Thirteen Reasons Why. Judul
yang tidak asing bagi saya. Ya gimana, sejak pertama kali tertarik dengan dunia
fiksi luar negeri, novel ini adalah salah satu yang saya koleksi. Namun saya
tidak pernah punya keberanian untuk membacanya. Hingga akhirnya ketika Netflix
mengangkatnya menjadi serial TV tahun ini—dan menjadi tontonan laris bagi remaja AS—saya menjadi
tergugah. Apa yang membedakannya dengan novel-novel lain yang diangkat ke layar
kaca/ lebar? Kenapa Thirteen Reasons Why begitu sukses dan diminati?
Untuk mendapatkan jawabannya,
saya beranikan diri untuk membaca novelnya yang sudah terabaikan dan terlupakan selama
bertahun-tahun karena tertumpuk oleh novel-novel lain. You guys, saya senang karena dulu ketika
belum tertarik, saya tidak memaksakan diri untuk membacanya. Karena novel itu
seperti jodoh, akan cocok jika bertemu pada saat yang tepat.
Setelah saya selesai menonton serial ini (dan juga membaca novelnya), dapat
saya simpulkan pendapat saya kenapa serial TV Thirteen Reasons Why bisa laris bak
Samyang Fire Noodle kala belum diimpor resmi di Indonesia:
Beberapa TV seri yang diangkat
dari novel akan mengalami rombakan cerita yang luar biasa. Bahkan, pembaca
setianya saja sampai tidak bisa mengenali apa yang mereka tonton kecuali nama kedua tokoh utama. Di Thirteen
Reasons Why, hal itu tidak terjadi. Memang ada beberapa perubahan, tetapi
lebih pada penambahan tokoh yang sebelumnya tidak begitu disorot seperti misalnya
orang tua Hannah. Mereka mendapatkan porsi yang cukup esensial dan membuat
keseluruhan cerita menjadi utuh.
Diversifikasi Pemain
Mungkin kalian belum tahu, tetapi
publik Amerika (khususnya generasi Milenial) sedang mengalami krisis
kepercayaan dengan produser film/ TV series. Tuduhan whitewashing kepada seluruh cast selalu menjadi poin yang mereka
proteskan. Saya juga setuju sih, karena kadang produser itu juga ngawur dalam memilih pemain. Sudah jelas
di novel itu si pemain X adalah hispanic,
kenapa diperankan oleh artis berkulit putih? Kenapa orang kulit hitam hampir
selalu mendapat peran yang berkonotasi negatif (bandar narkoba, jambret, kalo
cewek ya jadinya peran antagonis yang suka nyinyir)? Kenapa kemunculan pemain
Asia nggak bisa lebih dari 10 detik?
Thirteen Reasons Why
menjawab semua tuntutan itu. Kalau saya perhatikan, pemain-pemain mereka super
duper beragam. Kulit hitam banyak. Asia juga surprisingly banyak. Intinya, pemain kulit putih tidak mendominasi
banget. Representation matters, guys.
Mungkiiiin, karena baru TV seri ini yang berani keluar dari zona nyaman,
makanya pada rame. Pembeli adalah raja. Dan di dunia hiburan, menuruti
keinginan penonton adalah jalan terbaik untuk memenangkan perhatian mereka.
Pesannya yang Kuat
Thirteen Reasons Why mengangkat tema
mengenai suicide dan bullying. Sepanjang cerita, yang saya
lihat ya tentang itu. Tidak ada unsur cinta yang berlebihan. Seri ini
membuktikan bahwa yang dicari penonton ketika menikmati sebuah film ya bukan
melulu tentang cinta. Penekanan bahwa little
things matter dan everything affects
everything bisa saya terima dengan baik. Kadang kita ingin mencairkan
suasana dengan membuat guyonan-guyonan kecil, tetapi jarang kita berpikir apa
konsekuensinya. Apakah teman yang menjadi sasaran guyonan kita bisa menerimanya
dengan baik? Ataukah guyonan kecil kita akan melekat menjadi reputasi baru dia?
Pengambilan Gambar yang Bagus
Serius. Saya suka banget sama
cara mereka mengemas cerita di dalamnya. Kontras warnanya nyaman dilihat,
transisi antar adegan gampang dibedakan dan tidak terlalu memusingkan (akan
cukup sering terjadi flashback di
sini, cara membedakannya di masa lalu di jidat Clay mulus, kalo masa sekarang
jidatnya luka dan memakai plaster), dan akting para pemainnya natural sesuai
dengan usia. Betah banget deh kalau mau maraton seri ini.
Sarkasme!
Mungkin TV series ini adalah yang
paling “buku banget”. Maksudnya, percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya
sangat mirip dengan yang ada di novel-novel. Bagi saya hal ini kerasa banget,
terutama novel-novel YA yang tokohnya sarkas bin cuek ala ala remaja baru gede
hehe. Nggak ada tuh momen yang garing atau bikin ngilu saking romantisnya. Dan
representasi orang tua gaul dan suportif beneran ditonjolkan di sini. Bagai
angin segar di antara TV series remaja lainnya.
