Thursday 26 December 2019

[Review Buku] Catch and Kill oleh Ronan Farrow


Tahun 2017 silam, timeline Twitter saya sangat ramai oleh berita tentang Harvey Weinstein yang diduga menyalahgunakan kekuasaannya sebagai produser terkemuka untuk melakukan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan yang menjadi bawahannya. Beberapa korban maju memberikan kesaksian. Banyak pihak membenarkan. Namun, banyak juga yang menganggap korban cuma mencari perhatian dan “toh artis X juga terkenal genit sana sini.” Setahun kemudian, berita sejenis mencuat, kali ini menyasar Hakim Mahkamah Agung Brett Kavanaugh. Dampaknya lebih besar, hingga memunculkan gerakan #IBelieveHer khususnya dari perempuan-perempuan di Amerika Serikat.


Yang ingin saya bahas di sini adalah kasus pertama. Sebagai pembaca awam, dulu saya cuma lihat sekilas nama-nama yang terlibat. Dan moving on, karena saat itu berita politik dari Amerika sangat overwhelming. Dari semua ribut-ribut yang terjadi, nama yang melekat di memori ya cuma Harvey Weinstein. Hingga akhirnya saya dipinjami buku Catch and Kill. Sang penulis, Ronan Farrow, adalah jurnalis yang pertama kali menerbitkan artikel yang secara terang-terangan “menunjuk” Weinstein sebagai pelaku pelecehan seksual dan mengutip kesaksian korban yang ia wawancarai, seorang predator. Buku ini adalah elaborasi dari artikel-artikel yang berhasil ia publikasikan pada tahun 2017. 


Saya mulanya ingin batal baca setelah di bagian awal Ronan Farrow memperkenalkan diri sebagai anak Woody Allen. Bisa dibilang saya sudah meng-cancel Allen dan film-filmnya sejak kasus pelecehan seksual yang ia lakukan ke anak perempuannya sendiri (adik Ronan) terkuak. Melihat berita tentang artis-artis, misalnya Selena Gomez, yang bergabung dalam proyek film Allen meskipun sudah tahu kelakuannya saja langsung bikin saya agak gimana gitu sama artis yang bersangkutan, apalagi ini anaknya sendiri? Namun fakta bahwa Ronan Farrow adalah nama yang tertera di artikel pertama tentang Weinstein membuat saya memberikan benefit of the doubt

Di buku ini, Ronan Farrow menceritakan perjalanannya dari pertama mendapat penugasan dari atasannya di NBC, Noah Oppenheim, untuk mencari topik berita untuk acara TV paginya, hingga pada akhirnya topik tersebut terpublikasi ke The New Yorker. Banyak yang mempertanyakan, bagaimana bisa dia memulai dari NBC dan berakhir di The New Yorker? 

Semua berkat kuasa Harvey Weinstein.

"When people go up against power brokers there is punishment," she said. I realized her anxieties went beyond career considerations.

Jika masih ada yang mempertanyakan “Kok baru sekarang ih maju ngaku dilecehkan padahal kejadiannya tahun 1980?” atau "Kok baru sekarang baru dibahas di berita?", saya bakal nyuruh mereka baca buku Catch and Kill saja. Catch and Kill sendiri adalah istilah yang digunakan untuk melabeli praktik pembelian eksklusivitas cerita untuk kemudian dikubur dalam-dalam; kasarannya membayar korban untuk tidak menuntut. Dan memang itulah yang terjadi. Ronan Farrow melacak korban-korban Weinstein, dan hampir semuanya mengalami tekanan untuk menandatangani NDA. Ambra Battilana Gutierrez, satu dari sedikit yang berhasil lari langsung ke kantor polisi untuk lapor, nasibnya dibalik dari mulai laporannya tidak dianggap cukup valid oleh jaksa wilayah hingga penyebaran isu kalau dia adalah sugar baby dan gadis Bunga-bunga. Weinstein memakai seluruh koneksi yang ia punya untuk menyelamatkan reputasinya sendiri. Ia bahkan terbukti menjadi klien tetap Black Cube, sebuah agensi private investigation dari Israel, agar bisa terus melacak, menguntit, dan mengancam pihak-pihak yang ingin berpotensi menguak kebenaran ke publik. Termasuk dalam daftar ini adalah para jurnalis sekelas New York Times. 

