini tentu ketika Paul pada akhirnya didiagnosis menderita kanker di paru-parunya. “Topi” yang dia pakai langsung berubah dari yang sebelumnya adalah dokter yang sangat disegani—digadang-gadang akan dipromosikan bahkan dipasrahi untuk memimpin sebuah lab dengan fasilitas mewah—menjadi pasien dengan pilihan pengobatan yang terbatas. It’s like he asked God for one thing and God gave him plenty: pada akhirnya Paul benar-benar paham apa makna hidup dan mati yang sesungguhnya, karena dia tidak hanya berkesempatan menjadi agen yang menghantarkan orang-orang pada kehidupan/kematian tetapi juga menjadi pihak yang secara khusus didatangi kematian. Saya cukup kagum dengan kemampuan Paul mengartikulasikan apa yang dia rasakan dan refleksikan dalam masa-masa tersulitnya itu, karena eksekusinya tidak terkesan cringey seperti buku-buku yang ditulis oleh pejuang kanker lain dan justru masuk ke dalam kategori informatif (bahkan bagi orang awam nggak mudengan macam saya). Buku ini jadi semacam legacy yang sangat berharga bagi kita semua—tidak hanya terbatas untuk tenaga medis saja—untuk membentuk pola pikir yang lebih baik, khususnya dalam hal memperlakukan sesama manusia dan menghargai hidup yang sudah diberikan Tuhan ke kita.
Membaca epilog, I felt like the shittiest person alive karena sudah ngomel soal gaya menulis Paul yang tidak sesuai ekspektasi ketika kenyataannya, dia menulis buku ini di bulan-bulan terakhir hidupnya. Ketika pikiran sudah susah untuk diajak konsentrasi, jari-jari susah digerakkan, dan berbagai keterbatasan fisik lain menghalanginya untuk menyelesaikan buku ini (istrinya menjelaskan bahwa When Breath Becomes Air adalah karya Paul yang baru setengah jadi, karena di tengah menulis ini kondisinya mendadak memburuk). Pandangan saya mengenai buku ini jadi lebih “ramah” karena dibutuhkan banyak pengorbanan dari sang penulis untuk menghantarkannya ke kita, agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sany, stop being so asshole to your books.
Our patients’ lives and identities may be in our hands, yet death always wins. Even if you are perfect, the world isn’t. The secret is to know that the deck is stacked, that you will lose, that your hands or judgment will slip, and yet still struggle to win for your patients. You can’t ever reach perfection, but you can believe in an asymptote toward which you are ceaselessly striving.
No comments:
Post a Comment