Friday, 19 April 2019

[Review Buku] An Anonymous Girl oleh Greer Hendricks & Sarah Pekkanen

Di ulasan Little Fires Everywhere, untuk pertama kalinya saya memakai buku catatan dengan loose leaf polos. Rupanya, saya nggak bisa bikin catatan yang “lurus” seperti ketika pakai buku catatan polos berjilid. Tulisan saya di situ pun jadi acak-acakan dan paragrafnya naik-naik ke puncak gunung. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk beli loose leaf dengan pola titik-titik (dotted) dan kotak-kotak (grid) untuk membantu saya nulis lurus tanpa mendistraksi mata dari garis yang dibuat oleh pabrik. Ini bukan semata pembelian impulsif di atas jam 12 malam sih, karena sesungguhnya paling nggak bisa saya tuh pakai loose leaf bergaris yang umum dijual di toko. Garisnya terlalu tebal sehingga tintanya bakal balapan sama tinta pulpen saya. Kesimpulannya, g o o d b y e money.


Paket datang tepat sebelum saya berangkat menginap beberapa hari di rumah teman, sehingga saya cuma punya sedikit waktu buat ambil foto. Cukup kaget sama ukurannya yang segede kotak sepatu. Pikir saya, pantas saja mahal… karena ternyata kertasnya tebaaaaal dan saya pesannya banyaaaaak (harus beli minimal 5 barang biar bisa bebas dari ongkos kirim uhuk). Ketebalan lembaran loose leaf yang dua kali lipat dari yang biasa kita beli di toko dikarenakan fungsi sesungguhnya bukan buat nulis catatan biasa, tapi untuk brush lettering. Wow, secara tidak sadar saya naik kelas dari tukang nulis sembarangan menjadi insan a e s t h e t I c. 

Uang saya nggak sia-sia sih, karena terjadi perbaikan mencengangkan pada catatan saya untuk novel yang minggu ini saya baca: An Anonymous Girl.


Can we appreciate this beauties~

An Anonymous Girl merupakan novel thriller yang direkomendasikan Goodreads, menempati peringkat kedua setelah The Silent Patient. Alasan saya lebih pilih ini adalah tagline mereka yang bilang kalau novel ini “psikologi” banget. Cocok sama saya yang lagi mendalami ilmu ini. Hitung-hitung, cari ilmu dan hiburan sekaligus gitu. Saya memang sepertinya sedang jengah sama nonfiksi yang membutuhkan banyak konsentrasi dan ruang ingat.


Novel ini bercerita tentang Jessica, seorang MUA yang tertarik untuk berpartisipasi dalam penelitian seorang psikiater di New York, Dr. Shields, mengenai etika dan moralitas. Jessica bersedia untuk menjadi subjek wawancara—dia dapat info ini dari hasil curi dengar percakapan telepon klien riasnya—karena sedang membutuhkan uang untuk pengobatan adiknya. Bayaran yang diberikan oleh Dr. Shields tidak main-main, 500 USD sekali datang (jadi malu yang kemarin cuma ngasih gelas ke responden). Jessica tidak sadar, dengan mengintervensi penelitian ini, dia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya membuka kenangan menyakitkan, yang kemudian akan menariknya dalam intrik kehidupan keluarga Dr. Shields yang berbahaya.

Menurut saya, ada dua plot twist besar di novel ini. Yang pertama: Dr. Shields adalah seorang perempuan. Reaksi saya terwakili dengan baik dengan pemikiran Jessica berikut:

I don’t know why I assumed she was male. Thinking back, I realize Ben only called her “Dr. Shields.” The way I incorrectly pictured her probably says something about me.

Kenapa ya kita secara otomatis menganggap mayoritas orang-orang yang pintar dan sukses itu laki-laki—kecuali kalau memang sejak awal secara spesifik subjek yang dipakai adalah “she” dan bukannya “he”? Dengan banyaknya buku feminis dan memoir perempuan-perempuan sukses di dunia yang sudah saya baca, saya kira saya tidak akan terjebak dalam plot twist ini. Rupanya tidak juga. Padahal, sampul bukunya juga jelas-jelas menampilkan foto dua perempuan. Bukti kalau saya masih perlu banyak belajar untuk mengkoreksi pola pikir yang masih suka kebawa arus stereotip gender.

