Wednesday, 21 October 2020

[Review Buku] The Invisible Life of Addie LaRue oleh V. E. Schwab

Kemarin saya sempat bilang kalau novel yang bagus adalah yang bisa bikin saya peduli sama karakternya. Ternyata, sekarang saya menemukan tingkatan di atasnya lagi, yaitu novel yang bisa bikin saya mempelajari passion dari karakter dalam buku dan mencobanya! Benar-benar berinvestasi pakai uang dan waktu, memulai dari nol dan berbodoh-bodoh ria sampai akhirnya bisa merasakan kepuasan batin yang dialami karakter.


Jadi, beberapa saat lalu saya menamatkan sebuah novel karya V. E. Schwab, The Invisible Life of Addie LaRue. Saya nggak tahu alasannya apa, tapi sejak dulu penulis ini (dan Victoria E. Schwab, nama pena dia yang lain) selalu luput dari radar. Yang membuat saya tertarik untuk membacanya adalah premis yang dituliskan editor Amazon Books dalam salah satu postingan mereka, yaitu tentang Adeline LaRue, yang menjual jiwanya untuk kehidupan abadi. Addie menginginkan kehidupan yang panjang karena ia ingin merasakan rasanya hidup bebas dari ekpektasi orang lain. Sayang, dia melakukan transaksi pada dewa yang salah, sehingga perjanjiannya dicurangi. Luc, dewa yang menjawab permintaan Addie, memang memberikan hidup dengan tenggat waktu tanpa batas bagi Addie untuk terbebas dari desanya yang membosankan untuk…. Melihat seperti apa itu laut? Tidak dipaksa menikah dengan orang yang tidak ingin dia nikahi dan menghabiskan hidupnya mengurus keluarga untuk kemudian mati di desa itu? Menikmati seni? Melihat peradaban dan budaya lain? Namun, Luc membuat Addie terlalu...... bebas. Terlalu tidak terkekang. Siapa pun yang bertemu dengan Addie, memori mereka tentangnya akan segera terhapus segera setelah mereka berbalik pergi. She’s becoming more like a ghost, haunting this world for centuries. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Henry, penjaga toko buku kecil di New Yok, yang tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Addie.

 

“Do you know how you live three hundred years?” she says.

And when he asks how, she smiles. “The same way you live one. A second at a time.”

 

The Invisible Life of Addie LaRue, menurut saya, adalah fiksi terbaik yang saya baca sepanjang tahun ini. Karakter-karakternya memiliki depth, jalan ceritanya menarik, dan diksi pilihan penulis sungguh indah. Addie dan Luc saling ingin mengungguli kelicikan masing-masing, membuat interaksi mereka selalu saya tunggu-tunggu. Selain itu, karakter laki-laki yang lain, Henry, sangat manis dan bikin saya merasa protektif sama dia. Ada nuansa semacam nonton film lawas ketika membacanya; menandakan penulis berhasil membangun latar dan suasana cerita dengan baik. Saking bagusnya novel ini, saya awalnya nggak yakin apakah bisa mengulasnya secara tepat, sehingga tidak berusaha menuliskannya. Namun seminggu berlalu, dan sebagian kecil dari novelnya terbawa ke kehidupan saya.

 


Sebenarnya, karakter yang terngiang-ngiang di pikiran ini cuma karakter kecil. Ia adalah salah satu “kekasih” Addie, yang berprofesi sebagai seniman. Ketika mereka bertemu, entah untuk kali keberapa, Addie membuat penilaian seperti ini:

 

Time slides. It’s the same thing Sam said the first time they met. And the sixth. And the tenth. But it’s not just a line. Sam has an artist’s eye, present, searching, the kind that studies their subject and sees something more than shapes.

 

Entah ya. Mungkin sudah terlalu lama saya melihat tanpa benar-benar melihat. Atau sudah capek punya hobi mentok di membaca dan nonton drama Korea. Karena kalau dapat hari libur, hobi semacam itu cuma bikin saya tiduran di kasur, acuh sama kehidupan luar. That line in the book hit too close to my heart. Maka ketika saya dapat kesempatan jalan-jalan ke Gramedia (pakai protokol kesehatan, sepi banget euy) saya nekat beli watercolor papers, gouache, kuas, dan palet.

 


Saya sudah riset kecil-kecilan sih sebelumnya. Melihat berbagai jenis cat, saya rasa yang paling cocok adalah gouache, yang bisa dijabarkan sebagai tengah-tengah antara cat air dan acrylic. Sebagai seorang yang mudah panik, sifat cat air yang mbleber kemana-mana jelas bakal nambah urat tegang. Di sisi lain, acrylic terlalu “serius” bagi saya yang belum tahu warna dan komposisinya. Gouache, adalah pilihan paling aman. Di Gramedia cuma ada 1 stok gouache, dan saya rasa itu adalah pertanda untuk membelinya.

 

Now here’s the thing. Terakhir pegang kuas dan sesuatu yang mendekati kanvas itu jaman SMA. Saya memang pembaca yang baik, tapi benar-benar amatir kalau sudah masuk ranah seni rupa sama seni musik. Tuli nada, buta seni. Tambahan, mudah putus asa. Jadi, saya belinya yang merek standar aja, yang biasa dipakai anak sekolah prakarya. Pertimbangannya saat itu tuh kalau saya menyerah di kanvas pertama, harga diri dan dompet tidak bakal begitu tersakiti. Berbekal video tutorial YouTube dan pemikiran terbuka, saya memulai misi ini. Seminggu kemudian, beberapa karya lahir:



Karena saya memulai hobi ini secara mindful, banyak hal yang jadinya saya pelajari. Pertama, tentang warna. Sesuatu yang nampak berwarna A, rupanya tergabung dari…10 warna lebih. It drives you insane, trying to recreate THAT exact color. Tapi dalam prosesnya, sampai mata menyipit dan beberapa kali mengumpat karena ngaduk cat dari tadi nggak dapet-dapet warnanya, saya jadi bisa lebih mengapresiasi detail objek. Suatu hal yang selalu kurang saya perhatikan sebelumnya. Kedua, gelap-terang. Ugh, meskipun lukisan saya memiliki karakteristik pasti: “Ini sumber cahayanya dari mana? Misteri,” tapi ketika melihat lukisan seniman lain, saya jadi lebih peka sama masalah cahaya. Cuma kurang latihan aja mah, saya! Ketigaart truly makes you feel something. Sekarang saya bisa berlama-lama melihat sebuah karya seni dan tahu apa yang saya lihat. Nggak cuma pura-pura paham biar nampak edgy dan indie dan artsy

 

“You know,” she’d said, “they say people are like snowflakes, each one unique, but I think they’re more like skies. Some are cloudy, some are stormy, some are clear, but no two are ever quite the same.”


Akhir kata, terima kasih V. E. Schwab. Terima kasih juga buat Addie LaRue dan Sam…. sekarang saya jadi pribadi yang sedikit lebih asik dan nggak mentok rebahan di kasur aja. Saya bisa ngelukis! Saya loh! LOL.

 



Now if you don’t see me often on this blog, know that I’m painting colors on my latest canvas.

No comments:

Post a Comment