Wednesday, 24 April 2019

[Review Buku] Keep Going oleh Austin Kleon

Beberapa hari ini saya mengalami reading block terparah sepanjang sejarah membaca saya. Setelah saya analisis, penyebab utamanya adalah sifat serakah yang saya punya. Katakan saat ini saya membaca buku A, sudah sampai beberapa bab dan teranotasi dengan baik. Tidak lama, buku B yang sudah saya tunggu-tunggu terbit. Akhirnya nggak sabar untuk baca buku B. Baru juga dapat setengah, pesanan buku C dari tiga minggu lalu datang. Langsung disampul dan dibaca di tempat. Begitu terus sampai akhirnya otak saya bingung dan tertekan. Apapun yang saya baca rasanya tidak bisa teresapi dengan baik. 

Akhirnya saya mengambil langkah besar untuk mengkandangkan semua buku-buku ke rak dan BERJANJI PADA DIRI SENDIRI UNTUK NGGAK NGUTAK-ATIK BUKU-BUKU ITU LAGI kecuali kalau memang pengen masokis dan mengulang perasaan tidak menyenangkan itu. Sebagai gantinya, selama beberapa hari ini saya lebih intens dalam hal ibadah, olahraga, dan menonton drama. 


Kemudian, saya menemukan fakta bahwa penulis favorit saya, Austin Kleon, baru saja menerbitkan buku ketiganya, Keep Going. Buku ini bisa dibilang datang di saat tepat, yaitu ketika otak saya sudah benar-benar terprogram ulang dan fresh. Bukunya yang tipis dan penuh coretan-coretan dari penulis benar-benar memanjakan mata dan otak sekaligus. Selain itu, pembaca semakin dipermudah dengan kemampuan penulis untuk menyampaikan ide-idenya dalam tulisan yang ringkas dan menggunakan bahasa ringan seperti yang digunakan sehari-hari. Yang paling penting bagi saya adalah konten di dalamnya, yaitu pembahasan yang khusus ditujukan bagi seniman yang sedang menghadapi masa-masa sulit. Meskipun saya bukan seniman, banyak pemikiran-pemikiran dari penulis yang bisa diterapkan ke fase hidup saya yang saat ini sedang kurang motivasi dan krisis inspirasi.

Dari semua ide yang diajukan penulis, yang paling mengena bagi saya adalah “Make List,” karena sudah saya praktekkan sejak lama. Kegiatan menulis jurnal terbukti ampuh untuk meluapkan perasaan sekaligus mencatat kemajuan proses kita dari tahun ke tahun. Tidak peduli apakah hari tersebut adalah hari tersibuk atau hari terkelam di kehidupan saya, saya selalu menyempatkan waktu sekitar 5 menit untuk mencatat apa saja yang terjadi hari itu (hari terkelam menurut saya adalah hari dimana isi jurnal sangat juicy dan “berbobot”). Tentu ada hari-hari ketika saya lupa nulis atau cenderung masa bodoh dengan kegiatan yang saya masukkan di dalamnya, tetapi outlier seperti itu hanya sekitar 10% dari keseluruhan. Seingat saya, kebiasaan ini dimulai setelah menamatkan buku pertama penulis, Steal Like an Artist, dan semakin intens setelah menamatkan buku ketiganya. Jadi, saya memang berhutang budi sekali sama Austin Kleon mengenai kebiasaan yang membentuk kepribadian saya saat ini.

“Your list is your past and your future. Carry at all times. Prioritize: today, this week, and eventually. You will someday die with items still on your list, but for now, while you live, your list helps prioritize what can be done in your limited time.”
—Tom Sachs

Di poin “Make List” ini, selain memberi berbagai rekomendasi “daftar” yang bisa kita buat untuk memaksimalkan kegiatan kita, penulis juga menyarankan untuk membaca ulang apa yang sudah kita tulis selama ini. Bagian ini cukup menyeramkan buat saya, mengingat ada beberapa hal yang sepertinya belum siap saya baca (that good old days, full of happy memories). Namun, saya rasa cepat atau lambat saya harus melakukannya. Tinggal menunggu saat yang tepat, yang penting saat ini sudah diniatkan.

Saya juga suka sama poin “Finish Each Day and Be Done With It,” karena ide utamanya adalah seberat apapun harimu, berjuanglah sampai di penghujung hari agar bisa STOP, istirahat sekaligus introspeksi, untuk kemudian siap-siap untuk berjuang lagi esok hari. Tidak perlu terlalu menghajar diri jika kinerja kita hari ini tidak memenuhi standar pribadi kita. Saya selalu punya standar sangat tinggi terhadap apa yang saya lakukan atau impikan untuk diraih, jadi saran penulis untuk “go easy on yourself, a little self-forgiveness goes a along way” terasa seperti kompres dingin buat hati yang mulai cenut-cenut karena merasa gagal.

