We’re all shareholders in Tom Valeska: Jamie, Megan, and me. His mom and my parents. Loretta and Patty. Everyone who’s ever met him wants a piece of him, because he’s the best person there is. I quickly count up all of those people. I include his dentist and doctor. Maybe he’s only 1 percent mine. That has to be enough. I have to share.
Ini dia buku baru dari Sally Thorne yang lagi dipuji-puji banyak booktuber akhir-akhir ini. Karena saya suka The Hating Game—novel debut dia—makanya saya coba baca 99 Percent Mine. Am I liking it as much as The Hating Game? Surprisingly, no.
Mari kita ulas.
99 Percent Mine mengambil cerita yang sangat berbeda dengan The Hating Game, baik dari segi kepribadian tokoh, latar belakang cerita, serta alur. Tokoh utama kita di sini, Darcy Barrett, baru saja mewarisi rumah dari neneknya, Loretta. Wasiat yang diberikan oleh Loretta adalah agar rumah bobrok itu direnovasi dengan budget yang sudah disiapkan untuk kemudian dijual. Hasil penjualan rumah tersebut nantinya akan dibagi dua dengan saudara kembar Darcy, Jamie Barrett. Jamie sangat suka uang, sehingga ketika Darcy mengusir kenalan Jamie yang akan membeli rumah itu dengan harga tinggi (in her defense, though, he was rude to a mourning family), Jamie marah besar dan memutuskan untuk hengkang dari sana.
Konsekuensi dari hengkangnya Jamie adalah Darcy harus mengawasi sendirian proyek renovasi rumah Loretta. Untungnya, kontraktor yang dipilih oleh keluarga Barrett adalah Tom Valeska, sahabat Darcy dan Jamie sejak kecil sekaligus buffer bagi keduanya. Tom baru pertama kali mengambil proyek sebagai pemilik dan penanggungjawab perusahaan miliknya sendiri, sehingga dia merasakan tekanan yang besar untuk bekerja dengan sempurna. Keberadaan Darcy yang sudah lama naksir Tom tidak mempermudah pekerjaan dia dan budget pas-pasan yang disediakan Loretta membuat dia semakin sulit untuk menyelesaikannya dengan baik.
"I'm the client. I'm his best friend's sister. I'm Mr. and Mrs. Barrett's weak-hearted daughter. I'm the liability he swore to take care of."
Cukup jarang saya ketemu sama penulis yang rela kerja keras buat membangun dari nol unsur-unsur dalam novel barunya. Tapi Sally Thorne mau, dan saya mengapresiasinya. Saya cukup simpati sama penulis, karena dia memiliki tekanan yang berat di buku kedua ini. Karya debutnya diterima dengan sangat baik oleh pembaca, dan karya keduanya sangat dinanti. Untuk akhirnya bisa menerbitkan buku kedua, pasti diperlukan motivasi dan semangat kerja yang sangat tinggi.
Cuma….. saya tidak bisa simpati sama tokoh-tokoh di 99 Percent Mine. Protagonis kita, Darcy, digambarkan sebagai seorang wanita yang berusaha membangun imej kuat tetapi sebenarnya super rapuh. Maklum, kerja sebagai bartender mengharuskan dia buat tegas biar nggak diremehkan sama lelaki gahar atau lelaki anak mama atau lainnya. Tapi, gimana saya bisa menikmati cerita dari sudut pandang Darcy kalau sejak awal cerita, kerjaan dia cuma membanding-bandingkan diri dengan Megan, tunangan Tom a.k.a. cowok yang dia taksir sejak remaja dan sudah seperti keluarga sendiri. Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang saya anut, saya merasa setiap Darcy membandingkan dirinya dengan Megan (yang anggun, yang kalem, pokoknya yang segala di dirinya jauh lebih baik dari Darcy), dia menjadi semakin pathetic di mata saya. Stahp it, gurl. That’s so NOT COOL.
