Thursday, 8 October 2020

[Review Buku] Beach Read oleh Emily Henry


Beach Read adalah novel genre romance-comedy yang baru saja saya tamatkan. Premis ceritanya tentang dua penulis rival, January Andrews dan Augustus “Gus” Everett, yang “kebetulan” bertemu kembali setelah January pindah ke North Bear Shores, Michigan. January mewarisi beach house milik ayahnya yang (1) baru ia ketahui keberadaannya setelah ayahnya meninggal dan (2) dibeli untuk “memfasilitasi” kehidupan rahasia sang ayah dengan selingkuhannya. Sebagai anak kesayangan yang selama ini menganggap ayahnya sosok sempurna, penemuan tersebut sungguh mengguncang January hingga ia sulit untuk menulis novel kelimanya. She’s dealing with betrayal on top of massive grief, hal yang benar-benar berseberangan dengan tema bubbly, feel-good story, with a touch of happily ever after ending, kiblat tunggalnya dalam menulis.

Di sisi lain, Gus, yang tinggal tepat di sebelah beach house January, merupakan penulis literary fiction dengan karya debut yang sukses. Gus, rupanya, juga mengalami kesulitan untuk menulis novel selanjutnya karena…. literary fiction! Penuh riset, penuh arti, penuh intrik dan konflik. Butuh waktu yang sangat lama baginya untuk menulis sebuah novel.


Dari segi sifat, prinsip hidup, hingga pendekatan dalam menulis, keduanya sangat berlawanan. Nggak heran deh kalau nggak pernah akur.

 

The passenger window rolled down, and Gus leaned across the seat, ducking his head to see me. “January.” He sighed.

“Augustus.”

“It’s been four minutes. No Uber’s coming. Would you please get in the car?”

“I’ll walk.”

“Why?”

“Because I need the exercise,” I said.

“Not to mention the pneumonia.”

“It’s like sixty-five degrees out,” I said.

“You’re literally shivering.”

“Maybe I’m trembling with the anticipation of an exhilarating walk home.”

“Maybe your body temperature is plummeting and your blood pressure and heart rate are dropping and your skin tissue is breaking up as it freezes.”

“Are you kidding? My heart is positively racing. I just sat in on a three-hour-long book club meeting about spy novels. I need to run some of this adrenaline off.” I started down the sidewalk.

“Wrong way,” Gus called.

I spun on my heel and started in the other direction, back past Gus’s car.

 

January menganggap Gus penulis yang pretentious dan snob, sedangkan Gus menganggap January penulis yang terlalu banyak mengkhayal hal-hal romantis yang klise dan tidak realistis. Kritik yang saling mereka lempar jaman kuliah masih terbawa hingga saat ini, sampai pada akhirnya January mencetuskan ide yang sangat jenius: Daripada saling meremehkan satu sama lain, kenapa mereka tidak bertukar genre menulis saja? January akan banting setir menulis literary fiction dan Gus akan menulis romance dengan jaminan akhir cerita happily ever after. Yang pertama kali bisa menjualnya ke penerbit jadi pemenang dan layak bilang ke lawan: “See! I told you that your genre is EASY to write, unlike MINE.” Yah, lomba ego gitu deh. 

 

“You try writing bleak literary fiction, see if that’s who you are now, if you’re capable of being that person”—I rolled my eyes and snatched the last bite of donut from his hand. He went on, unbothered—“and I’ll write a Happily Ever After.”

 

Dan TENTU SAJA mereka tidak hanya bertukar genre yang akan ditulis. No, no, no, it’d be so irresponsible to just hand ‘em the challenge without being educated first. Mereka  menentukan jadwal untuk aktif menulis di Hari Senin-Kamis dan aktif “riset” di Hari Jumat (mentor: Gus) dan Hari Sabtu (mentor: January). Dan—I cannot stress this enough, harus kalian catat—mereka tidak boleh cinlok!

 

Benci nggak sih kalau karakter yang saling bermusuhan sudah janji nggak bakal jatuh cinta tapi malah ujung-ujungnya… jatuh cinta? Saya sih enggak haha. Enemy to lover is my absolute favorite trope! Dan berkat jadwal riset yang ditetapkan, proses jatuh cinta mereka jadi lebih menyenangkan! Gus, yang sangat kaku dan tidak percaya tindakan romantis, diajak ke karnaval dan line dancing? January, yang risetnya mentok di tempat-tempat berpotensi love at first sight, harus mewawancarai mantan pengikut sekte? Oh the horror on their face!

