Wednesday, 10 July 2019

[Review Buku] Garlic and Sapphires oleh Ruth Reichl


(Sany dengan ikhlas menerima takdir kalau memoar adalah genre favoritnya tahun ini).

Yep. Memoar lagi. Kali ini dari bidang kuliner, yaitu dari sudut pandang seorang kritikus makanan terkemuka New York Times saat itu, Ruth Reichl. Garlic and Sapphires ini sebenarnya buku lawas (terbit tahun 2005) tapi karena lebih terjangkau dari memoar terbaru Ruth Reichl, Save Me the Plums, yang terbit April 2019 kemarin dan lagi anteng nangkring di peringkat atas daftar laris Amazon, Bookdepository, dan Goodreads, saya akhirnya baca yang ini dulu. Lagipula, banyak ulasan yang menyarankan untuk mulai baca dari Garlic and Sapphires, jadi saya nggak berasa jelata banget lah ngalah nggak milih Save Me the Plums.

Kisah Ruth di buku ini dimulai ketika ia mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai kritikus makanan baru koran NYT. Mulanya ia tidak ingin menerimanya dan tetap ingin bertahan di LA Times, namun godaan untuk bekerja dengan jurnalis dan editor paling unggul di dunia membuatnya luluh juga. Terlebih, suami dan anaknya sangat mendukung kenaikan karir Ruth. 

Ruth yakin ia memiliki kompetensi yang cukup untuk mengemban jabatan sebagai kritikus makanan bagi koran sekelas NYT. Yang Ruth belum pahami adalah semua restoran berbintang di seantero Amerika sudah bersiap-siap untuk menyambutnya: foto dirinya dan sang suami dipajang di papan karyawan tiap restoran, seluruh staf diharuskan menghapalkan hal-hal kecil (bahkan konyol) tentang Ruth dan suami demi memfasilitasi selera mereka ketika makan, serta diberlakukan sayembara berhadiah uang dalam jumlah besar bagi staf yang dapat mengenali Ruth untuk pertama kalinya di restoran. Semua itu diketahui Ruth dua bulan sebelum ia mulai bekerja di NYT, jadi bayangkan saja tekanan seperti apa yang ia alami. Ruth merasa, penampilannya yang normal memiliki potensi untuk menghasilkan bias bagi penilaiannya.

“The King of Spain is waiting in the bar, but your table is ready.”

Dimulailah petualangan Ruth untuk mengelabui restoran-restoran terkemuka tersebut dalam mengenalinya. Dibantu oleh sahabat ibunya, penjual rambut palsu yang baru dikenalnya, rekan-rekannya di NYT, bahkan terkadang oleh suami dan anaknya yang masih balita, Ruth menciptakan berbagai alter ego untuk menutupi identitas aslinya. Di sini Ruth tidak hanya berpura-pura, tetapi benar-benar mendalami perannya sebagai sosok yang sama sekali bukan dirinya. Dari mulai latar belakang, tingkah laku, hingga mimik muka benar-benar ia pikirkan dan kuasai. Untuk memperkuat pendapatnya mengenai restoran yang akan dinilai, Ruth mendatangi restoran tersebut berkali-kali; sebagian sebagai Ruth Reichl si kritikus makanan NYT dan sisanya sebagai orang biasa (Terlalu tua? Terlalu gembel? Terlalu acuh untuk membuat reservasi? Terlalu rewel?). At this point she's my role model at research, tbh.

Taktik Ruth bisa dibilang berhasil: di ulasan pertamanya, ia menurunkan predikat bintang empat yang dibanggakan Le Cirque karena mereka tidak ramah pada pasangan lansia yang berkunjung ke sana (spoiler: lansia tersebut adalah Ruth yang sedang menyamar dan Carol). Namun ia bukan kritikus yang kejam tanpa alasan, karena buktinya Lespinasse mampu mendapatkan predikat bintang empat atas dedikasi para stafnya. Daniel (yang mengancam bos Ruth agar mendapatkan ulasan super positif) pun pada akhirnya tetap mendapatkan bintang empat setelah Ruth memastikan ia (tentunya di balik penyamaran) dan temannya mendapatkan pelayanan yang adil seperti saat ia datang bersama bosnya.

