Friday, 2 October 2020

[Review Buku] The Tea Room on the Bay oleh Rachel Burton


The Tea Room on the Bay merupakan novel contemporary yang menceritakan tentang Eloise Caron (Ellie) yang memiliki The Two Teas, sebuah kafe teh artisan sukses di Sanderson Bay. Ellie yang sebelumnya merupakan mahasiswa PhD di York University “kabur” ke kota kecil dan membeli kafe milik Paman-Bibinya setelah Marcus, mantan pacarnya, mendadak memutuskan hubungan dan “mencari jati diri” ke Thailand. Tipikal kota kecil dengan masyarakat yang akrab satu sama lain, kafe milik Ellie melengkapi kehidupan warga Sanderson Bay dalam beraktivitas. Keinginan Ellie untuk membangun hidup baru yang lebih baik pun makin terpenuhi ketika Ben Lawson, lelaki tampan bermata abu-abu, datang berkunjung ke Sanderson Bay.


Novel ini bisa dibilang merupakan fiksi yang sangat tidak memorable. Saya harus ngecek ebook reader buat mengingat judul buku dan detail cerita. Melalui proses mengingat tersebut, saya jadi tersadar betapa banyak hal yang mengganggu saya sepanjang membaca dan merasa harus menuliskannya dalam sebuah blogpost:

Pertama, sifat tidak profesional Ellie. Tahu sendiri kan banyak mahasiswa di luar sana yang terbebani hutang biaya sekolah dengan periode pelunasan puluhan tahun? Protagonis kita dikasih rejeki funding untuk PhD-nya dengan syarat mengajar mahasiswa undergraduate, tapi dengan mudahnya dia kabur tanpa ada pertanggungjawaban dengan pihak kampus. Enak ya, dikasih uang, dikasih pekerjaan bagus, terus tinggal pergi saja ketika terasa tidak sesuai passionUm, that’s not how real world works, luv.

Kedua, saya kayaknya punya masalah pribadi sama Sascha deh. Ngerti sih dia sahabat baik Ellie, ingin segalanya berjalan lancar bagi kesuksesan PDKT Ellie dan Ben, dll, dst. Tapi ketika kekepoan dia sampai bikin berani ngerebut HP Ellie dan buka password DAN baca kotak pesan Ellie…. mendidih darah saya. Apalagi ketika Ellie sudah jelas-jelas bilang “Give the phone back, Sascha,” dan Sascha tetap lanjut baca pesan Ellie dengan Ben secara keras-keras……………. mau marah.

Ketiga, YA AMPUN GE-ER-NYA MARCUS! Ini spoiler sih: Marcus pada akhirnya datang ke Sanderson Bay dan minta balikan sama Ellie. Sudah berkali-kali dikasih tahu Ellie nggak mau, tapi tetep bebal, dikiranya Ellie bakal luluh sama keseriusan Marcus (what about “no is a no” concept?). Paling nggak paham waktu Marcus melihat Ellie memang cocok hidup di Sanderson Bay, mengurus kafe impiannya, kemudian dengen pedenya nyeletuk, “Well it’s as clean slate for both of us this way isn’t it?’” Ya ampun pada gini amat yak orang-orang di sekitar Ellie.


Secara keseluruhan, plot cerita novel ini sangat mudah ditebak saking klisenya dan juga berkat banyak petunjuk yang disebar penulis di setiap babnya. Ketika twist muncul, saya sudah tidak kaget karena ha-ha I did SEE that one coming. Terus sadar nggak sih dari tadi saya nggak bahas love interest-nya Ellie, si Ben? Ya karena nggak ada yang menarik dari dia huhuhu sedih sekali pengalaman membaca saya kali ini. Biasanya mah baca buku hambar masih terselamatkan dengan kemunculan tokoh cowok yang dreamy dan gentleman-ly. Kali ini, bahkan love interest-nya ikutan datar kayak papan triplek. Rugi bandar nih saya.

Satu-satunya hal yang menarik dari novel ini menurut saya adalah kegemaran protagonis terhadap teh artisan, yang SAYANGNYA tidak dieksplor secara halus untuk bisa membuat cerita lebih hidup dan menyenangkan. Pengetahuan Ellie tentang teh juga tidak bisa menambah ilmu per-teh-an saya, jadi……….. YAK!!! :)))) *hanya bisa tertawa*

Anggap saja novel ini sebagai kesempatan saya buat membaca tanpa berpikir. Refreshing. Cleansing palate. Apalah namanya terserah.

No comments:

Post a Comment