Wednesday 27 March 2019

[Review Buku] Hunger: A Memoir of (My) Body oleh Roxane Gay


Ini adalah kali kedua saya mengetik ulasan memoir Hunger. Dan rupanya masih terlalu ngegas untuk standar ulasan buku yang harusnya netral. Oh, well. Maybe it’s not me, it’s you.

Sebelum ada Educated, Hunger sudah lebih dulu wara-wiri di linimasa berbagai media sosial. Banyak orang mengagung-agungkan memoir ini, sehingga ketika saya ingin membaca memoir lain pasca tamat Educated (ulasan bisa dibaca di sini)… buku ini menjadi pilihan pertama. Apa sih yang mereka maksud? 


Hunger adalah memoir yang ditulis oleh Roxane Gay. Saya tahu sekilas sama nama dia karena Emma Watson pernah memilih buku yang dia tulis (Bad Feminist) untuk dibaca di klub bukunya. Setelah melakukan riset dangkal, rupanya si penulis ini sangat terkenal di ranah literatur dunia; bukunya selalu laris, sering dipanggil untuk bicara di seminar, dll, dst. Apesnya, saya milih buku yang paling “jujur” dari dia untuk membentuk kesan pertama.

Di memoir ini, Roxane Gay sangat blak-blakan menceritakan kisah hidupnya sebagai seorang rape survivor. Di usia 12 tahun, dia diperkosa oleh pacar beserta teman-temannya di sebuah gubuk di tengah hutan. Kejadian tersebut menorehkan trauma yang sangat besar di hidup Roxane Gay, terutama saat dia memutuskan tidak akan memberitahu keluarganya dan bertingkah seperti segalanya baik-baik saja. Upaya coping yang dia pilih adalah dengan makan berlebih. Dia memiliki pemikiran bahwa dengan menutupi bentuk tubuhnya sehingga tidak jadi atraktif lagi, laki-laki akan menjauhinya. Dia juga melakukan tindakan-tindakan destruktif yang bikin saya…… geram…… dan nyaris menyerah. Sehabis tamat buku ini juga rasanya beraaat sekali mau bikin ulasan.

Tapi saya merasa harus meluruskan beberapa hal sama pengagum Roxane Gay di luar sana.

Begini, setiap membaca kebodohan masa remaja Roxane Gay, saya sadar sekali kalau saya punya kondisi yang sangat berbeda dengan dia. 100% sadar. Tapi bukan berarti saya nggak punya hak untuk protes. Saya tidak protes soal keputusan hidup dia. Live your life, by all means, Ms. Gay. Saya protes ke keputusan dia menulis memoir ini tanpa memikirkan apa reaksi dari pembaca-pembaca yang fanatik sama dia atau yang lebih buruk lagi, para survivor dari kejadian-kejadian seperti yang dialami oleh Roxane Gay. Pemikiran yang dimiliki oleh Roxane Gay menurut saya sangat brutal. Dia menyesal melakukan itu, tapi juga…nggak menyesal. Gimana ya menjelaskannya? Dia “secara intelektual” tahu dampak dari tindakan tersebut, namun tetap melakukannya. Yang berbahaya adalah, Roxane Gay sangat pintar menyusun kata. Banyak tindakan bodoh yang dia lakukan mendapatkan pembenaran (yang tampak) masuk akal karena secara ajaib, Roxane Gay mampu menemukannya. Bayangkan jika buku ini dibaca remaja-remaja polos yang belum memiliki pemikiran kritis. Mereka akan merasa “direpresentasi” oleh Roxane Gay—seseorang yang saat ini sangat sukses—sehingga mereka nggak akan sadar kalau tindakan atau pola pemikiran yang mereka miliki sebagai sarana coping sebenarnya sangat destruktif.

Terus, Roxane Gay sadar nggak sih kalau nggak semua orang yang mengalami obesitas itu terobsesi sama penerimaan publik? Dia merasa seperti jadi “juru bicara” universal kaum obesitas dan menyimpulkan kalau segala upaya diet yang mereka lakukan itu hanya untuk diterima oleh publik atau, minimal, menghindari lirikan-lirikan yang menghakimi dari orang-orang di sekitar. Hasilnya? Dia selalu menyalahkan orang-orang yang selama ini berinteraksi sama dia: kenapa sih nggak bisa menerima orang obesitas dengan tulus? Kenapa fasilitas publik tidak ramah sama kaum obesitas? Ditambah berbagai pertanyaan merengek lainnya yang menyalahkan dunia tanpa berefleksi pada diri sendiri terlebih dahulu. I don’t know, man…. saya setuju sama masalah fasilitas publik, tetapi saya rasa nggak semua kaum obesitas haus atas penerimaan publik seperti Roxane Gay. Dan karena Roxane Gay merasa dia boleh jadi jubir universal kaum yang mengalami obesitas, saya juga merasa pantas jadi jubir universal dari kaum “seberang”—*roll  eyes* dia merasa dunia terbagi dalam dua kelompok HUFT—a.k.a dari masyarakat yang selalu menghakimi: Mungkin… mungkin ya… kaum kami *roll eyes* ketika melihat ke kalian itu…. sebenarnya tidak ada pemikiran aneh-aneh yang muncul di pikiran kita. Ya memang lagi lihat-lihat aja dan kebetulan tatapan kita bertemu waktu saya lihat ke arah sampeyan. Nggak semua orang sejahat itu.

Dan ini murni pendapat saya sebagai anak ekonomi: daripada mengeluhkan soal industri F.A.S.H.U.N. yang nggak pernah memfasilitasi kaum obesitas dengan pakaian yang menarik dan nyaman, kenapa enggak menjadikan fenomena ini sebagai kesempatan bisnis? Bayangkan kalau Roxane Gay mendorong pembacanya untuk memfasilitasi kebutuhan pakaian bagus bagi kaum obesitas dan bukannya cuma mengeluh untuk kemudian diamini pembaca fanatiknya di seluruh dunia. Pasti bakal lebih banyak hal baik terjadi dengan dibacanya buku ini.


[Okay. Sejak awal saya harusnya mengikuti kata hati saja karena data historis menunjukkan saya paling nggak bisa ikutan rame-rame kayak gini; kebanyakan ujung-ujungnya saya benci sama buku yang dimaksud dan bencinya sendirian. Now I feel extremely lonely in this island, everybody just boarded that damn ship].

Saya harus bilang, gaya menulis dia bagus. Bagus banget malah, terbukti dari banyaknya kalimat yang saya highlight. Tapi ya itu, problematik. Dan sangat berbahaya ketika suara penuh pengaruh macam Roxane Gay digunakan secara nggak bijak. Saya berharap orang-orang yang membaca memoir ini tidak terseret ke pola pikir negatif dan destruktif Roxane Gay. Masih banyak orang baik di dunia ini. Have faith in people, guysDan yang paling penting: coba sekuat tenaga untuk mencintai dan menghargai diri sendiri. Mencintai diri sendiri bisa dimulai dengan tindakan mengedukasi diri tentang hal yang menurut kalian penting dan berkaitan langsung dengan hidup kalian daripada koar-koar menyalahkan dunia (atau yang lebih parah, menyalahkan pemerintah). Jangan jadi seperti Roxane Gay. 

No comments:

Post a Comment