Saturday, 28 December 2019

[Review Buku] Big Sister, Little Sister, Red Sister oleh Jung Chang


Desember adalah saat dimana saya sangat tertarik dengan biografi tokoh-tokoh sejarah. Meskipun proses baca sudah melambat, kalau yang lagi dibaca adalah buku biografi…pasti lebih sering menyempatkan untuk membawa, membuka, dan membaca bukunya. Mungkin karena dari sononya saya kepo ya, dan biografi adalah tempat dimana semua tea di-spill, jadi saya cocok banget sama genre ini (that’s what I call….taking advantage of my annoying behavior).


Salah satu buku yang terbaca adalah Big Sister, Little Sister, Red Sister karya Jung Chang. Di balik perjuangan Tiongkok bertransformasi dari monarki menjadi republik, terdapat tiga saudara perempuan Soong yang memiliki peran tak terpisahkan dari laki-laki yang mereka dampingi. Ei-Ling, saudara perempuan tertua, menikahi H.H. Kung dan membantu suaminya menjalankan peran sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan. Ia juga menjadi penasihat yang sangat dihormati dan dipercayai adik iparnya yang menjabat sebagai pemimpin negara. Ching-Ling, saudara perempuan tengah, menikahi Sun Yat-sen yang dijuluki “Father of China”, namun menyeberang ke kubu Mao setelah suaminya meninggal. May-ling, saudara perempuan ketiga, menikahi Chiang Kai-sek, penerus Sun Yat-sen yang kemudian membentuk pemerintahan Nasionalis pada tahun 1928. May-ling adalah first lady Tiongkok. Kutipan terkenal dalam mendeskripsikan mereka adalah, “One loved money, one loved power, and one loved her country.” Namun melalui buku ini, akan dijelaskan bahwa penjelasan tersebut sangat oversimplying atas kejadian yang sesungguhnya terjadi. 

The sisters experienced hope, courage, and passionate love, as well as despair, fear, and heartbreak. They enjoyed immense luxury, privilege and glory, but also constantly risked their lives.... Modern Chinese history is intimately intertwined with the personal traumas of the Soong sisters.

Demi menulis detail-detail yang saat ini bisa terakses oleh masyarakat luas, penulis masuk daftar banned pemerintah Tiongkok. Baik dirinya sendiri maupun buku-bukunya tidak diperbolehkan masuk sana, dengan pengecualian ijin berkunjung 15 hari per tahun untuk menjenguk ibunya yang saat ini tinggal di Tiongkok. Informasi yang penulis bahas di buku ini memang sangat blak-blakan, mengingat tokoh-tokoh tersebut adalah pahlawan revolusi Tiongkok. Dari mulai Sun Yat-sen yang tega menjadikan istrinya umpan ketika melarikan diri, korupsi besar-besaran H.H. Kung dan Ei-ling, lumrahnya memerintahkan pembunuh bayaran untuk menyingkirkan pesaing-pesaing politik, ketergantungan May-ling terhadap kekuatan uang untuk kenyamanan hidupnya, dan hal-hal unflattering lain yang sempat luput dari pengetahuan publik, disebutkan di buku ini. Menurut saya sih, penulis cukup netral dalam menyampaikan informasi tersebut dan tidak berusaha mengompori atau menyetir opini pembaca. Penilaian akhir tetap ada di tangan kita. 

Yang membuat saya sangat menikmati pengalaman membaca buku ini adalah gaya penulisannya yang sangat bagus. Mirip seperti dongeng, dengan tetap mempertahankan detail-detail sejarah yang menarik minat untuk terus membacanya. Selain itu, ada kejutan-kejutan kecil yang menantang pengetahuan bahasa saya. Membaca versi Bahasa Inggrisnya, saya menemukan banyak istilah (kebanyakan kata sifat) yang unik dan masih jarang digunakan penulis lainnya. Rasanya seperti treasure-hunting; saya belajar banyak vocabulary baru dari buku ini secara menyenangkan.

Namun, tetap ada dua keluhan yang perlu saya sampaikan. Yang pertama adalah kegagalan ketiga saudara perempuan Soong untuk menjadi fokus cerita. Penulis mengaku bahwa mulanya buku ini merupakan biografi Sun Yat-sen, hingga kemudian ia merasa kisah Soong bersaudara lebih menarik untuk dikaji (dan yah, lebih menjual dari segi keunikan), and it shows. Di beberapa bab, cara penyampaian kisah Sun Yat-sen, Chiang Kai-sek, dan Charlie Soong sangat overshadowed tokoh-tokoh perempuannya. Cukup kecewa karena saya memilih buku ini karena iming-iming cerita kehidupan ketiga saudara perempuan Soong, bukan partner-partner atau keluarga mereka. Patut dicatat yang saya permasalahkan cara penyampaian informasinya, ya. Saya tidak masalah detail kehidupan tokoh laki-laki diikutsertakan, tetapi ya sebaiknya tidak lebih menonjol dari apa yang dijadikan judul bukunya.

Keluhan lain adalah penempatan foto/dokumentasi yang dirapel di bagian akhir buku. Mungkin biar bisa dicetak bersamaan dengan kertas tebal nan glossy seperti biografi-biografi lain yang sudah saya baca. Menurut saya sih, foto-foto tersebut bakal lebih berguna jika ditaruh di bab terkait, agar memudahkan pembaca untuk memvisualisasikan deskripsi penulis. Penjelasan dari penulis memang mudah dipahami, tapi terasa sia-sia kerja keras saya sebelumnya buat membayangkan hal-hal yang dimaksud penulis sambil kadang-kadang googling secara manual, dari bab awal hingga akhir, untuk kemudian…. menemukan bagian dokumentasi.

(Waktu sadar ada bagian ini, saya keki beneran, lho. Tapi, yasudah lah. Memang kebiasaan baca saya tuh nggak pernah ngecek daftar pustaka selama baca. Takut kena spoiler. Hehe).

Begitulah sebagian kesan saya tentang buku ini. Kayaknya terlalu panjang kalau saya sampaikan semua lewat tulisan blog. Semoga saya ada waktu luang lagi ya, biar bisa cerita-cerita soal biografi lain yang terbaca di tahun 2019.

No comments:

Post a Comment