“Everyone was a double agent,” Wallace told me.
This seemed to be especially true of several sources who had offered to help.

“I was exhausted. I was humiliated. I couldn’t work in the industry in the UK because the stories that were going around about what had happened made it impossible,” she recalled. In the end, she moved to Central America. She’d had enough. “Money and power enabled, and the legal system has enabled,” she eventually told me. “Ultimately, the reason Harvey Weinstein followed the route he did is because he was allowed to, and that’s our fault. As a culture that’s our fault.”

When I told her Weinstein was already aware of my reporting, Arquette said, “He’s gonna be working very hard to track people down and silence people. That’s what he does.” She didn’t think the story would ever break. “They’re gonna discredit every woman who comes forward,” she said. “They’ll go after the girls. And suddenly the victims will be perpetrators.”

Pihak-pihak yang terlibat dalam terpublikasinya artikel The New Yorker adalah pasukan berani mati. Mereka tahu intaian dan bahaya yang akan mendatangi, namun tetap maju terus. Ronan Farrow bahkan secara berkala menaruh dokumen yang berhasil dia dapatkan ke kotak safe-deposit Bank of Amerika untuk “jaga-jaga” diserahkan ke jurnalis selanjutnya kalau terjadi sesuatu dengannya. NBC yang awalnya menugaskan Ronan Farrow dan memberikan info tentang narasumber pertamanya pada akhirnya takluk pada ancaman tim hukum Weinstein dan menghentikan proyek tersebut. Ketika Ronan Farrow tetap melanjutkan proses wawancara korban, ia dianggap “sudah tidak bekerja bersama NBC lagi” meskipun kata-kata “kamu dipecat” tidak pernah diucapkan kepadanya secara langsung. The New Yorker-lah yang kemudian menampung Ronan Farrow dan membantu sekaligus melindunginya untuk menyelesaikan artikel yang semakin lama urgensinya menjadi semakin besar.

Catch and Kill benar-benar membeberkan betapa sulitnya proses pembuatan sebuah artikel yang mengubah nasib perjuangan korban pelecehan seksual menjadi lebih baik. Setidaknya, kita tidak akan seskeptis dahulu dalam hal upaya speak up. Atas perannya itulah, Ronan Farrow mendapatkan Pulitzer Prize.


Namun meskipun impactful, pengalaman membaca buku ini cukup melelahkan bagi saya. Terlalu banyak nama disebut dan penceritaannya agak kaku. Ya seneng sih karena transparan dan beberapa nama cukup mengagetkan, misalnya soal Hillary Clinton yang sejak awal aware sama kelakuan Weinstein, namun tetap bersedia menerima uang yang dikumpulkan olehnya untuk kampanye presiden 2016 silam. Gemes jadinya karena semua orang berpengaruh yang kenal Weinstein tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Tidak ada yang memperjuangkan para korban, sibuk sama agendanya masing-masing. Tapi ya itu, lebih mudah mengikutinya dari artikel-artikel, video, dan podcastnya. 

Every girl who speaks is paving the way for another,” she told me. Her own silence was about a consensual affair, but she could help expose a deeper and wider system of burying stories that was sometimes used to cover up more serious, even criminal, behavior.

Artikel penerima Pulitzer Prize lain (dipublikasikan oleh New York Times) juga diangkat menjadi sebuah buku. Kapan-kapan saya baca deh, biar bisa melengkapi puzzle tentang salah satu skandal besar dekade ini.

No comments:

Post a Comment