Alone in the Kitchen with an Eggplant: Confessions of Cooking for One and Dining Alone adalah sebuah antologi yang direkomendasikan Goodreads berdasarkan alrogitma histori bacaan saya. Karena judulnya menarik dan sedikit bersinggungan dengan kehidupan yang saat ini saya jalani, akhirnya saya memutuskan untuk membacanya.
Buku ini berisi “pengakuan” beberapa penulis tentang kebiasaan mereka ketika makan sendirian. Ada yang membencinya, ada yg menunggu-nunggu saat ini tiba, ada yang hanya bisa bermimpi melakukannya karena tuntutan keluarga, ada yang lukewarm saja, dan persepsi-persepsi jujur lainnya. Mau penulis besar atau penulis kecil, semua pendapat mereka valid. Sudut pandang mereka menguji kemampuan saya untuk memposisikan diri di "sepatu" milik orang lain.
Over the years I’ve settled on a few basic beliefs, one of which is that whatever we do for pleasure, we should try to do, or learn to do, and practice on occasion, in solitude. A kind of test to gauge our skills and see how deep the passion lies and to find out what it is we truly like, to discover—minus other tastes and preferences—what specifically gives us pleasure. We all have our eccentricities. Alone, we indulge.
Sang editor menyusun bab demi bab dengan sangat baik. Saya yang hanya familiar dengan beberapa nama saja jadi tidak pilih-pilih bab dan patuh membacanya dari awal sampai akhir. Meski harus saya akui, ketertarikan saya menurun seiring bab berlalu. Maaf ya untuk cerita-cerita yang ditempatkan di bagian akhir, saya jadi lebih masa bodoh ke kalian. Tapi tetap saya baca dan apresiasi semaksimalnya, kok.
Ada beberapa cerita yang secara personal menohok batin. Yang pertama adalah tulisan Ann Patchett yang berjudul Dinner for One, Please, James. Caranya mengungkapkan opininya sangat jujur dan lugas sehingga meskipun sudut pandangnya berbeda, saya tetap bersedia mendengar, memahami, dan menghargainya. Kalimat yang saya suka dan merefleksikan apa yang saya pikirkan yaitu:
That was his pleasure, unimaginable to me but nevertheless deeply admired.
Pada bab Thanks, but No Thanks milik Courtney Eldridge, saya rasanya ingin menangis. Sangat menyakitkan membaca curahan hati penulis tentang trauma yang ditorehkan mantan suaminya kepada caranya menghargai makanan. Membuat saya sadar jika kenaikan status seseorang tidak selalu mendatangkan rasa bahagia atau nyaman. Saya rasa cerita dia adalah yang terbaik di buku ini. Perlu riset soal karya lain dari Courtney Eldridge, nih.
Sedangkan di bab The Legend of Salsa Rosa karya Ben Karlin, saya merasa sangat termotivasi untuk berjuang secara lebih gigih. Cara penulis "membungkus" pengalamannya untuk bisa memasak (murni karena butuh), lengkap dengan learning curve-nya, sangat menyenangkan untuk diikuti. Pada masa ketika saya bebal sekali untuk dikasih nasehat, tulisan ini muncul dan menampol mindset saya yang mulai senang bermalas-malasan.
The last time I made salsa rosa in Italy was for a good-bye dinner for a small group after our program ended. I robotically sliced zucchini in my kitchen, thinking about all the times I had made the dish. I thought about how much better it was now. I thought about my experiments and my experience and why the sauce improved each time I made it. It was a brutal but important lesson for someone who, up to this point, had done far more cooking for himself than for anyone else. I realized the secret ingredient in most great cooking is the confidence of others—the look in their eyes, the nods of encouragement and amazement that what they are eating is so good and you were responsible for it. For me, the proof did not come in the pudding, but in being surrounded by pudding lovers.
Namun ada juga bab-bab yang mengecewakan. Alone in the Kitchen with an Eggplant yang ditempatkan di urutan pertama dan menjadi judul buku, tidak begitu mengena di hati. Karena dibuka dengan cerita yang biasa saja itulah, saya mulanya sangsi sama kualitas keseluruhan buku. Untung tidak berhenti di bab pertama dan pindah ke buku lain, karena banyak penulis-penulis baru yang layak untuk dibaca karyanya saya temukan di sini. Saya justru tidak suka dengan karya-karya penulis besar macam milik Haruki Murakami yang berjudul The Year of Spaghetti. Terlalu absurd dan tidak bisa saya ambil faedahnya.
Pengalaman membaca antologi kali ini cukup berkesan, meskipun tidak menjadikan saya terobsesi untuk mengeksplor buku-buku sejenisnya. Secara pribadi, buku ini mengajarkan ke saya betapa pentingnya kemampuan untuk mendengar dan menghargai sudut pandang orang lain. Apa yang disuka dan tidak disuka oleh seseorang, pasti ada alasan di baliknya. Selain itu—yang menurut saya merupakan hal terpenting—buku ini menunjukkan ke saya bahwa setiap orang punya caranya masing-masing untuk menikmati kesendirian dan membahagiakan diri sendiri. Entah melalui makanan yang melalui proses belanja dan masak yang panjang, melalui makanan terinstan yang bisa kita temukan, atau dengan menghabiskan waktu berjam-jam di restoran, kita harus bisa menemukan ritual yang sangat personal itu. Apapun yang membuat kita bahagia, kita harus memfasilitasinya agar bisa terwujud. We deserve to get that form of precious solitary happiness; after all, we owe that to ourselves.
No comments:
Post a Comment