Yang saya suka, Ruth menekankan pentingnya diversifikasi ke restoran-restoran Asia dengan blusukan ke resto sempit dan sumpek—benar-benar berseberangan dari selera kritikus sebelumnya yang sangat pro Eropa. Kalangan yang ingin ia beri informasi adalah rakyat Amerika dengan pendapatan rata-rata, sehingga ia tidak bisa terus-menerus mengulas restoran mewah. Ruth benar-benar menggunakan kekuatan jabatannya dengan bijak, meskipun dia harus menghadapi pembaca snobby yang kerap meninggalkan pesan telepon tidak sopan dan harus selalu waspada dengan beberapa rekan kerjanya yang siap menantikan kejatuhannya. Detail yang paling saya ingat adalah di masa itu (1990-an), Ruth sudah memprediksi bahwa restoran BBQ ala Korea akan sangat diminati karena bisa memfasilitasi selera masyarakat berbagai budaya. I mean, look at us now

Karena ini memoar, kisah yang dialami Ruth adalah nyata dan benar terjadi. Meskipun beberapa detail mungkin “dihaluskan” atau “dikilaukan” agar tampak lebih menarik pembaca, saya rasa dedikasi kerja Ruth sangat patut diacungi jempol. Keribetan yang harus Ruth hadapi menunjukkan bahwa apapun tipe pekerjaan kalian, tantangan itu selalu ada. Semua bergantung pada cara kita menghadapinya. Kebetulan Ruth memilih jalan yang out of the box dan tampak seperti cuplikan film James Bond, sehingga tantangan kerja kita sendiri nampak duniawi dan membosankan. Yang paling penting sebenarnya bukan seberapa kerennya, tetapi seberapa efektifnya upaya menghadapi tantangan tersebut.


Garlic and Sapphires merupakan pengalaman membaca yang sangat menyenangkan. Setelah lama terbelenggu sakit mata (yang langsung dilanjut oleh sakit flu!), saya akhirnya bisa menyelesaikan sebuah buku yang benar-benar menghibur dengan tetap mendapat banyak ilmu darinya #tetep #nggakmaurugi. Pertanyaan besarnya adalah: akankah saya lanjut ke Save Me the Plums? ENTAH YA. MASIH BANYAK BUKU BAGUS YANG NGANTRI BUAT SAYA BACA. 



Edit 11 Juli 2019:
Saya beneran mencelat bangun jam 3 pagi karena ada satu bagian dari buku ini yang mendadak nyambung sama memori di otak sampai mengganggu tidur pulas yang langka saya dapat akhir-akhir ini (sakit mata bikin tidur miring nggak enak dan flu bikin susah napas waktu tidur, fyi). 

Oke, jadi saat Ruth mulai bangkit dari critic-block, ia memutuskan untuk mengikuti saran Ed Levine, seseorang yang sangat paham sama seluk-beluk kekayaan kuliner New York. Di salah satu perburuan makanan enak di yang mereka lakukan, Ed berkata seperti ini:

“The Middle Eastern place is going to be one of our last stops,” he said. “I want to take you to Carroll Gardens first. But we’re going to make an unscheduled stop before we go to Brooklyn. I want you to meet Jim Leahy at the Sullivan Street Bakery. Okay?” Ed was looking straight at me as he talked. “He’s an amazing guy,” he continued, still looking my way. “When Jim talks about bread it’s like he’s speaking in tongues. Besides, we might as well pick up a little snack to tide us over.”

Kemarin nama Jim ini asal lewat saja di otak. Tapi ketika ditambah oleh kata “Sullivan,” bel di otak berbunyi nyaring—fakta kalau dibutuhkan beberapa jam pasca ulasan ini diterbitkan benar-benar menunjukkan betapa capeknya otak saya akhir-akhir ini—karena buku resep Jim Leahy secara asal-asalan saya masukkan ke daftar TBR Goodreads bahkan sebelum Garlic and Sapphires saya temukanGimana bisa dua buku yang jaraknya bisa sangat jauh ini (Garlic and Sapphires terbit tahun 2005 sedangkan The Sullivan Street Bakery Cookbook terbit tahun 2017) muncul secara terpisah di hidup saya dalam jeda beberapa hari saja? Wow, benang merah yang sangat ajaib bisa tertarik lurus tanpa gubetan rumit.


(Yhaw now that I wrote it, I’m going straight back to sleep. Goodbye).

No comments:

Post a Comment