Sunday, 10 February 2019

[Review Buku] Queen of Air and Darkness oleh Cassandra Clare


This is basically me trying to read ALL of genres that possibly exist out there, so bear with me.

Queen of Air and Darkness adalah buku ketiga dan terakhir dari seri The Dark Artifices, terbit Desember 2018 lalu. Buku ini juga merupakan yang paling tebal di antara karya Cassandra Clare yang lain, total 912 halaman. Jadi, menamatkannya merupakan prestasi tersendiri bagi saya yang barusan bangkit dari reading slump dan berusaha membabat habis tumpukan TBR fiksi. Ya know, saya sering baca buku tebal… tapi baca buku ini setelah lama nggak pegang novel, rasanya seperti senam 30 menit penuh setelah libur olahraga berbulan-bulan. I was dying and wheezing while at it.

Saya awalnya memulai buku ini dengan otak yang benar-benar kosong tentang akhir cerita buku kedua. Untuk mengatasinya, saya baca bab terakhir dari Lord of Shadows dan ternyata…WOW. Brutal sekali cliffhanger-nya. [SPOILER] Untuk me-refresh kalian juga nih, di bagian akhir Lord of Shadow diceritakan kalau Robert Lightwood selaku Inquisitor menerima permohonan Emma dan Julian untuk mengasingkan mereka demi mencegah kutukan parabatai. Namun segera setelah itu, kekacauan terjadi karena para Shadowhunter tidak percaya dengan kesaksian Annabel—yang bangkit dari kematian dengan bantuan Black Volume of the Dead—kalau dialah yang membunuh Malcolm (bukannya Zara). Annabel juga memperingatkan para Shadowhunter kalau King of Unseelie sedang merencanakan serangan yang dapat melumpuhkan steele sehingga kekuatan mereka akan sama seperti para mortal. Meskipun Annabel mengatakan itu semua sambil memegang Mortal Sword, mereka tetap nggak percaya dan malah menyerang Annabel sehingga dia ((SNAPPED)) dan menyerang Robert dan Lizzy. They both D E A D

Dan itu semua terjadi di bab terakhir, saudara-saudara.

Jadi, bisa dimengerti kan kalau saya baca Queen of Air and Darkness sampai ngos-ngosan. Padahal baru bab awal. Kayak kalau baru pertama senam gitu, dua menit sudah dying, dan masih harus menghadapi dua puluh delapan menit sisanya.


Kisah di buku ini dimulai tepat setelah kekacauan yang diakibatkan oleh Annabel terjadi. Bukan sehari setelahnya, atau sejam setelahnya. Benar-benar satu detik setelah scene terakhir di buku Lord of Shadow. Annabel menghilang bersama Black Volume of the Dead ke Unseelie Court. Keluarga Blackthorn berduka dengan kematian Livvy. Dan yang paling parah, Horace berhasil menduduki jabatan sebagai Inquisitor dengan didukung oleh Cohort, menjadikan mereka memiliki kuasa untuk mewujudkan ambisi jahat dalam menghancurkan Downworlders.

Emma dan Julian pada akhirnya mendapatkan hukuman dari Inquisitor Horace karena dianggap menjadi biang kerok dari muncul (dan hilangnya) Annabel dan rusaknya Mortal Sword. Mereka harus berangkat ke Faerie untuk mengambil Black Volume of the Dead. Yang mereka tidak tahu, sebenarnya misi itu adalah jebakan. Tak lama setelah Emma dan Julian pergi ke Faerie, beberapa anggota Cohort menyusul untuk membunuh mereka. Rencananya, kematian Emma dan Julian akan dikambinghitamkan sebagai ulah para fey sehingga para Shadowhunter yang masih sangsi dengan agenda Horace akan berbalik mendukungnya.


Kalau membicarakan sinopsis dari buku setebal ini, saya nggak sanggup meng-cover-nya dalam satu artikel review. Intinya, banyak hal yang terjadi. Maklum ya, karena ini adalah buku terakhir, jadi mungkin semua akan diikat dan dibabat habis ke dalam 912 halaman. Saya merasa di awal buku ini, semua tokoh punya agendanya sendiri-sendiri. Padahal ini adalah saat dimana mereka harus bersatu untuk mengalahkan King of Unseelie uhuk mirip Game of Thrones uhuk. Paling sebal sama kelakuan Ty sih. Sampai gregetan sendiri bacanya. Ya kan dia sudah tahu ya gimana nggak stabilnya Annabel sebagai seorang yang dibangkitkan dari kematian. Nah, dia masih mau nyoba membangkitkan Livvy? Apalagi untuk kasus Livvy yang jasadnya dikremasi, Ty harus mencari tubuh baru. Dengan kata lain, membahayakan orang lain yang tubuhnya akan dipakai. Selain itu…

“Didn’t you hear hear what Shade said? The Livvy we get back might not be anything like our Livvy. Your Livvy.”
Ty followed him out into the water. Mist was coming down to touch the water, surrounding them in white and gray.“If we do the spell correctly, she will be. That’s all. We have to do it right.”

