Sunday 31 March 2019

A Walk Through My Precious Journals + Bonus

Sebagai seseorang yang suka nulis apa yang saya baca di buku catatan—I learned the hard way you can’t rely on your memory only when you read various of books and articles at daily basis—saya nggak pernah beli buku catatan. Pemikiran ini muncul setelah buku catatan saya sudah terisi sampai halaman paling belakang dan…. now what? Ya karena saya nggak punya pengalaman beli buku catatan kayak gini. Nggak tahu harus ke mana, sedia uang berapa, cari yang kayak apa. Buku catatan yang saya punya dan pakai selama ini adalah hadiah dari teman-teman.


Yang pertama adalah buku catatan Miniso hadiah dari teman kuliah, Mbak Ajeng. Ukurannya lebih kecil dari semua buku catatan yang saya punya. Kalau saya yang datang ke Miniso-nya sendiri, buku catatan kayak gini kelirik pun enggak. Tapi ternyata—saya sendiri pun kaget—saya sangat suka sama betapa enteng dan mudah buku catatan ini buat diselipkan di tas yang penuh kertas dan laptop. Di halaman-halaman awal isinya masih campur-campur, kebanyakan tentang artikel Medium dan buku yang saat itu saya baca. Semakin ke belakang, saya semakin sering menuliskan pemikiran saya tentang tema tesis yang saat itu nggak lebih dari angan-angan. Masih belum tahu cara penelitian, cara olah data, dan apa yang mau ditulis di Ms. Word. Segala teori dan potongan-potongan informasi berharga saya tulis dengan teliti, meskipun dengan tulisan acak-acakan. Modal yakin aja lah kalau suatu saat mereka bakal berguna. Lambat laun, potongan-potongan ide tersebut bermanifestasi menjadi sesuatu yang utuh dan siap diketik dengan gaya saya. Nggak perlu repot buka-buka jurnal lagi, karena dulu sudah repot-repot nulis manual dan disatukan di satu buku. You chose your battle, there’s no easy shortcut. Keberhasilan saya nulis tesis yang niat adalah berkat buku catatan ini.

Oke sebelum saya simpan buku catatan ini di kardus khusus tesis (biar kamar nggak penuh), mari kita abadikan apa saja sih yang ada di dalamnya.

Halaman paling depan khusus untuk untuk post-it "ide besar" yang dijadikan patokan arah tesis ini mau dibawa ke mana. Ada juga quotes dan penyemangat dari Mbak Arin yang mengandung ~typo~ tapi ku cuma bisa mringis karena.... I love her. I love her enough to NOT ruin her beautiful handwriting.


Selanjutnya adalah saksi kegalauan saya di awal penelitian untuk memilih alat ukur analisis. Banyak teori dan kelebihan kekurangan memakai alat X, Y, Z, dll, dst. Untuk yakin mau memilih alat yang mana, saya harus baca banyak jurnal internasional berindeks SCOPUS dan beneran bertapa. Pembelajaran yang saya dapatkan di masa-masa ini adalah semua berasal dari ide kecil yang muncul di saat-saat tidak terduga. Selalu sedia pulpen dan buku catatan biar ide bagus nggak hilang gara-gara pikun.



Nah bisa dilihat saya sudah mulai terlihat terdistraksi sama hal-hal yang nggak ada kaitannya sama tesis. Malah baca bukunya Stephen Hawking dan mencatat pidatonya. Tapi berkat catatan ini saya bisa jawab pertanyaan temen saya yang masih ragu "Beneran nggak sih bumi itu bulat?" [SPOILER: friendship is over]. Pidato Stephen Hawking juga sangat memotivasi saya yang saat itu lagi di titik motivasi terendah karena belum nemu salah satu komponen yang tepat buat tesis saya.