Saya juga risih banget sama Darcy dan Tom yang SEPANJANG CERITA jelas-jelas saling suka tapi sok-sok buang muka dan nggak butuh. GEMASSS, karena 99% masalah di novel ini nggak bakal kejadian kalau mereka saling terbuka dan bicara layaknya orang dewasa. Dan ngomong-ngomong soal keterbukaan nih, saya pada akhirnya hilang respect sama Tom karena ternyata oh ternyata dialah biang kerok yang menyembunyikan paspor Darcy hanya biar Darcy nggak pergi meninggalkan Tom lagi. Sebuah alasan yang nggak masuk akal sih, karena toh ketika Darcy memutuskan untuk tinggal bersama Tom dalam rangka mengurus renovasi rumah warisan Loretta, Tom-lah yang secara religius menolak semua flirting dari Darcy. KAN BINGUNG YA NI COWOK MAUNYA APA SEBENARNYA. Selain menjengkelkan, tingkah Tom menurut saya NGGAK PANTAS UNTUK DILAKUKAN. Ya balik lagi ke masalah consent sih: kamu nggak berhak membatasi siapapun untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Menyembunyikan paspor dalam kasus ini termasuk upaya licik dan manipulatif—condong ke kriminal juga—dalam membatasi hak dan kebebasan Darcy apalagi dilakukan murni demi agenda pribadi Tom (bukannya demi masalah kesehatan jantung Darcy atau gimana). First he stole your paspor, and then what? [SPOILER] Menambah rasa tidak suka saya pada Tom adalah di akhir cerita, Tom BERANI-BERANINYA kabur dari proyek dan.... pergi? Dua bulan? Sampai akhirnya Jamie dan Darcy yang menyelesaikan proyek renovasinya???? Untuk seseorang yang baru merintis karir lewat (uhuk) jalur nepotisme, Tom nyalinya gede juga yah. Who cares about integrity, anyway? *dripping in sarcasm* Ku tak mengerti kenapa banyak yang suka sama problematic Tom ini.
Kayaknya saya memang punya masalah kronis sama cowok yang suka diem-diem ae terus mendadak kabooooorrr deh, tapi, logis kan kalau saya kesel? What he did was so NOT gentleman.
Dan kalau kalian mau tahu siapa yang jahat di novel ini, menurut saya adalah mendiang Loretta. Dia yang pertama kali menyeret Darcy ke bandara untuk mendapatkan “ketenangan batin” setelah bertingkah bodoh di depan Tom, sehingga dialah yang bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami Darcy setelah pulang dari perjalanan pertamanya itu dan sifat suka kabur yang dimiliki Darcy. Kamu boleh nyentrik, kamu boleh berpikiran out of the box, tetapi mengajarkan sifat pengecut kepada keturunan sendiri itu enggak banget. She should be ashamed of herself, setidaknya ganti rugi lah dengan ngasih hak waris rumah sepenuhnya ke Darcy. Biar uang dia makin banyak dan bisa bayar psikolog paling kompeten dan mahal untuk menyembuhkan kebiasaan jeleknya itu.
Dan kalau kalian mau tahu siapa yang jahat di novel ini, menurut saya adalah mendiang Loretta. Dia yang pertama kali menyeret Darcy ke bandara untuk mendapatkan “ketenangan batin” setelah bertingkah bodoh di depan Tom, sehingga dialah yang bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami Darcy setelah pulang dari perjalanan pertamanya itu dan sifat suka kabur yang dimiliki Darcy. Kamu boleh nyentrik, kamu boleh berpikiran out of the box, tetapi mengajarkan sifat pengecut kepada keturunan sendiri itu enggak banget. She should be ashamed of herself, setidaknya ganti rugi lah dengan ngasih hak waris rumah sepenuhnya ke Darcy. Biar uang dia makin banyak dan bisa bayar psikolog paling kompeten dan mahal untuk menyembuhkan kebiasaan jeleknya itu.
Begitulah. Jamie yang digambarkan sebagai mata duitan dan suka main perempuan jadi terlihat sangat angelic dibandingkan tokoh-tokoh lainnya. Ha! Moral dari cerita ini berarti: untuk tampak tidak asshole meskipun kamu asshole: hiduplah dengan orang-orang yang lebih problematik dari kamu. Suddenly, you're the saint one! Logic, amiright??
Terlepas dari masalah di atas, saya cuma berharap siapa pun yang membaca novel ini bisa memfilter hal-hal negatif yang ada dan nggak berpikir: “Waw, demi menunjukkan cintanya ke cewek yang suka kabur ke luar negeri, lelaki ini menyembunyikan paspor si cewek. Akhirnya si cewek sadar. Dan mereka jadian. Bahagia. Terharu. Couple goals.”NOT cute, guys. Inilah alasan sebenarnya saya nulis review ini, meskipun mata sudah capek lihat layar dan tangan sudah pegal ngetik dari pagi: kita harus berhenti meromantisasi sifat manipulatif dan abusif, dan menikmati novel dengan filter yang tepat.
Cukup kecewa saya dengan Sally Thorne. Saya harap novel dia selanjutnya bakal lebih baik lagi.
Cukup kecewa saya dengan Sally Thorne. Saya harap novel dia selanjutnya bakal lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment