Saturday 10 August 2019

[Review Buku] The Great Alone oleh Kristin Hannah


Di Bulan Agustus ini, saya mulai menjalankan resolusi untuk membaca historical fiction, genre yang rupanya masih jarang sekali terpegang. Buku yang pertama saya pilih adalah The Great Alone yang memenangkan Goodreads Choice Awards 2018 kategori The Best Histofical Fiction. Saya benar-benar memulai buku ini tanpa membaca sinopsis atau ulasan tentangnya terlebih dahulu, agar kesan ke cerita yang ditawarkan benar-benar orisinil. Saya rasa, ini adalah pendekatan yang paling tepat ketika ingin membaca fiksi.

The Great Alone menceritakan tentang kehidupan keluarga Allbright yang harus berpindah-pindah mengikuti kondisi sang ayah, Ernt Allbright, yang menderita PTSD sepulangnya dari perang Vietnam. Pada suatu ketika, Ernt menerima surat dari ayah Bo Harlan—sahabatnya yang meninggal dalam penyanderaan bersama Ernt—yang menyatakan bahwa Bo mewariskan tanah dan rumah yang ia miliki di Kaneq, Alaska, kepadanya. Ernt memandang wasiat Bo sebagai tiket emas untuk memulai kehidupan baru, sehingga keluarga Allbright akhirnya menjual segala yang mereka punya untuk pindah ke Kaneq.

Someone said to me once that Alaska didn’t create character; it revealed it.

Karena cerita ini terjadi di tahun 1970-an, tentu Alaska yang dituju oleh Allbright masih berbentuk hutan rimba; belum ada listrik dan jalan yang memadai. Terlebih, lahan milik Bo berada di ujung peradaban, jadi ya paling mblusuk. Untungnya, warga Kaneq memiliki kebiasaan saling bantu-membantu, khususnya bagi pendatang baru yang akan mengurus lahan mendiang tetangga kesayangan mereka. Pagi-siang-malam, berhari-hari, mereka gotong royong membersihkan rumah lama Bo agar layak dihuni keluarga Allbright. Mereka juga sangat mewanti-wanti keluarga Allbright untuk mulai menimbun persediaan bahan makanan dan peralatan untuk musim dingin, karena musim dingin di Alaska sangat kejam dan selalu menelan korban.

Sejauh ini, penulis sangat lihai dalam mendeskripsikan keindahan Alaska beserta masyarakat asli Kaneq. Transisi antara kehidupan keluarga Allbright sebelum dan sesudah pindah bisa nampak kontras (dalam imajinasi saya, pergantian antara nuansa warna coklat ke warna hijau ke warna putih kentara sekali). Salah satu contohnya bisa dilihat di paragraf ini:

The season of melting, movement, noise, when the sunlight tenatively came back, shone down on dirty, patchy snow. The world shifted, shrugging off the cold, making sounds like great gears turning. Blocks of ice as big as houses broke free, floated downstream, hitting anything in their way. Trees groaned and fell over as the wet, unstable ground moved beneath them. Snow turned to slush and then to water that collected in every hollow and indentation in the land.

Penulis juga sangat cermat membubuhkan layer pada karakter Ernt dan Cora, sepasang suami istri yang saling mencintai dengan cara yang ekstrim, membuat kita waspada dengan cara mereka menghadapi persoalan yang datang bahkan sejak awal cerita dan cemas akan nasib anak mereka, Leni. Lampu merah peringatan seakan menyala terus, mengindikasikan bahwa kondisi Ernt yang sangat ceria pasca pindah ke Kaneq akan semakin menurun seiring bergantinya musim. Bersama Leni, kita akan ikut terjebak dalam masalah yang ditimbulkan oleh perilaku Ernt dan pasifnya Cora dalam mencegah memburuknya keadaan. 

All this time, Dad had taught Leni how dangerous the outside world was. The truth was that the biggest danger of all was in her own home.

