Before We Were Strangers
penulis Renée Carlino
320 halaman, NA (New Adult)/ Contemporary Romance
Rating:
Dipublikasikan 18 Agustus 2015
oleh Atria Books
Proses membaca saya bulan Oktober
kemarin terbilang sangat lambat. Banyak sebenarnya yang menyebabkan penurunan
ini, dari mulai jenuh pada novel YA yang begitu-gitu saja, rasa malas untuk
membuat review (sehingga tidak begitu
termotivasi untuk membaca novelnya), dan….. life
happens, guys. Saya memang salah satu dari orang-orang kuno yang tidak
begitu rajin mengecek blog dan media sosial, jadi bisa dimaklumi kalau blog ini
sering sekali terbengkalai kalau mood sedang
tidak bagus/ muncul kesibukan.
Novel terakhir yang berhasil saya
tamatkan (yes!) adalah Before We Were Strangers: A Love Story karya
Renée Carlino. Novel ini memang bukan merupakan satu-satunya novel dari Renée
Carlino, tapi termasuk novel pertama dari sang penulis yang saya baca. Sekilas
tentang novel ini? Not bad laaaaaah.
Saya cukup cocok dengan gaya cerita penulis, dan menjelang pertengahan cerita
saya mulai “terperosok” untuk konsentrasi penuh kepada jalan ceritanya. Pelan
tapi pasti, saya menjadi sangat peduli kepada tokoh-tokoh di dalamnya, sehingga
DNF (did-not-finish) bukan menjadi
pilihan. Not bad, kan? Soalnya sudah tidak
terhitung lagi deh pokoknya novel yang saya anggurin akhir-akhir ini
setelah membaca satu dua halaman.
Once there was you and me
We were lovers
We were friends
Before life changed
Before we were strangers
Do you still think of me?
Before We Were Strangers menceritakan kisah Grace dan Matt yang
diberi kesempatan kedua untuk bertemu kembali setelah lima belas tahun berpisah.
Uniknya, pertemuan mereka dijembatani oleh kolom missed connection di Craiglist. Postingan Matt di Craiglist inilah
yang dijadikan penerbit sebagai “sinopsis” di bagian belakang sampul novelnya, hal
yang menurut saya dapat memancing rasa penasaran para calon pembeli novel di
toko buku. Kita kemudian akan diajak kembali dari awal, mulai dari pertama kali
Matt bertemu dengan Grace di asrama kampus mereka, persahabatan yang mulai
terjalin di antara keduanya, hingga passion
Grace terhadap musik dan kecintaan Matt terhadap fotografi. Seperti saya
bilang, seiring berjalannya cerita, kita akan semakin penasaran mengenai apa
yang menyebabkan Grace dan Matt berpisah, karena sepanjang cerita mereka
benar-benar, seratus persen, meant to be
together.
Apakah dulu Grace adalah the right person at the wrong time bagi
Matt? Dan apakah kesempatan kedua ini dapat menyatukan keduanya kembali? Kalian
harus baca novelnya ya untuk
tahu.
And in that moment, you
realize how little control you have over your own destiny. From the time you’re
born, you have no control; you can’t choose your parents, and, unless you’re
suicidal, you can’t choose your death. The only thing you can do is choose the
person you love, be kind to others, and make your brutally short stint on earth
as pleasant as possible.
Novel ini diceritakan dari sudut
pandang Grace dan Matt, sehingga kita benar-benar bisa memahami dalamnya
konflik dan perasaan yang dialami oleh kedua tokoh. Soal pembagian sudut
pandang ini, Renée Carlino tidak menggunakan pola yang pasti. Kadang Matt
mendapat tiga bab baru kemudian dilanjutkan oleh bab dari Grace, kadang selang
seling tiap bab, dsb. Yang menarik, pembagian seperti ini tidak membuat saya
pusing atau bingung, dan baik Grace maupun Matt memiliki “suaranya” sendiri-sendiri,
if you know what I mean. Eksekusi
dual POV yang bagus oleh Renée Carlino.
Kesimpulannya, novel ini
merupakan NA (New Adult/ chicklit)
yang bagus. Well-written, penyampaian
emosi yang baik, dan mampu menggugah minat pembaca hingga halaman terakhir. Namun,
jika dibandingkan dengan novel-novel lain yang sudah saya baca, novel ini
bukanlah yang terbaik. Masih banyak penulis lain yang mampu mengungguli Renée
Carlino. Karena itulah saya tidak bisa mengagung-agungkan novel ini dengan
penuh semangat.
Nah, kalau ditanya apakah saya
akan membaca karya Renée Carlino lain di masa mendatang? Jawabannya adalah iya
:D
No comments:
Post a Comment