(Setelah saya baca berkali-kali
argumen di atas, saya jadi merasa kalo tulisan ini mirip banget sama Line
Today. Hahaha.) Intinya, saya berpendapat bahwa TV seri ini bagus, dan memang
layak untuk memperoleh pujian dan kesuksesan besar. Alangkah baiknya kalau seri ini bisa
dinikmati oleh para remaja Indonesia secara luas, walaupun budayanya memang
cukup berbeda. Pesannya sama kok, hati-hati dengan apa yang keluar dari “otak”
kita, entah dalam bentuk lisan maupun tulisan. Little things matter, and
everything affects everything.
Mungkin kita sering lihat ya
komentar-komentar penuh kebencian yang tersebar di media sosial.
Kurang-kurangin lah. Kalau kalian pikir itu hanya
bercanda kok sensi amat cyin dan emang
nyatanya dia gitu bukan salah gue dong nyinyirin ini kan jamannya kebebasan
berpendapat, coba lihat dari sudut pandang diri kita sendiri. Seberapa
merugikan diri kita sih shaming people itu?
Katakanlah suatu
saat kita mau ngelamar kerja, dan ketika perusahaan melacak aktivitas kita di
media sosial buat mengenal kita lebih jauh, mereka nemu “sejarah” kelam kita (yeah I’m talking to you too fake accounts).
Bukannya yang rugi kita juga? Jaman sudah maju banget, yang namanya
transparansi udah jadi teman kita sehari-hari. Efeknya mungkin tidak akan kita rasakan saat ini juga, tetapi akan terus mengintai kita di masa depan. Internet remembers everything.
Sebelum ulasan saya ini merembet
kemana-mana, mari stop di sini saja hehe. Kalau kamu suwung, atau penasaran
dengan cerita Hannah & Clay, bisa banget lho mulai nonton seri ini.
Hitung-hitung belajar juga biar jadi sarkas tulen hehe!
Fun Fact!!
Thirteen Reasons Why mulanya akan
diadaptasi menjadi film, dengan Selena Gomez memerankan Hannah Baker. Namun,
pada akhirnya terjadi perombakan besar dan diputuskan akan diproduksi sebagai serial TV, kemungkinan karena durasi 2 jam tidak
akan bisa meng-cover seluruh cerita
dengan baik. Selena Gomez pun dengan bijak melepas perannya sebagai aktris
utama, karena ia merasa popularitasnya akan mengganggu feel orang-orang ketika menontonnya. Seperti yang kita tahu, Selena
Gomez sangat mendukung mental health and
bullying awareness (lagu Kill 'Em With Kindness, anyone?), sehingga ia tetap ingin mendukung pembuatan seri ini. Oleh
karena itu, akhirnya Selena Gomez didapuk menjadi produser eksekutif dan pengisi
soundtrack. Buat yang pengen tahu bagaimana tampilan sekilas seri ini, bisa
dilihat di video soundtrack di bawah ini:
baru nonton sampai tape 4 side B. masih belum bisa neruskan karna merasa terganggu banget sama hannah baker yang kelewat drama queen banget. nunggu dapat feel lagi baru lanjutin nonton, pengen baca bukunya tapi banyak review orang2 agak memusingkan
ReplyDeletejustru menurut saya itu inti dari novel ini mba. hannah bukannya drama queen, dia cuma korban dari sentilan-sentilan kecil yang makin lama makin numpuk. seperti snowball effect.
Deletekeliatan kok awal2 dia cuek sama ejekan teman2. nah karena dia ngga punya teman, makanya dia makin lama makin tertekan. apalagi mantan sahabatnya ikutan ngejekin dia. lewat seri ini saya jadi belajar buat lebih aware sama kondisi teman-teman saya. saya jg belajar buat lebih ngerem omongan/ candaan yg sekiranya bisa melukai hati teman-teman saya.
seri ini banyak membuka mata saya sama hal2 yang sebelumnya saya anggap sepele, semoga mba bisa nerusin yaaa, imo bagus koook :)
lagi mengumpulkan niat lagi buat teruskan drama seriesnya. karna temen ngeracunin ini drama lagi.
Deletesuka sih sama ceritanya apalagi kalo nonton terus memposisikan diri sebagai hannah, sebenernya merasa apa yang dirasakan seorang hannah (karna pernah mengalami sendiri walaupu tidak separah hannah), tapi tetep gak bisa bohong kalau kesel sendiri melihat hannah yang awalnya cuek tapi karna kecuekannya itu masalah makin besar dan akhirnya bikin dia depresi sendiri. aku pikir kalau hannah dari awal gak cuek dan mau cerita ke orang sekitarnya yakin masalah gak akan sebesar ini.
pengen baca bukunya, karna drama seriesnya masih ada season 2. kalau baca bukunya kan langsung tuntas. semoga niat bukan cuma sekedar niat haha
WOOOOW SANY DAEBAK DEHHHH... ku belum nonton, belum baca, q ketinggalan :'
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAku udah nonton ke- 13 episodenya,btw itu penuh misteri banget mba,aku juga suka sama castnya kaya udah cocok meraninnya,apa lagi sama clay dan alex huhu.gak sabar nih nunggu 13rw season 2 😍😍 alur ceritanya cukup complicated sih
ReplyDelete