Sunday, 11 December 2016

[Review Buku] Heartless oleh Marissa Meyer

Heartless
penulis Marissa Meyer
449 halaman, Fantasi/ Fairytale Retelling
Rating: 
Dipublikasikan 8 November 2016 oleh Feiwel & Friends

Catherine may be one of the most desired girls in Wonderland and a favorite of the unmarried King, but her interests lie elsewhere. A talented baker, she wants to open a shop and create delectable pastries. But for her mother, such a goal is unthinkable for a woman who could be a queen.
At a royal ball where Cath is expected to receive the King’s marriage proposal, she meets handsome and mysterious Jest. For the first time, she feels the pull of true attraction. At the risk of offending the King and infuriating her parents, she and Jest enter into a secret courtship.
Cath is determined to choose her own destiny. But in a land thriving with magic, madness, and monsters, fate has other plans.

Heartless merupakan karya standalone dari Marissa Meyer setelah ia merampungkan seri Cinder (yang buku pertamanya busuk tapi sekuelnya BRILIAN). Sebagai salah satu pembaca fanatik Marissa Meyer, saya beruntung bisa membaca Heartless segera setelah terbitnya novel ini. Baru sempat buat reviewnya sekarang aja sih hehehe. Di Indonesia sendiri Heartless belum diterjemahkan ya, jadi silahkan bersabar dulu sambil baca review singkat saya yang bebas spoiler ini.

Sama seperti karya-karya Marissa Meyer sebelumnya, Heartless juga merupakan fairytale retelling, pada kasus ini dari kisah Alice’s Adventures of Wonderland-nya Lewis Carroll. Nah, saya yang sebelumnya nggak pernah mengikuti cerita Alice (cuma nonton filmnya aja kemarin) awalnya nggak ngeh kalo Heartless merupakan retelling dari situ, terutama karena tokoh yang disorot bukan si Alice-nya sendiri. Ketidaktahuan saya rupanya menjadi semacam berkah tersendiri, karena saya bisa memandang cerita ini dari sudut yang baru tanpa terkena bias terhadap tokoh-tokohnya.

Apa yang saya sukai dari Heartless:
  • Sejak awal kita akan diajak untuk mengenal Catherine, our soon-to-be Queen of Heart, secara mendalam. Saya sangat suka bagaimana Marissa Meyer menyuguhkan karakter Catherine dari sudut pandang yang berbeda dari yang selama ini diyakini oleh para pembaca karya Lewis Carroll. Passion Catherine dalam membuat kue serta upayanya dalam mewujudkan impiannya, dapat saya rasakan dengan sangat baik. Keengganan Catherine terhadap sang Raja juga bisa saya pahami. Pokoknya konsisten, lah.
  • Spektakuleritas dalam kemunculan tokoh kesayangan saya di sini, si joker kerajaan a.k.a. Jest. JEST MY SWEET CINNAMON ROLL.

  • Deskripsi!!!!! Saya bersumpah bisa mencium, melihat, dan mencicipi kelezatan dari kue-kue buatan Catherine. Jangan pernah membaca novel ini dalam keadaan lapar seperti saya kemarin, ya. Selain itu, penjelasan mengenai kekonyolan para tokoh-tokohnya juga bisa saya nikmati dengan baik.
  • Yang namanya dongeng, pasti penuh dengan riddles dan permainan kata yang absurd. Marissa Meyer bisa mengeksusinya dengan baik sehingga saya tidak merasa sedang membaca sebuah retelling (atau lebih buruknya lagi, sebuah fanfiction), melainkan seperti membaca dongengnya sendiri.

Apa yang tidak saya sukai dari Heartless: 


TEARS, TEARS EVERYWHERE.



Marissa Meyer mengalami perkembangan yang SANGAT SIGNIFIKAN dalam menulis sejak Cinder, yang terbukti melalui novel ini. Saya masih ingat, segera setelah saya menamatkan Heartless, saya bingung mau menjadikannya sebagai novel favorit atau novel yang paling saya benci. Deskripsi yang dilakukan oleh Marissa Meyer sangatlah sempurna dan sesuai dengan genre yang dia usung. Saya berharap, siapapun yang beruntung untuk menerjemahkan novel ini dapat membawa keajaiban tulisan Marissa Meyer ke Bahasa Indonesia. Jangan ragu untuk membeli novel ini ya nanti, teman-teman. Dan cintai Jest dalam kadar yang sedang-sedang saja karena dia punya saya :)


Untuk tambahan, karena saya tidak mengikuti Alice’s Adventures of Wonderland, pendapat saya bisa saja berbeda dengan mereka yang mengikuti (atau bahkan yang fanatik). Yang jelas, untuk menceritakan sosok yang pada akhirnya akan menjadi sosok yang  dibenci, saya bisa bersimpati dengan Catherine. Rasanya persis seperti saat kita selesai menonton film Maleficent: she’s not that “bad”, riiiiiight?

No comments:

Post a Comment