Wednesday, 18 September 2019

[Review Buku] The Dream Thieves oleh Maggie Stiefvater


The Dream Thieves adalah buku kedua dari seri The Raven Cycle, dibaca ulang dalam rangka readalong bersama BooksandLala, Readbyzoe, Ellias, dan Paperbackdreams. Ocehan saya di bawah mengandung banyak spoiler, jadi… adios bagi kalian yang ingin memulai baca serial ini secara “buta” tanpa diganggu bisikan-bisikan jahat dari saya hehe.

Sesuai dengan judul, buku ini menonjolkan dua karakter (-ves di thieves menunjukkan jamak kan ya) yang berkontribusi besar bagi redupnya jaringan ley line yang seharusnya kuat karena baru saja dibangkitkan oleh Adam Parrish. Kita sudah tahu dari buku pertama kalau Ronan Lynch adalah salah satu karakter yang bisa membawa keluar objek dari mimpinya. Jadi, siapa lagi pencuri yang dimaksud? Ayah Ronan tidak mungkin, karena dia sudah meninggal. 

Jawabannya adalah karakter sampingan yang nampak tidak penting, Joseph Kavinsky.

Dari sini saya jadi waspada sama karakter-karakter sampingan yang muncul, karena rupanya kontribusi mereka sangat besar terhadap plot cerita. Kavinsky misalnya, berjasa sekali dalam pengembangan karakter Ronan. Dari mulai memancing ambisi Ronan, menyelamatkan Ronan dari monster mimpinya yang sempat kabur ke dunia nyata, hingga mengajari Ronan untuk mengendalikan bakatnya dalam waktu yang relatif singkat. What's become of my boye Ronan without this Kavinsky fella? Dinamika mereka berdua sangat mencuri perhatian saya hingga saya jadi tidak begitu peduli dengan bagian Gansey dan Blue. Rasa-rasanya memang itulah tujuan utama penulis di buku ini: mengenalkan secara lebih dalam karakter-karakter yang bukan Gansey atau Blue, yang nantinya tidak kalah besar jasanya dalam upaya membangkitkan Glendower.

Karakter sampingan lain yang mencuri perhatian saya adalah Mr. Gray, pembunuh bayaran yang tertarik dengan kehidupan di 300 Fox Way, khususnya pada Maura Sargent. Tidak ada yang lupa kalau Mr. Gray adalah pembunuh ayah Ronan, tapi sepertinya tidak ada yang menolak keberadaannya juga? Saya sebenarnya agak gimana gitu sama tokoh ini, tapi karena ingat dia punya peran yang cukup positif di buku-buku selanjutnya, jadi ya cuma bisa ngedumel pelan sepanjang cerita. Interaksinya dengan Maura cukup menyenangkan untuk diikuti, karena keduanya sama-sama punya perhatian dan toleransi yang cukup tinggi terhadap tingkah satu sama lain. Selalu ada yang bisa dipelajari dari tokoh-tokoh semacam ini (sebagai anak SDM, untuk mengasah cara membaca karakter orang).

It was funny, the Gray Man thought, how humorous she always appeared, how that smile was always just a moment away from her lips. You really didn’t see the sadness or the longing unless you already knew it was there. But that was the trick, wasn’t it? Everyone had their disappointment and their baggage; only, some people carried it in their inside pockets and not on their backs. And here was the other trick: Maura was not faking her happiness. She was both very happy and very sad.

The Dream Thieves juga merupakan ladang pengembangan karakter bagi Adam Parrish. He’s not my favorite one, but I can’t just ignore his achievements. Di sini dia mulai bertanggung jawab pada Cabeswater dengan bimbingan Persephone demi membantu Ronan menghadapi musuhnya. Akhirnya dia punya kesibukan yang benar-benar berkontribusi terhadap pencarian Glendower sehingga tidak punya cukup waktu buat mengasihani diri sendiri (karena sesungguhnya saya sudah capek membaca gengsi rakyat jelatanya tiap ingin dibantu Gansey atau Ronan secara finansial). Adam di sini juga mulai bingung dengan preferensi seksualnya—beberapa petunjuk mulai diberikan penulis—sehingga adegan putusnya Adam dengan Blue nampak tidak semenyakitkan kelihatannya. Kalau saya menghadapi quarter life crisis di usia yang benar-benar seperempat dari seratus, Adam sudah harus menghadapinya di usia belasan. Yang dibingungkan sama dia jauh lebih banyak dan kompleks, jadi saya cuma bisa membayangkan seberat apa beban yang dia tanggung. 

Ada satu interaksi Gansey dan Blue tentang Adam yang sangat mengena di hati, yaitu ketika Gansey bilang dari mereka semua, hanya Adam yang tumbuh tanpa cinta dari orang-orang di sekitarnya. 

“I’m rich in support. So are you. You grew up loved, didn’t you?”
She didn’t even have to think before she nodded.
“Me too,”Gansey said. “I never doubted it. I never even thought to doubt it. And even Ronan grew up with that, too, back when it mattered, when he was becoming the person he was. The age of reason, or whatever. I wish you could have met him before. But growing up being told you can do anything … I used to think, before I met you, that it was about the money. Like, I thought Adam’s family was too poor for love.”

Adegan ini mengingatkan saya bahwa fiksi kadang punya level edukasi yang lebih dalam dari nonfiksi. Young Adult tidak hanya melulu soal cinta-cintaan anak baru gede; banyak wake-up call bagi diri kita yang mungkin sebelumnya sangat cuek tentang ilmu kehidupan, betapa lebih mudah pelajaran-pelajaran itu untuk diingat, dan selalu ada ruang bebas dalam hal refleksi dan kesempatan memperbaiki diri. Readers learn through the characters' struggles and mistakes. Saya benar-benar belajar untuk bersyukur ketika melihat betapa beratnya perjuangan Adam di buku pertama dan kedua seri ini. Fakta kalau dia tokoh fiksional bikin saya nggak begitu merasa bersalah karena memanfaatkan cerita derita orang lain untuk kebaikan diri sendiri. So thankful and proud of you, Adam!


Yah, malah jadi merembet kemana-mana. Intinya, saya senang karena sudah berani ikutan proyek baca ulang seri ini. Penuh nostalgia tapi juga penuh pelajaran berharga. Saatnya untuk baca buku ketiga, Blue Lily, Lily Blue, untuk tahu kelanjutan petualangan Gansey dan kawan-kawan.

1 comment:

  1. Aku cek link blog km, tapi kok tulisannya "halaman tidak ditemukan"? Anyway, makasih ya!

    ReplyDelete