Wednesday, 14 August 2019

[Review Buku] The Tattooist of Auschwitz oleh Heather Morris


The Tattooist of Auschwitz adalah salah satu rekomendasi Bill Gates periode musim panas 2019, dan saya tidak menyukainya.

Akar permasalahan dari ketidakcocokan saya dengan The Tattoist of Auschwitz adalah format awalnya yang berbentuk screenplay. Pengembangan yang dilakukan penulis hingga bisa menjadi sebuah novel menurut saya sangat bare minimum karena ketika dibaca, narasinya terasa singkat, padat, dan jelas. Tentu ini bisa jadi poin positif bagi pembaca yang masih belajar Bahasa Inggris atau mencari bacaan ringan. Tetapi bagi pembaca yang serius ingin mendalami kisah Holokaus, world building yang seadanya membuat sulit untuk membayangkan kengerian yang dialami penghuni kamp konsentrasi Auschwitz, Birkenau. Terlebih, ketika membaca novel ini saya baru saja menamatkan The Great Alone yang memiliki deskripsi sangat apik. Jadi memang terasa anjlok sekali ketika baca The Tattoist of Auschwitz.


Hal lain yang membuat saya tidak semangat membaca buku ini adalah fakta bahwa novel ini diangkat dari kisah nyata Lale Sokolov. Sang penulis mendengarkan kisahnya langsung dari Lale, untuk kemudian di-cross check ulang dengan arsip sejarah yang ada. Mungkin ya, saya bakal bisa lebih hormat sama Lale kalau dia tidak mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seseorang yang saking karismatiknya, secara tidak sadar orang-orang bisa tertarik untuk mendengarkan dan menuruti apa yang dia katakan (how proud you can be to be able to describe yourself as charming and charismatic???). Rasanya penulis terlalu berfokus sama Lale dan apa yang ia pikirkan sehingga detail-detail penting yang seharusnya dibahas secara lebih dalam jadi luput dari perhatian pembaca. Salah satu contohnya adalah karakter Herr Doktor Josef Mengele. Penggambaran karakter Josef Mengele menurut saya cuma setengah-setengah sehingga saya tidak cukup penasaran buat (setidaknya) googling sekejam apa dia di dunia nyata (karena di novelnya penceritaannya nanggung). Saya baru ngeh kalau dia itu benar-benar jahanam ketika baca memoir Morgue: A Life in Death meskipun kemunculan Josef Mengele di situ jauh lebih sedikit dari di The Tattoist of Auschwitz. Ironis, ya. Awalnya malah saya nggak sadar kalau Mengele yang dimaksud di Morgue adalah Mengele yang sama di The Tattoist of Auschwitz, saking tidak terkesan apa-apa sama penceritaan di The Tattoist of Auschwitz.

Karakter Lale yang tidak humble (tetapi ingin dianggap humble dan karismatik) membuat saya sulit untuk mengapresiasi hal-hal positif tentangnya, bahkan sejak awal cerita. Misalnya nih, penguasaan bahasa yang ia miliki (Slowakia, Jerman, Rusia, Perancis, Hungaria, dan sedikit Polandia). Sebagai seorang penerjemah, kesan saya soal kemampuan Lale tentu sangat dalam. Apalagi ketika mengetahui kalau kemampuan bahasa Lale memungkinkan dia untuk bekerja sebagai tätowierer, sebuah jabatan dengan berbagai privilege dan benar-benar menyelamatkannya dari ancaman yang berkali-kali datang. Wow, kan. Harusnya. Melalui jabatannya itu, Lale memang berhasil menyelamatkan banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Tetapi dia juga membuat banyak orang celaka. Saya sudah berusaha untuk berpemikiran terbuka dalam menghadapi novel ini, namun tetap kecewa hingga akhir cerita.

Mengenai kisah cinta antara Lale dan Gita, ugh I feel so bad for saying this… tapi jujur saja saya bingung menghadapi mereka. Sejak kenal Gita, Lale yang tidak begitu profesional jadi semakin tidak profesional. Gemas sekali membaca saat-saat ketika Lale (dan orang-orang dekatnya!) hampir celaka hanya karena mereka tidak bisa menahan nafsu. Gita juga tidak digambarkan secara memorable sehingga saya selalu bertanya-tanya ini orang apa spesialnya sih kok sampai rela nekat ini itu demi bisa bertemu dan bertemu. Apa tidak sadar jika nyawa saudara-saudara sekalian terancam setiap waktu, hmm? Sempat-sempatnya. And don't let me start with Lale's cheesy pickup lines. A tragedy.


Kesimpulannya, tidak ada—saya ulang, tidak ada!—manfaat yang bisa saya ambil ketika menamatkan novel ini. Cuma menambah emosi dan mengurangi saldo rekening. Padahal, saya termasuk orang yang oportunis dan selalu berusaha mengambil manfaat dan pelajaran dari apa yang saya alami maupun konsumsi. Setamatnya novel ini, saya tidak dapat pengetahuan baru mengenai Holokaus. Saya juga tidak bisa mengambil pelajaran berharga apapun dari kisah Lale dan Gita. Terus, belum ada semingguan, sebagian besar cerita sudah terhapus dari memori. Dan yang paling bikin bete lahir batin nih, novel ini membuat saya kena reading block! Ya nasib. Untung waktu itu beli novelnya pas ada diskon lumayan banyak (dari Rp 243.000 jadi Rp 111.000), jadi emosi yang kerasa juga jadi agak kediskon.

2 comments:

  1. Sany..... just stubled into your blog today after...how long...? hehehe... Suwiiii

    Ni buku ada di timbunan play bookku entah sejak kapan tahun, tapi terus ketimbun wkwkwkwk...

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo mba lilaaaa apa kabaaaar???
      ayo pankapan meet-up, sama mba ika juga

      Delete