Plot twist kedua adalah tujuan utama Dr. Shields melakukan penelitian ini. Alasan Dr. Shields melakukan penelitian mengenai etika dan moral adalah untuk membuktikan apakah sifat tidak setia yang dimiliki suaminya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali saja atau memiliki kemungkinan untuk terulang. Dengan kata lain, Dr. Shields menggunakan ilmu pengetahuan untuk menebak pola perilaku perselingkuhan suaminya sendiri. Pada akhirnya, terdapat dua pertanyaan yang ingin dijawab oleh Dr. Shields: (1) Haruskah hukuman yang diterima Thomas sepadan dengan kesalahan yang dia lakukan? dan (2) Apakah korban punya hak untuk menentukan pertanggungjawaban yang layak diterima pelaku?

…an affair shatters a relationship, leaving the betrayed to grapple with feelings of rage and pain. Forgiveness is not always possible, forgetting is unrealistic.

GUYS! Guuuuyyyyssss! Jangan pernah macam-macam sama seorang intelektual kalau kalian nggak mau punya nasib seperti suami Dr. Shields, Thomas. Novel ini benar-benar membuka mata saya kalau kalian berani cari gara-gara sama seseorang macam Dr. Shields, pembalasan yang kalian terima akan sangat terencana, menyakitkan, dan nyaris tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Mereka dapat memanipulasi pembenaran yang sangat meyakinkan dan memiliki banyak akses untuk mewujudkan rencananya.


Saya harus menekankan di sini kalau tindakan Dr. Shields tidak bisa diterima, baik sebagai seorang profesional maupun sebagai istri. Namun, sifat buruknya muncul akibat perlakuan suaminya. Sayang rasanya melihat seorang yang begitu brilian harus “rusak” karena tindakan seseorang yang egois. 

Every lifetime contains pivot points—sometimes flukes of destiny, sometimes seemingly preordained—that shape and eventually cement one’s path.
These moments, as unique to each individual as strands of DNA, can at their best cause the sensation of a catapult into the shimmer of stars. At the opposite extreme, they can feel like a descent into quicksand.

Sejujurnya, hampir semua tokoh di novel ini nggak ada yang beres sih (kecuali Noah). Jessica yang di sini tampak sebagai korban di antara hubungan Dr. Shields dan Thomas pun sebenarnya sangat problematic karena (a) dia diam-diam mendengarkan ulang pesan suara dari ponsel klien MUA-nya, Taylor, dan (b) dia mengaku sebagai “Taylor” ketika kenalan dengan Noah. Jessica melakukan itu semua tanpa perasaan bersalah sedikit pun, bikin saya curiga jangan-jangan dia sosiopat. Nggak kaget, sih, ketika Jessica mengakui perbuatannya ke Taylor demi mendapat informasi tentang orang yang pertama menawarkan 500 USD tersebut, si Taylor langsung cemas dan melangkah mundur sedikit demi sedikit. You’re rather scary, sis

Begitulah ulasan suka-suka dari saya. Setelah membaca dari awal sampai akhir, saya bisa membenarkan sih kalau novel ini memang psikologi banget, khususnya bagian bab Dr. Shields. Tetapi ya novel ini menurut saya b aja, dengan akhir cerita yang dipaksakan. Agak melebih-lebihkan kalau novel ini masuk genre thriller, karena nggak bikin deg-degan juga. Pelajaran yang bisa saya ambil dari tragedi di novel ini cuma: kalian boleh kok pakai behavioral science untuk menebak pola perilaku seseorang (khususnya yang menyakiti kita), tapi mbok ya jangan dijadikan penelitian beneran gitu .-.

Yeah, funeral to your career.

No comments:

Post a Comment