Kali ini saya berkesempatan untuk membaca salah satu buku rekomendasi Bill Gates yang sedang hangat dibicarakan oleh khalayak, Educated. Karena buku ini adalah buku yang beliau rekomendasikan dengan semangat sekuat ketika membahas Factfulness—dan saya super jatuh cinta dengan Factfulness—maka saya sempatkan untuk membacanya di minggu tenang pasca keributan tesis selesai.
Buku ini adalah sebuah memoir, secara tuntas menceritakan kisah hidup Tara Westover. Siapa Tara hingga orang sepenting Bill Gates terkagum-kagum dengan dia? Tara adalah anak seorang pemulung (saya nggak tau ya pekerjaan resmi bapaknya ini apa, tapi kayaknya lebih ke mulung deh) yang tinggal di lembah gunung di Idaho. Semua anak di keluarga Tara tidak ada yang sekolah dan tidak pernah tahu apa itu rumah sakit. Bahkan, hanya 3 dari 6 anak yang punya akta kelahiran. Penyebabnya? Si Bapak memiliki ketakutan besar kalau pemerintah merupakan anggota Illuminati yang melakukan propaganda untuk mencuci otak anak-anak melalui sekolah. Di sisi lain, ahli medis dianggap menyalahi kodrat manusia karena si Bapak percaya Tuhanlah yang memberi penyakit, maka Tuhan pula yang akan memberi kesembuhan. Si Bapak ini tipe yang suka menelan ayat kitab suci mentah-mentah (misal, di Isaiah disebutkan kalau “Butter and honey shall he eat, that he may know to refuse the evil, and choose the good.” Nah, si Bapak ini menginterpretasikan secara harfiah kalau salah satu di antara susu atau madu itu baik, sedangkan satunya jahat. Kemudian, dia bakal halu dan bilang kalau Tuhan membisiki dia yang baik itu madu. Jadilah sepanjang sisa hidup, mereka bakal menghindari susu, keju, dan yoghurt dan menimbun bergalon-galon madu. Sereal juga dikunyahin gitu aja meskipun seret). Si Bapak juga tipe yang percaya 31 Desember 1999 adalah akhir dunia karena komputer tidak bisa menerima input 00 dari 2000, sehingga sejak bertahun-tahun sebelumnya dia dan sekeluarga ngebut buat nimbun makanan, bensin, dan obat-obatan herbal untuk menyambut kiamat itu. Sekeluarga? Manut aja.
Si Bapak—and I cannot stress this enough—adalah sumber dari darah tinggi saya semingguan ini. Bahkan ketika sudah jelas terbukti kalau dunia masih berputar dengan normal pasca 31 Desember 1999, dia masih punya cukup harga diri buat membuat teori-teori ekstrem lain berkaitan dengan cara hidup keluarganya. Tara jatuh dan kakinya tertusuk besi di tempat sampah? Oles ramuan herbal buatan ibunya. Badan Luke (kakak Tara) terbakar karena bajunya tidak sengaja tertumpahan bensin dari mobil rongsokan dan terpantik api? Oles ramuan herbal buatan ibunya. Si ibu habis kecelakaan dan muncul benjolan yang semakin lama menghitam di atas matanya—yang kemudian diketahui sebagai Racoon Eyes, tanda cedera otak serius? Berdiam saja di basemen yang gelap sampai memar dan pusingnya hilang.
Bisa dikatakan, sebagai keluarga yang menentang pergi ke rumah sakit, ada BANYAK SEKALI kejadian yang mengharuskan mereka untuk ke sana. Tapi karena bapaknya kolot, dan si ibu manut, mereka harus menahan rasa sakit dan… tetap menjalani aktivitas layaknya biasanya. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada anggota keluarga dipandang si Bapak sebagai ujian Tuhan bagi keluarga dan terutama bagi si istri. Si Bapak percaya bahwa seperti dirinya, sang istri adalah manusia khusus pilihan Tuhan yang diutus untuk membawa kesembuhan bagi orang-orang “taat” yang menentang ilmu medis modern (karena, you know, ilmu medis modern tidak sesuai dengan perintah Tuhan). Jadi bisa dikatakan, pekerjaan si istri sebagai bidan tanpa lisensi dan pembuat ramuan jadi seperti musibah sekaligus anugerah bagi mereka.
Such a crazy family.
Di kemudian hari akan diketahui bahwa si Bapak menderita penyakit mental. Tidak dapat dipastikan lebih ke bipolar disorder atau schizophrenia, karena yang bersangkutan tidak pernah menemui dokter langsung. Yang jelas, sungguh ironis ya bahwa ketakutan si Bapak terhadap dokter justru yang menghalanginya untuk mendapatkan perawatan untuk sembuh. Dan pada akhirnya, keluarganyalah yang harus membayar semua penderitaannya.
Then a part of me understands, even as I begin to argue against it, that my humiliation was the cause of that pleasure. It was not an accident or side effect. It was the objective.
