Aktivitas yang saya perjuangkan untuk terus dilakukan melalui membaca adalah memperdalam agama. Tidak mau muluk-muluk, resolusi saya tahun 2018 dan 2019 tentang ini adalah sebatas memperbaiki kualitas shalat, karena, ergh, sulit sekali membawa diri untuk shalat tepat waktu. Terutama shalat subuh. Mau digedor-gedor keluarga berapa kali pun, saya baru mau ambil wudhu di atas jam setengah enam pagi, setelah beberapa menit mainan HP sambil mengumpulkan nyawa.
Nah, waktu jalan-jalan ke Toko Gunung Agung (yang sekarang sudah tutup dan ganti Kintan), saya tidak sengaja melihat buku Nikmatnya Bangun Pagi, Tahajud, Subuh, dan Dhuha di rak rekomendasi paling depan. Sadar sama kekurangan diri dan lagi sedih-sedihnya sama masalah hidup saat itu, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut sebagai hadiah bagi diri sendiri.
Buku Nikmatnya Bangun Pagi terbilang sangat tipis jika dibandingkan dengan bacaan-bacaan saya biasanya, tetapi butuh waktu lama untuk menamatkannya. Penyebabnya adalah saya nggak suka sama teknik penulisan yang dipilih. Terlalu…. terlalu :)))). Membaca kalimat yang merayu-rayu (dalam hal alasan melakukan ibadah) membuat saya kurang nyaman. The writer gave me the vibe of “that dad who shared too much motivational quotes—badly edited in an image stock—on WA groups and status.” Banyak tulisan yang menurut saya… lah, gitu doang? Nggak perlu beli buku juga paham, mah. Terus juga, sebagai buku yang katanya bestseller, penataannya ala blogpost gitu, lengkap dengan enter antar paragraf dan font yang kurang nyaman dibaca. Who edited this???
Tetapi banyak juga hal yang membuat saya tertegun karena tidak pernah memikirkan dari sudut pandang itu sebelumnya, seperti misalnya menjadikan shalat sebagai kebutuhan dan bukannya kewajiban. Terlihat simpel, namun saya jadi sadar kalau selama ini saya salah mindset. Berkat doktrin yang kurang tepat dari pendidikan agama yang saya dapatkan selama belasan tahun lamanya (dikit-dikit ditakut-takutin neraka; mau berbuat kebaikan, dikasih tahu hitung-hitungan pahala yang bakal didapatkan), hubungan saya dengan Allah jadinya terasa seperti transaksi, dimana kalau saya menurut bakal dikasih imbalan dan kalau membelot bakal kena hukum. Mungkin secara teknis benar, tapi bukan ini yang saya inginkan sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya. Jadinya, tiap mau shalat saya bertanya-tanya, saya melakukannya karena murni keinginan dari dalam hati atau karena mengharap dikasih imbalan saja? In this stage I was starting to reevaluate my relationship with Allah. Dan dua tahun kemudian, saya akhirnya bisa berada di posisi di mana saya nyaman beribadah tanpa melakukan hitung-hitungan pahala dan otomatis menjauhi hal-hal jelek hanya karena… itu bukan sesuatu yang ingin saya lakukan (dan bukannya takut dimasukkan ke neraka lapis sekian atau konsekuensi-konsekuensi lainnya).
Sudut pandang kedua adalah memberi jeda ketika membaca ayat-ayat saat shalat, karena kita sedang berkomunikasi dengan Allah. I was that person, you know….. yang ngedumel dalam hati kalau imam shalat tarawih bacanya lambat dan menghayati. Karena artinya kita bakal lebih lama pulangnya. Untungnya sekarang saya sadar jika kegiatan shalat adalah kesempatan untuk berkomunikasi sama Allah. Saya perlu memberi kesempatan bagi pihak yang saya ajak komunikasi untuk menjawab. Terus saya juga senang sekali sama kalimat: “Jika engkau ingin berbicara dengan Allah, maka shalatlah. Jika engkau ingin Allah berbicara kepadamu, maka bacalah Al-Qur’an.” Ketika saya sedang terpuruk tahun lalu, kata-kata inilah yang menenangkan saya. Mau cerita atau dikasih cerita? Saya punya akses ke dua-duanya. Saya nggak pernah merasa sendirian lagi dan nggak perlu memendam semuanya di dalam hati. A life-changing moment.
Namun, saya tetap tidak bisa menyetujui beberapa bagian, misalnya ketika penulis mengatakan kalau, “Kita juga merindukan, banyak lantunan merdu bacaan Al-Qur’an di masjid-masjid, tidak hanya saat Ramadhan.” Kalimat tersebut tidak bisa diaplikasikan ke kondisi saya yang dikelilingi masjid dengan speaker yang terlalu keras. Bahkan, sampai ada suara berdenging di akhir lantunan saking polnya Ta’mir masjid muter tombol volume. Kebiasaan Ta’mir sini yang sempat membuat konflik adalah setengah jam sebelum adzan, dia menyetel tadarus dari kaset, taruh di speaker atas (dan bukan speaker dalam masjid, jadi dia nggak paham sekeras apa), terus ditinggal main ke rumah tetangga. Ketika ditegur—karena sudah menyalahi aturan MUI terkait penggunaan speaker masjid—mereka marah dan menuduh kita kurang religius. Sejak pengalaman itu, saya tidak bisa “menikmati” lantunan merdu dari masjid. Nyetel sendiri saja di Spotify kalau lagi ingin, pakai headset, niscaya lantunannya lebih jernih dan tidak membuat telinga sakit karena terekspos lengkingan speaker kurang layak dalam periode yang lama.
Hal yang misleading selanjutnya adalah perkataan penulis bahwa, “Rahasia Turki dapat bangkit dan maju adalah dengan tiga gerakan: shalat subuh berjamaah, gerakan infak-sedekah, dan gerakan ekonomi umat.” Mungkin edisi terbaru sudah direvisi ya, tapi ini adalah salah satu contoh ke-sotoy-an penulis, karena di tahun 2018 Turki mengalami krisis ekonomi yang saking parahnya, sampai memunculkan sentimen negatif kepada negara-negara berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia (baca deh laporan keuangan Bank Indonesia, dibahas kok). Saya rasa mengkait-kaitkan ibadah sebagai penyebab absolut keberhasilan suatu negara kurang bijak dan bisa jadi bumerang ketika negara yang bersangkutan kena masalah. Belum lagi itu artinya si penulis mendiskreditkan peran faktor-faktor lain yang, ahem, benar-benar berpengaruh bagi kinerja negara tersebut. Lebih baik pakai perumpamaan lain ya, biar dibaca juga lebih masuk akal.
Meskipun banyak kurangnya, saya senang dulu sempat menemukan, membeli, dan membaca buku ini. Saya harap ke depan dilakukan banyak perbaikan agar manfaat yang didapatkan pembaca bisa lebih banyak. Dan karena saya masih sangat newbie dalam masalah agama, saya harap saya tidak menyinggung siapapun dengan ditulisnya ulasan ini.
No comments:
Post a Comment