Saturday 6 April 2019

[Review Buku] Little Fires Everywhere oleh Celeste Ng


Saat ini saya sedang membaca nonfiksi Why We Sleep, sebuah kumpulan informasi mengenai manfaat tidur berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis selama 20 tahun terakhir. Meskipun buku tersebut menarik dan penuh ilmu, di pertengahan saya merasa lelah dan memutuskan untuk mencari hiburan dengan membaca sebuah novel: Little Fires Everywhere. Yang lucu, bukannya terhibur, saya malah kerja gara-gara novel ini. Ketika mencapai halaman sekian, saya menyambar pulpen dan kertas buat mencatat semua hal yang terpikirkan oleh otak. W H YCan we just… take a p e a c e f u l break???


Novel ini sudah diterjemahkan oleh Penerbit Spring tahun lalu, membuat saya sadar kalau saya itu ketinggalan banyak ya waktu vakum tesis kemarin. Penulisnya Celeste Ng, yang sudah sering saya dengar dari banyak Booktuber dan sering lihat tweet dia wara-wiri di linimasa. Secara singkat, Little Fires Everywhere menceritakan tentang terganggunya kedamaian dan keteraturan warga Shaker Heights—sebuah kawasan elit di Cleveland—yang diakibatkan oleh dua skandal besar: kebakaran yang terjadi di rumah Mrs. Richardson dan perebutan hak asuh Mirabelle McCullough oleh keluarga McCullough dan ibu kandungnya. Apakah kedua hal ini berkaitan?

Kalau kalian mengharapkan cerita misteri dengan ketegangan yang menjadi-jadi di setiap halamannya, sepertinya novel ini kurang sesuai untuk kalian. Saya merasa novel ini lebih ke YA atau NA (tergantung pada sudut pandang pembaca), karena penulis sangat berfokus pada pembangunan karakter-karakter dan interaksinya satu sama lain sehingga tidak begitu memedulikan soal pemecahan misteri kebakaran yang terjadi. Melalui alurnya yang cenderung lambat, pembaca akan diajak untuk mengenal setiap karakter lengkap dengan problematikanya masing-masing, dari mulai para remaja (Pearl, Lexy, Moody, Trip) hingga orang dewasa (Mia Warren, Mr. dan Mrs. Richardson, Mr. dan Mrs. McCullough, Bebe). Penggambarannya yang utuh membuat saya memiliki keterikatan emosional yang cukup erat dengan mereka, hal yang jarang terjadi ketika membaca literatur fiksi. 

Yang sangat mengagumkan adalah kemampuan penulis untuk menabrakkan kehidupan Mrs. Richardson dengan Mia Warren—dua sosok ibu yang sangat bertolak belakang—melalui anak-anak mereka dan skandal bayi Mirabelle. Dari sini pembaca akan terombang-ambing untuk mendukung kubu yang mana. Bahkan saya, yang sejak awal pro kubu Mrs. Richardson, pada akhirnya bisa melihat sudut pandang Mia dengan baik (yah meskipun ada satu tindakannya yang nggak bisa saya terima).

Bagian yang saya sukai adalah kilas balik kehidupan Mia. Penulis jelas melakukan riset yang sangat baik tentang fotografi dan sekolah seni karena latar dan aura masa lalu Mia bisa saya bayangkan dengan jelas. Perjalanan panjang Mia untuk menjadi fotografer profesional pun terjabarkan dengan sangat keren. Saya—dengan dua sel otak tersisa yang bebal ini—berhasil menangkap pesan dari lika-liku kehidupan Mia bahwa profesionalitas didapat dari kerja keras, mengorbankan uang yang tidak sedikit (mahasiswa seni pasti ngerti), dan kalau kurang beruntung seperti Mia, perjalanan kita akan sangat sepi karena orang-orang di sekitar kita nggak ada yang mengerti dan peduli. “Keunikan” dan “bakat” nggak jatuh begitu saja dari langit. Dan ketika kita bekerja sangat keras, Tuhan akan memberikan karunia-Nya dalam bentuk orang-orang yang tepat dalam mendukung dan menuntun pertumbuhan proses kita. Momen saat Mr. Wilkinson dan Pauline muncul, saya senyum-senyum sendiri. Khususnya Pauline. Saya sangat menyukai metode mengajar yang dia berikan ke mahasiswanya. 