A day that seems like waste now might turn out to have a purpose or use or beauty to it later on.

Dalam hal pikiran yang sedang suntuk atau stres berkepanjangan, penulis menyarankan untuk jalan kaki. Pergi keluar rumah setiap hari, tidak peduli jam berapa kamu bangun (beberapa orang suka menyerah duluan kalau waktu mulai mereka nggak cukup pagi bagi standar khalayak umum, akhirnya alasan “besok aja” terus deh) sambil bawa headset atau kamera HP untuk memfasilitasi inspirasi. Pokoknya jalan duluan lah; jauh atau dekat, sudah mandi apa belum, di kampus atau di kantor, sendirian atau bareng-bareng (saya sih merekomendasikannya sendirian). Niscaya pikiran-pikiran yang mbulet akan satu-persatu terurai.

Walking really is a magic cure for people who want to think straight. “Solvitur ambulando,” said Diogenes the Cynic two millennia ago. “It is solved by walking.”

Selain jalan kaki, penulis juga menyarankan untuk beberes, meskipun menurutnya metode Marie Kondo tidak akan cocok bagi seniman. Beberes di sini lebih ke proses menyibukkan tangan agar otak punya ruang untuk berpikir bebas. Mekanismenya hampir sama seperti aktivitas kerajinan tangan, yang sudah saya buktikan merupakan media paling asyik buat bengong produktif. Hasil akhirnya bukan aneka kerajinan yang lucu, melainkan ruang kerja yang lebih rapi dan bersih dari debu. Saat beberes juga seniman biasanya akan menemukan printilan-printilan yang akan memunculkan ide kreatif baginya. Poin beberes ini lebih saya aplikasikan dalam bentuk mengucek pakaian dan menjemurnya secara manual (jadi nggak pakai mesin cuci, lumayan hemat listrik hehe), mencuci piring dan perkakas masak kotor yang ada setiap lewat dapur (yang, selalu saja menumpuk hmph), mengepel lantai kamar, dan yang paling elit adalah mengelap kaca besar di kamar. Percaya atau tidak, semuanya benar-benar menenangkan. Dan karena saya melakukannya sedikit demi sedikit, rasa puas karena sudah menciptakan ruang buat bengong produktif cenderung melebihi rasa capeknya.


Poin terakhir, yang menurut saya paling magical, adalah “Plant Your Garden.” Secara harfiah, saya sudah menanami taman di belakang rumah saya, jadi saya agak mengerti sih fungsi dari tanam-menanam ini buat ketenangan batin. Tetapi penulis di sini lebih menekankan filosofi pohon maple milik Corita Kent. Pohon maple yang bersemi paling meriah adalah yang berhasil bertahan menghadapi musim dingin paling parah sebelumnya. Ketika gundul dan nampak hampir mati, tidak ada yang percaya kalau pohon itu bakal sukses bertahan. Namun, justru di periode itulah dia berproses mati-matian. Tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga menabung nutrisi untuk blooming di periode ketika dia siap nanti.

“That, in a way, is very much how I feel about my life,” she said. “Whether it will ever be recognizable by anyone else I don’t know, but I feel that great new things are happening very quietly inside me. And I know these things have a way, like the maple tree, of finally bursting out in some form.”

For Kent, the tree came to represent creativity itself. Like a tree, creative work has seasons. Part of the work is to know which season you’re in, and act accordingly. In winter, “the tree looks dead, but we know it is beginning a very deep process, out of which will come spring and summer.”


Jadi, kita memang harus paham dengan periode dimana kita berada (serta tanaman apa yang akan kita tanam). Saat ini sih saya masih di periode musim dingin, sedang mempersiapkan diri untuk merekah di musim semi nanti. Mengetahui posisi kita saat ini benar-benar membantu dalam penentuan timeline/rencana kita ke depan. Selain itu, menyenangkan kan melihat masa vakum kita dari segi positif? Ini semua mungkin terjadi berkat buku kecil ini. Dan sebenarnya, masih banyak poin bagus yang diberikan oleh penulis dalam hal menumbuhkan inspirasi di masa sulit, tetapi rasanya tidak mungkin untuk membahas semua poinnya di ulasan ini. Yang jelas, saya akan selalu (dan selalu!) berhutang budi kepada Austin Kleon atas pola pikir yang spektakuler dan positif, yang sudah memberikan perubahan besar pada kehidupan saya.

Every day is a potential seed that we can grow into something beautiful. There’s no time for despair. “The thing to rejoice in is the fact that one had the good fortune to be born,” said the poet Mark Strand. “The odds against being born are astronomical.” None of us know how many days we’ll have, so it’d be a shame to waste the ones we get.

1 comment:

  1. thanks yaa review nya, kayaknya saya jg butuh baca buku ini karena lg ada sifat serakahnya jg heheh

    ReplyDelete