Saya kira, nggak ada yang bisa mengalahkan kegilaan si Bapak. Tapi ternyata ada. Shawn, kakak Tara, sukses membuat hidup Tara menderita lahir batin. Shawn ini tipikal remaja bandel yang suka bikin keributan di gang komplek. Di keluarganya sendiri pun, Shawn melakukan banyak tindakan abusif, baik verbal maupun nonverbal. Meskipun dia kadang bisa jadi kakak paling perhatian dan protektif bagi Tara, saat-saat ketika sifat jahatnya keluar ini… bikin saya… geram… dan… pengen langsung tutup buku dan melupakan niat untuk menamatkannya.
Semakin hari, tindakan si Bapak dan Shawn semakin menjadi-jadi. Bahkan, mereka seperti “menarik” orang-orang gila lainnya untuk bergabung di keluarga mereka. Seperti ketika si Bapak kena kebakaran parah dan hampir setengah tubuhnya hancur (the irony and the karma YOUKNOWWHATIMEAN). Selamatnya dia dari tragedi itu—meskipun dengan cacat permanen—tanpa bantuan rumah sakit menjadikan bisnis obat herbal sang ibu laris manis di seantero Amerika. Karyawan yang dipekerjaan sudah tidak seperti rekan kerja, tapi lebih ke pengikut relijius yang memandang si Bapak sebagai utusan Tuhan. Ada pula tambahan anggota keluarga baru, yaitu dia-yang-saya-nggak-mau-repot-buat-ngingat-namanya yang pada akhirnya jadi istri Shawn meskipun sudah tahu watak dan tindakan Shawn seperti apa. Saya nggak tega ketika Tara membahas momen istri Shawn kabur ke rumah mertuanya tanpa sepatu sehabis kena kumatnya Shawn, but homegirl saw that coming though.
Satu-satunya yang menyelamatkan Tara untuk tidak lagi terjebak dalam keluarga gila adalah keputusannya buat belajar mati-matian dan ikut kejar paket. Akhirnya Tara diterima di BYU dan pindah ke dormitory. Tara benar-benar menceritakan perjuangannya dalam menyadari kalau cara hidup dan berpikir tarzannya itu nggak lazim; dari yang nggak pernah cuci tangan setelah dari kamar mandi, nggak pernah membereskan sampah dan buah yang busuk, hingga menahan sakit gigi dan demam meskipun rasanya sudah kayak mau mati. Tindakan ndableg-nya bikin Tara dijauhi teman satu dorm dan satu kampus, dan baru mulai berubah ketika Tara datang ke gereja buat konseling dengan Romonya.
Untungnya, Tara cepat berubah dan malah menjadikan pengalamannya ini sebagai poros dari esai-esai yang dia tulis. Hasilnya, tulisan Tara memiliki suatu keunikan yang menarik perhatian dosennya. Kombinasi dari ide unik dan tetap grounded pada teori-teori dari buku membuat Tara mendapatkan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan di Cambridge dan Harvard. Seseorang yang mulanya bukan siapa-siapa ini, pada akhirnya bisa mendapat gelar PhD dari universitas-universitas Ivy League.
Menurut saya, konflik mengenai tindakan abusif keluarga Tara dan bagaimana ia menanggapinya merupakan poin yang membuat banyak pembaca memberikan 5 bintang dan pada akhirnya membuat Educated memenangkan nominasi Goodreads kategori Memoir-Autobiography. Buku ini adalah representasi dari korban tindakan abusif yang pada akhirnya bisa sadar, bangkit, dan melawannya dengan bantuan pendidikan. Di masa ketika tindakan abusif banyak diglorifikasi dan diromantisasi pada novel-novel Young Adult dan New Adult, Educated ini jadi semacam “pengingat” pada pembaca bahwa tindakan abusif, baik verbal maupun nonverbal, tidak selayaknya dimaklumi. Dan selemah apapun kondisi kalian saat ini (ibu rumah tangga yang bergantung sepenuhnya pada finansial dari suami, anak yang belum punya pekerjaan, kekasih yang terlanjur cinta meskipun sudah diperlakukan secara buruk, dsb), jalan keluar itu ada. Tara buktinya.
I could not judge her for her choice, but in that moment I knew I could not choose it for myself. Everything I had worked for, all my years of study, had been to purchase for myself this one privilege: to see and experience more truths than those given to me by my father, and to use those truths to construct my own mind. I had come to believe that the ability to evaluate many ideas, many histories, many points of view, was at the heart of what it means to self-create. If I yielded now, I would lose more than an argument. I would lose custody of my own mind. This was the price I was being asked to pay, I understood that now. What my father wanted to cast from me wasn’t a demon: it was me.