“I can’t,” Mama finally said, and Leni thought they were the saddest, most pathetic words she’d ever heard.

Hubungan antara Ernt dan Cora yang toxic ini mendominasi cerita bagian awal, membuat saya berpikir bahwa novel ini hanya bisa dibaca oleh mereka-mereka yang tidak sedang mengalami depresi.There’s something dark about this book. Meskipun Leni (yang jadi fokus sudut pandang cerita) cukup jeli untuk memilah tindakan orangtuanya yang tidak wajar, setiap ada krisis terjadi…. rasanya terlalu mengerikan untuk dicerna pembaca yang punya sejarah kelam seputar kekerasan dalam rumah tangga maupun korban perilaku manipulatif pasangan.

Seperti yang telah diduga, cerita akan semakin kompleks seiring bergantinya musim. Kesetiaan Cora, rasa sayang Leni, dan kerukunan Kaneq semakin diuji dengan memburuknya kondisi Ernt. Pembaca benar-benar disuguhkan seperti apa rasanya hidup dengan seseorang yang abusif dan manipulatif, membuat saya berpikir novel ini hampir sama dengan It Ends with Us milik Colleen Hoover. Tetapi eksekusinya jelas lebih bagus di The Great Alone, karena sang penulis tahu cara menulis untuk tidak meromantisasi tindakan manipulatif sebagai bentuk cinta. Di The Great Alone, kacamata pembaca rasanya lebih jernih untuk melihat kalau hal seperti itu salah. Kita bisa menunjuk adegan mana saja memunculkan red flag, suatu keterampilan penting untuk mendeteksi dan mencegah masuknya seseorang yang abusif dan manipulatif di hidup kita. Pengalaman saya sama The Great Alone mungkin bisa digambarkan dengan: datang untuk cerita fiktif rekreatif, pulang dengan bekal ilmu kehidupan tambahan. 

Namun pada akhirnya, saya tetap harus kecewa dengan perkembangan karakter Leni. Melihat tindak-tanduk dia di awal cerita, saya kira dia bakal tumbuh menjadi pribadi yang pandai atau minimal, intuitif. Kan dia ceritanya dibesarkan di lingkungan yang menantang, gitu. Rupanya, dia malah jadi karakter yang harus berkali-kali diselamatkan orang lain murni karena dia bodoh (arti: sudah berkali-kali diingatkan dan diberi arahan, eh ujung-ujungnya dilanggar). Saya bisa maklum ketika usia Leni masih belasan; pubertas dan sebagainya memang faktor yang susah dikendalikan. Tetapi ketika dia sudah berusia 25 tahun dan masih terlalu polos hingga akhirnya Large Marge dan kakek Leni harus pakai koneksi mereka untuk menyelamatkan Leni…. ugh girl when are you gonna learn. Untuk karakter-karakter lain macam Cora dan Ernt, saya sejak awal memang tidak mengharapkan perkembangan karakter yang berarti sih, jadi ya saya biasa aja ngelihat mereka jumpalitan kesana-kemari tanpa ada arah perubahan yang jelas. 



Namanya manusia memang tidak baik kalau terlalu berharap.

Kesimpulannya, The Great Alone cocok dibaca buat kalian yang penasaran sama rasanya hidup bersama seseorang yang manipulatif dan abusif. Cukup netral dan edukatif. Oh ya, di sepertiga akhir cerita ada plot twist yang cukup bikin deg-degan loh, pemirsa. Lumayan lah jadi nggak senep gara-gara ketemu Ernt sama Cora mulu. Yang paling berkesan bagi saya sih gaya penulisan Kristin Hannah ya, jadi sepertinya ke depan bakal baca karya lain dari dia (The Nightingale, mungkin?). The Great Alone bisa dibilang merupakan awal yang baik untuk petualangan saya mengeksplor genre historical fiction.

No comments:

Post a Comment