 

Yang sangat membuat saya bersemangat dalam membaca buku ini adalah suksesnya metode tukar genre ini dalam membantu January dan Gus menulis buku. Penulis selalu menyelipkan detail-detail seperti “Pagi ini aku sudah menulis 500 kata,” “Setelah memeras otak selama sekian jam, aku berhasil memenuhi target 1.000 kata-ku,” dan itu sungguh membuat saya sebagai pembaca ikut bangga atas progress mereka! Adegan lain yang memorable adalah ketika di tengah-tengah menulis (500 kata!), January break dengan pergi ke Goodwill, terus ngosek kamar mandi, dan lain-lain. Mengingatkan sama proses kreatif Yoon Ji-ho di drama Korea Because This is My First Life yang keren dan lucu itu (ngetik naskah-ngosek kamar mandi-ngetik naskah-ngelap debu TV-ngetik naskah-ngosek kompor-ngetik naskah-ngepel lantai):

 






Bukannya saling bersaing, January dan Gus pada akhirnya malah saling mendukung dan memotivasi. Menulis buku merupakan proses kreatif yang sangat menguras fisik dan mental, dan dengan menjadikan satu sama lain sebagai support system…. mereka jadi bisa saling brainstorming cerita, mengoreksi plot agar lebih menarik dan original, makan bersama, dan yang paling CUTE adalah saling berkirim pesan dengan memegang kertas dan spidol melalui jendela dapur mereka yang saling berhadapan, ala Miss Taylor Swift, You Belong with Me (2008) era. The way I screamed when they first did THAT!!!  

 


Level tertinggi apresiasi terhadap sebuah fiksi adalah ketika saya sebagai pembaca, menjadi peduli dengan karakter-karakter yang ada. Dan itu lambat laun terjadi di novel ini. Saya teliti banget sama love language-nya Gus, yaitu touch of affection. Mungkin sudut pandang pertama dari January yang dipakai di novel ini membuat mayoritas pembaca lebih ngeh sama January yang naksir sama Gus, ya. NOPE, it was the other way around first. Tiap Gus ngomong harus disertai embel-embel nama (“Why do you think, January?” atau “Anyway, January” atau “No, January”) dan harus banget Gus ngecek kondisi fisik January ketika dia kejedot atau luka atau waktu jalan/duduk deketan….. ugh remah-remah rotinya tuh sudah jelas disebar di mana-mana, guys!

 

Gus’s brow and mouth softened. “When you love someone,” he said haltingly, “… you want to make this world look different for them. To give all the ugly stuff meaning, and amplify the good. That’s what you do. For your readers. For me. You make beautiful things, because you love the world, and maybe the world doesn’t always look how it does in your books, but … I think putting them out there, that changes the world a little bit. And the world can’t afford to lose that.”

He scratched a hand through his hair. “I’ve always admired that. The way your writing always makes the world seem brighter, and the people in it a little braver.”


Jangan tertipu dengan sampulnya yang ceria, ya. Karena selain membahas tentang perjalanan menulis mereka, novel ini juga membahas konflik-konflik yang dialami January dan Gus di kehidupan personal mereka. Sebagai seseorang yang AHLI dalam hal cerita-cerita sedih dan traumatis, saya suka sekali dengan eksekusi penderitaan hidup January. Paling emosional adalah ketika January harus bicara sama selingkuhan ayahnya, karena selama ini dia selalu menghindar dari hal-hal yang berkaitan dengan kenangan sang ayah. HUHUHU menangos berkali-kali lah menyaksikan January dealt with THAT sampai saya tuh harus keluar kamar tengah malam, buka galon baru (karena air di galon lama habis padahal saya sudah keburu dehidrasi) dan ngisi ulang tumbler seliter saya! 

 

Di Goodreads, saya ngasih buku ini anugerah 5 bintang, yang setelah saya pikir-pikir, mungkin terlalu murah hati mengingat ada satu hal yang sangat mengganggu nurani saya. Sebuah konflik yang belum terselesaikan secara legal ada dalam novel ini, dan bisa dikatakan, bersatunya hubungan January dan Gus dapat diartikan sebagai hal yang salah padahal secara emosional mereka semua bebas-bebas saja melakukannya. 4,5 bintang deh, untuk novel yang sangat bagus dan menguras emosi. 

1 comment:

  1. Hi Sany, terima kasih atas ulasannya. Aku tertarik banget buat beli novel ini tapi pas baca bagian terakhir review kamu, aku jadi berpikir ulang. Sefatal itukah ketidakjelasan ending konfliknya sampai bersatunya dua tokoh utama ini agak kurang tepat?

    Makasih banyak :')

    ReplyDelete