Namun, meskipun pesan yang disampaikan oleh Tara positif, saya merasa tidak dapat menangkapnya dengan baik. Hal ini dikarenakan Tara lebih berfokus pada cerita derita, lengkap dengan detail-detail menjijikkannya (saya sebenarnya oke-oke saja lho tanpa harus dikasih tahu seperti apa luka yang dimiliki Tara dan keluarganya ketika kena musibah). Pembahasan Tara soal sekolah dan perubahan-perubahan hidupnya, yang menurut saya harus ditonjolkan, malah kurang. Ya judulnya aja Educated gitu, masak pembahasan soal edukasinya nggak mendominasi? Kejadiannya memang sudah diurutkan menurut waktu terjadinya, tetapi mengingat ada prinsip “berita yang negatif akan lebih menarik perhatian dan lebih melekat di pikiran pembaca,” kesan saya ke buku ini jadi lebih soal keluarga gila Tara dan bukannya perjuangan Tara dalam keluar dari cengkeram kebebalan keluarganya.
Saya merasakan momen #relatable dengan Tara ketika dia membahas upaya Prof. Steinberg dan Dr. Terry untuk meyakinkan dia melanjutkan pendidikan ke Harvard (saat itu Tara sudah di Cambridge). Masa-masa ketika esainya dipuji—meskipun sudah jelas karena bagus dan membutuhkan pengorbanan begadang berhari-hari—membuat Tara semakin insecure dengan kemampuan yang dimiliki. Mungkin memang sudah sewajarnya perasaan itu ada, untuk mencegah kita cepat berpuas diri dan sombong. Dan mungkin memang orang-orang macam Tara dan saya membutuhkan sosok-sosok seperti Prof. Steinberg dan Dr. Kerry untuk bilang “Just go on submit your goddamn paper!!!!!” Momen ini benar-benar menenangkan saya karena... waw, orang sehebat Tara saja merasakan hal seperti ini. Saya nggak perlu menyalahkan diri sendiri ketika perasaan tidak menyenangkan ini muncul. Hanya perlu baca ulang esai kita, edit sesuai standar kita, dan submit dengan bismillah!
“Dr. Kerry smiled. “You should trust Professor Steinberg. If he says you’re a scholar—‘pure gold,’ I heard him say—then you are.”
“This is a magical place,” I said. “Everything shines here.”
“You must stop yourself from thinking like that,” Dr. Kerry said, his voice raised. “You are not fool’s gold, shining only under a particular light. Whomever you become, whatever you make yourself into, that is who you always were. It was always in you. Not in Cambridge. In you. You are gold. And returning to BYU, or even to that mountain you came from, will not change who you are. It may change how others see you, it may even change how you see yourself—even gold appears dull in some lighting—but that is the illusion. And it always was.”
Momen #relatable lain adalah ketika Tara pulang ke rumah orang tuanya waktu pertengahan tesis dan terjebak bersama Shawn yang sudah lama memendam amarah ke Tara. Setelah selamat, insting Tara adalah langsung pergi ke bandara terdekat dan kabur. Tapi, ada sisi rasional di diri Tara yang langsung teriak, “LAPTOP MASIH DI RUMAH. DATA-DATA TESISKU DI SANA SEMUA.” I laughed out loud because that’s the thing that’d sure as heck made me go back home and retrieve my laptop, even if that means I had to confront Shawn again. Tidak ada yang bisa memisahkan mahasiswa semester akhir dengan bayi tesisnya, lemme tell ya!!
Begitulah review panjang lebar saya tentang Educated. Sungguh melelahkan tapi juga mengajarkan pada saya sebuah sudut pandang baru mengenai privilege dan keuntungan mengenyam pendidikan. Oh ya, saya membaca buku ini dalam versi audiobook, murni karena naratornya adalah Julia Whelan. Suaranya yang sendu tapi merdu sangat cocok dalam membangun setting kehidupan Tara Westover. Berkat membaca audiobook, saya mengalami sebuah keajaiban dalam hidup: lantai mendadak bersih dan dipel setiap hari, jemuran terlipat dengan rapi, kaca-kaca jadi kinclong tanpa debu, dan sayur-sayur terpotong rapi sebelum dimasak. Akankah hal seperti ini terjadi lagi? Kita lihat saja akan ada buku bagus apa di masa depan.
astaga keren.. langsung cari di amazon
ReplyDeletehalo. makasih yaa!
Deleteselamat membaca educated :D
Hai! Terima kasih atas review menarik dan on-point ini.
ReplyDeleteSaya setuju dengan poin tentang bagaimana pendidikan sayangnya tidak menjadi fokus dalam memoir ini. Saya berharap dampak pendidikan dalam mengubah Tara menjadi individu yang lebih baik ditekankan dalam memoirnya. Eh ternyata pembaca malah dibuat emosi karena Keluarga Westover yang disfungsional...
well, thank you reviewnya :) saya udh masukin buku ini ke wishlist saya dan akhirnya makin yakin untuk beli krn baca review kamu
ReplyDeletethankssss. bagus bet
ReplyDeleteThanks kak suka dehhh
ReplyDeleteKakak dapat audio book nya darimana?
ReplyDeleteI never enjoy a book review this much, langsung otw baca
ReplyDeleteMerasakan kegemesan reviewer 😄
ReplyDelete