See, nggak ada yang bilang kalau Livvy yang mereka bangkitkan bisa seperti Livvy yang dulu. Ty cuma mengarang sesuatu yang pengen dia dapatkan dan mengeksklusi fakta lain. What a creep. Saya sering ketemu sama orang macam Ty. Nggak pernah beres jalan pikirnya.

Ada lagi yang bikin saya sebal: Julian Blackthorn. Di buku ini, dia minta tolong sama Magnus buat menumpulkan rasa cinta yang dimiliki ke Emma, karena tanda-tanda kutukan parabatai sudah muncul. Tapi mantra yang diberikan sama Magnus membuat dia benar-benar kehilangan semua emosi yang dimiliki Julian, pada akhirnya dia jadi nggak peduli siapapun kecuali dirinya sendiri dan agenda yang dia miliki. Kalau ini saya yakin Julian resmi jadi sosiopat. Kasihan Emma.

The taste of betrayal was bitter in her mouth, more bitter that the copper of blood.

Tapi bukan Emma namanya kalau dia nggak berani mengutarakan apa yang dia yakini benar. Bahkan ke Julian, orang yang paling dia sayang.

“That’s what I always loved about you, even before I was in love with you. You never thought for a second about it diminishing about you to have a girl as your warrior partner, you never acted as if I was anything less than your complete equal. You never for a moment made me feel like I had to be weak for you to be strong.”

Konflik tentang Julian ini benar-benar menunjukkan kepada pembaca bagaimana dark-nya dia sebagai seorang protagonis. Sejak buku 1, Julian tampak sebagai seorang penyayang dan rela melakukan apapun demi keluarganya dan Emma. Pembaca kadang luput dengan penekanan apapun yang menjadi batas tindakan Julian. Selama tidak merugikan keluarga Blackthorn atau Emma, so be it. Nah melalui transformasi Julian menjadi seseorang tanpa emosi ini, pembaca melalui sudut pandang Emma akhirnya ditunjukkan seberapa toxic sifat Julian jika dia berjalan dengan agendanya sendiri. Hmm, nggak keliatan atraktif lagi kan? Manipulatif kan? Nggak enak kan dikibulin?

Plotnya yang nggak jelas bikin saya bingung sama apa tujuan sebenarnya di buku ini. Menghancurkan ikatan parabatai? Membalas dendam ke Annabel? Mengalahkan Horace dan Cohort? Menghilangkan blight? Mengalahkan Faerie? Loh, kok mendadak ada Sebastian Morgenstern lagi? Ketidakjelasan ini menjadikan ceritanya lompat-lompat dan bikin saya sebagai pembaca bingung sebenarnya arahnya kemana. Lagi asyik baca scene Julian & Emma dan sebentar lagi peak, eh mendadak di-cut dan pindah ke sudut pandang Diana dan Gwyn. Rasa deg-degan yang sudah terbangun dengan baik jadi bubar. Pas balik ke scene Julian & Emma, sudah nggak seasyik sebelumnya. Pas satu konflik selesai, eh ternyata ada konflik lanjutan. And don’t get me start with the biggest conflict of all, Julian and Emma’s parabatai. Walaupun pada akhirnya [SPOILER] ikatan mereka hancur setelah mereka berubah menjadi true Nephilim dan heavenly fire menghilangkan ikatan parabatai mereka yang unholy—seperti saat heavenly fire membakar habis ikatan unholy antara Jace dan Sebastian—sehingga Julian & Emma finally lived happily ever after as a couple…. eksekusinya menurut saya benar-benar mendadak dan nggak ada pembahasan sama sekali tentang heavenly fire ini dari jaman pertama mereka sadar jatuh cinta. SAYA MERASA KECOLONGAN.

Makanya, saya cuma kasih 3 bintang buat buku ini. I liked it. Tapi ya gitu aja sih hahaha. 3 bintang atas nama pertemanan lama, karena di sini banyak tokoh kesayangan saya muncul lagi dengan porsi besar, antara lain Jace & Clary, Alec & Magnus, dan yang paling saya sayangi…. TESSA GRAY & JEM CARSTAIRS MY LUV. Tanpa mereka, mungkin saya baru tamat baca bukunya 2 tahun lagi. Atau malah did not finish.

Dan you know what??? Dengan total 912 halaman dan ending yang seperti itu??? Saya rasa bakal ada seri baru lagi dari Cassandra Clare.


Cassandra Clare really milking that daaarn dead cow.

No comments:

Post a Comment