Over the next few classes Pauline treated Mia just like any other student. They learned to wind film into the camera, how to compose a photo, how to calculate the proper aperture and width. All of this Mia knew already, from Mr. Wilkinson’s tutelage and her own experimentations over the years. As Pauline explained it, however, her intuitive feelings about how to shape her shots became more conscious. She learned to articulate her reasons for choosing a specific f-stop, to not only find the settings that made it look right but to explain why it looked right that specific way.

Menurut saya itulah inti dari proses mendidik: kita tidak ingin mengkloning diri kita (persepsi diri, sudut pandang, dll) ke mahasiswa, melainkan menambah wawasan mereka sehingga mereka mampu memilih keputusan hidup dengan lebih bijak dan bertanggung jawab. Yang dimaksud Pauline dengan bertanggung jawab adalah untuk Mia mampu mengartikulasikan alasannya memilih suatu hal dengan baik, tidak sekadar “Ya memang pasnya kayak gitu, Prof,” atau alasan murah lainnya. Berbakat bukan berarti bergantung sepenuhnya pada intuisi.

Before, Mia had taken photographs by feel, relying on instinct to tell her what was right and what was wrong. Pauline challenged her to be intentional, to plan her work, to make a statement in each photograph, no matter how straightforward the photo might seem. “Nothing is an accident,” Pauline would say, again and again.

Mrs. Richardson juga mendapatkan porsi kilas baliknya sendiri, tapi anehnya saya nggak begitu peduli hehe. Mungkin karena nggak ada pembelajaran berarti yang bisa saya dapat dari sana. Namun, kilas balik dari Mrs. Richardson mampu membuat saya lebih paham kenapa dia begitu keras sama Bebe (ibu kandung bayi Mirabelle). Bagi Mrs. Richardson, tugas seorang ibu adalah berkorban demi kebahagiaan anak. Mrs. Richardson merasa Bebe mengorbankan hal yang salah ketika dia meninggalkan bayi Mirabelle hingga sekarat sebelum akhirnya ditemukan para pemadam kebakaran. Bebe tidak layak diberikan kesempatan kedua, karena dengan dikabulkannya tuntutan Bebe, bayi Mirabelle akan kehilangan selimut keamanan yang selama ini disediakan keluarga McCullough. Inilah yang membuat saya tetap satu kubu dengan Mrs. Richardson, meskipun sudah disodori kilas balik Mia yang begitu memukau disertai argumen-argumen meyakinkan dari pengacara Bebe. Menurut saya, Bebe tidak layak untuk mengasuh bayi Mirabelle. There, I said it. And I'm gonna say it again: Bebe is not a good mother. So you must understand that her decision at the end of book made me LIVID. My blood was BOILING.


Karena itulah, bagi saya pribadi, Little Fires Everywhere masuk ke kategori NA. Saya lebih menyoroti konflik yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dewasa yang ada di dalamnya dibandingkan tokoh-tokoh remajanya. Tentu saya bersimpati dengan keputusan Lexie, namun semua perasaan saya sudah disampaikan dengan baik oleh Mia:

“You’ll always be sad about this,” Mia said softly. “But it doesn’t mean you made the wrong choice. It’s just something that you have to carry.”

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Little Fires Everywhere bukanlah cerita misteri yang menegangkan. Saya bahkan sampai lupa buat mikirin siapa pelaku yang membakar rumah Mrs. Richardson. Tapi kalau memang Izzy yang melakukannya (seperti yang  diprediksi para tokoh sejak Bab 1), berarti pelajaran moral yang bisa dipetik di sini adalah: nggak usah sok-sokan ngasih kata-kata bijak penuh metafora ke ABG labil, karena sebelum Mia pergi, hal terakhir yang dia sampaikan ke Izzy adalah:

“Sometimes, just when you think everything’s gone, you find a way.” Mia racked her mind for an explanation. “Like after a prairie fire. I saw one, years ago, when we were in Nebraska. It seems like the end of the world. The earth is all scorched and black and everything green is gone. But after the burning the soil is richer, and new things can grow.” She held Izzy at arm’s length, wiped her cheek with a fingertip, smoothed her hair one last time. “People are like that, too, you know. They start over. They find a way.”

 
*Tepok jidat kalau Izzy beneran ngebakar rumah keluarganya sendiri karena menelan mentah-mentah metafora Mia*

No comments:

Post a Comment