…adalah saya punya kebiasaan yang serupa dengan beliau. Di video singkat dari Quartz ini (2 menit 11 detik tepatnya), Bill Gates membahas 4 kebiasaan membaca yang bisa membuat beliau menamatkan sekitar 50 buku per tahun. Saya tahun lalu cuma baca 11 buku (2018 adalah tahun berat yang membuat saya harus mengesampingkan kegiatan membaca), tetapi di Januari-Juni 2019 ini saya sudah tamat 33 buku. Melesat jauh, bukan? Dan kebanyakan di antara buku-buku tersebut adalah nonfiksi yang masuk nominasi atau rekomendasi figur-figur terkenal. Selain masa break pasca lulus kuliah yang panjang, saya memang sengaja mempraktekkan beberapa kebiasaan membaca yang berbeda dibandingkan tahun lalu. Saya ubah semua, karena keputusan-keputusan baru melahirkan semangat membaca yang baru juga. Apa saja kebiasaan saya di tahun 2019 ini yang serupa dengan kebiasaan Bill Gates?
Tahun 2019 saya rajin banget nulis apa yang saya baca. Kalau baca buku fisik, bukunya akan penuh banget sama stabilo, anotasi, sama post-it. Kalau baca ebook, pasti ada berlembar-lembar halaman di jurnal khusus yang membahas paragraf favorit dan pembahasan saya soal buku tersebut (ebook-nya sendiri pun penuh stabilo dari aplikasi Books). Kapanpun saya sedih, saya menghadiahi diri sendiri pulpen warna-warni. Ketika stabilo sudah tanda-tanda mau habis, saya langsung beli penggantinya. Semuanya demi mempertahankan kebiasaan menulis di margin buku/jurnal. Bahkan saya sendiri kagum dengan semangat membara saya soal catat-mencatat ini.
Tetapi saya belum sampai pada tahap seperti Bill Gates: memiliki pandangan kontra sehingga “ngomel” panjang lebar di margin buku. Pengetahuan saya atas bidang yang luas masih rendah, palingan sebatas “setuju” atau “tidak setuju”, bukannya “tidak setuju, ini pendapat 5 peneliti di buku-buku mereka yang mengkontra argumen tersebut…” Semakin banyak buku dari berbagai genre yang terbaca, saya rasa saya bisa semakin dekat dengan standar milik Bill Gates.
INI adalah poin yang sedang susah payah saya usahakan. Seseorang pernah mengatakan kalau preferensi saya itu anget-anget tai ayam, dan beneran kelihatan terutama ketika disodori buku baru yang kelihatan menarik. Buku-buku yang sebelumnya baru setengah baca jadi mendadak terlupakan. Ulangi terus siklus itu dan stres yang berlebihan sukses muncul. Tahun ini saya berusaha lebih bertanggung jawab dengan buku yang saya pilih, dan sejauh ini cukup berhasil. Sebuah proses yang positif!
Matthew Walker, PhD di bukunya Why We Sleep mengatakan kalau eksposur terhadap sinar dari layar iPad di sore hari membuat otak kita menunda melepaskan melatonin. Hasilnya, kita susah ngantuk meskipun sudah tiduran di kasur berjam-jam. Karena itu, sedikit demi sedikit saya mengurangi penggunaan gawai di sore-malam hari. Buku fisik jadi preferensi baru di tahun 2019. Meskipun di saat-saat darurat, saya masih bisa mengakses buku-buku saya baik di iPad, ponsel, maupun laptop (teknologi sinkronisasi Apple adalah karunia terindah dari ilmu pengetahuan). Tetapi kalau harus memilih, buku fisik menawarkan "fitur" membolak-balik halaman buku yang sudah penuh coretan dan stabilo yang "tidak sempurna." Cemong-cemong yang saya torehkan di tiap lembar buku tersebut sangat menenangkan batin saya—suatu sensasi yang tidak bisa diberikan oleh aplikasi Books yang sangat presisi.
Saya belajar dari Bill Gates soal poin ini: lebih baik tidak usah membaca sekalian kalau waktu luang yang ada cuma 5-15 menit. Membaca yang efektif minimal 1 jam, tidak boleh diganggu sama siapa pun. Dengan teknik sok sibuk ini, buku paling “ilmiah” pun bakal bisa terpahami dengan baik (tidak bisa dihapalkan isinya tidak apa, yang penting saya paham; toh sudah saya catat di buku poin-poin yang penting). Karena itu saya suka sekali menenteng buku kemana-mana, siapa tahu waktu luang satu jam (atau lebih) itu datang.
Sebagai tambahan, saya selalu kepikiran sama komentar di atas. Karena setelah merenung cukup lama, bisa saya simpulkan kalau pilihan bacaan saya meskipun genre-nya berbeda jauh, temanya berkaitan. Misalnya nih, setelah baca Ego is the Enemy (ego), saya baca memoar When Breath Becomes Air (neurosurgeon, pengalaman humbling), kemudian lanjut Why We Sleep (neuroscience); setelah bikin tesis soal kompetensi yang dinilai dari tindakan pengusaha ketika menghadapi masa kritis, saya baca Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis (direfleksikan dengan ilmu psikologi tentang endurance individu dalam menangani krisis); dan masih ada beberapa kasus lain yang tidak bisa saya ingat-ingat sekarang. Tidak ada kesengajaan dari pemilihan bacaan-bacaan tersebut, tapi otak saya lama-lama bisa menarik benang merah di semua buku yang saya baca. Hasilnya, sedikit demi sedikit terbangun Big History dengan pondasi kuat (dari buku-buku yang ditulis oleh para ahli di bidangnya yang bisa mereka pertanggungjawabkan) di dalam benak saya. Sebuah penemuan yang menenangkan, karena meskipun saya tidak kuat dalam keterampilan menghapal dan terkesan “mudah lupa” sama apa yang barusan saya baca, detail-detail kecil semacam itu akan muncul ketika diperlukan dalam bentuk kesimpulan yang utuh.
Begitulah kebiasaan membaca saya dengan mengacu pada kebiasaan membaca Bill Gates. Semoga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam, “Gimana caranya Kak Sany bisa baca banyak buku?” atau sejenisnya yang sering saya jumpai ya.
No comments:
Post a Comment