Terus saya mulai mengenal Medium. Sudah dalam taraf kesetanan sih pas inget berapa waktu yang saya habiskan buat baca artikel-artikel di sana. Ya gimana, saya menemukan tempat berkumpulnya orang-orang pinter yang sukarela berbagi ilmunya. Dapat banyak banget inspirasi dan pemikiran baru berkat Medium.


Terakhir adalah catatan ketika datang ke sesi kuliah dari keynote speaker konferensi internasional yang diadakan kampus. Untuk bisa datang ke kuliah ini sebenarnya harus bayar $$$$$$$, tapi karena saya waktu itu jadi LO dan MC, makanya bisa dapat free access.



Lanjut ke catatan kedua, yang saya pakai untuk mencatat SEMUA hal menarik dari apa yang saya baca. Buku ini adalah hadiah dari Astri dan keren banget, ada jaketnya. Tapi saya lebih suka bawa buku ini kemana-mana naked, karena lebih praktis dan enteng. Halamannya tidak bergaris, dan inilah yang membuka mata saya tentang seni mind-map dalam membuat catatan. Saya berhasil menemukan gaya saya sendiri dalam mencatat: penuh warna dari pulpen dan highlight serta dengan penempatan paragraf suka-suka. Siapa peduli soal kerapihan? Yang penting saya bisa menemukan informasi saat diperlukan. Saya yang dulu benci mind-map, sekarang malah mengaplikasikannya dalam catatan sehari-hari.








Dua buku catatan di atas menampol pola pikir jadul saya soal kesempurnaan: nggak perlu menyiksa diri gara-gara cari ukuran buku paling pas dan cara nulis catatan paling pas. Nih saya pakai dua buku catatan antimainstream di dua kegiatan penting dalam hidup dan semua baik-baik saja. Dunia masih terus berputar dan tugas berhasil diselesaikan. Pemikiran ini pada akhirnya saya aplikasikan ketika mencari buku catatan selanjutnya. Saya berencana untuk memakai loose leaf yang isinya masih utuh karena saya beli di minggu-minggu terakhir kuliah dan memakai ulang binder kuliah saya. Jadi, buat buku catatan ke depan saya nggak perlu keluar biaya sama sekali. (S E E! Periode ini pun secara teknis saya nggak beli buku catatan secara sadar, yang membutuhkan proses milih-milih dan bingung dan akhirnya beli tapi agak nggak puas. Is it a blessing or a curse???).

[Tepuk tangan buat diri saya di masa lalu karena sudah foreshadowing kalau saya bakal lebih suka mencatat di loose leaf polos sehingga 100 halaman ini bisa terpakai. Uang yang awalnya dianggarkan buat beli buku catatan bisa dialokasikan ke kebutuhan lain.]


I saved the best for the last, everybody. That is not the end. Masih ingat betapa teman-teman saya memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam bentuk buku catatan? ADA YANG LEBIH EXTRA, karena orang ini ngasih saya iPad. I wish I was kidding...

*wipe tears* i lov my frens. 

Dari mulai merek, ukuran, dan segala detailnya... persis sama impian saya yang dari kemarin berdarah-darah nabung buat beli sendiri dan sudah berkali-kali ke tokonya buat nyobain tapi ternyata harus bayar uang kuliah sebagai syarat sidang (meskipun ujung-ujungnya dapat pengembalian 100% beberapa bulan setelahnya). Makanya saya kaget campur bahagia sama surprise dia. Setiap saya memakai iPad ini, saya selalu berdoa biar ilmu yang saya serap juga menjadi berkah bagi teman saya itu. Sungguh karunia dari Allah begitu besar, saya selalu didekatkan sama orang-orang yang memudahkan proses belajar saya. Selama proses membaca (entah fiksi atau nonfiksi), ada perasaan dipukpuk dan dipeluk virtual sama teman-teman saya, sehingga mau nggak mau saya jadi super semangat menambah ilmu setiap hari. Lulus kuliah bukan berarti berhenti belajar, kan?

No comments:

Post a Comment