Tone Deaf
penulis Olivia Rivers
288 halaman, Young Adult (YA)/ Romance
Rating:
Dipublikasikan 3 Mei 2016 oleh Sky Pony Press
Ali Collins was a child prodigy destined to become one of the greatest
musicians of the twenty-first century—until she was diagnosed with a
life-changing brain tumor. Now, at seventeen, Ali lives in a soundless world
where she gets by with American Sign Language and lip-reading. She’s a constant
disappointment to her father, a retired cop fighting his own demons, and the
bruises are getting harder to hide.
When Ali accidentally wins a backstage tour with the chart-topping band Tone Deaf, she’s swept back into the world of music. Jace Beckett, the nineteen-year-old lead singer of the band, has a reputation. He’s a jerk and a player, and Ali wants nothing to do with him. But there’s more to Jace than the tabloids let on. When Jace notices Ali’s bruises and offers to help her escape to New York, Ali can’t turn down the chance at freedom and a fresh start. Soon she’s traveling cross-country, hidden away in Jace’s RV as the band finishes their nationwide tour. With the help of Jace, Ali sets out to reboot her life and rediscover the music she once loved.
When Ali accidentally wins a backstage tour with the chart-topping band Tone Deaf, she’s swept back into the world of music. Jace Beckett, the nineteen-year-old lead singer of the band, has a reputation. He’s a jerk and a player, and Ali wants nothing to do with him. But there’s more to Jace than the tabloids let on. When Jace notices Ali’s bruises and offers to help her escape to New York, Ali can’t turn down the chance at freedom and a fresh start. Soon she’s traveling cross-country, hidden away in Jace’s RV as the band finishes their nationwide tour. With the help of Jace, Ali sets out to reboot her life and rediscover the music she once loved.
Tone Deaf, adalah novel yang saya
pilih murni dikarenakan sampulnya yang cantik. Nah, buat kalian yang tertarik
juga untuk membacanya….. mungkin harus saya ingatkan lebih dulu ya, kalau di balik sampulnya yang bagus, novel
ini memiliki cukup banyak triggers yang lebih baik dihindari oleh pembaca yang sensitif terhadap beberapa
isu, antara lain: mental illness (PTSD), child abuse, LGBT (dalam novel ini
masuk pada kategori gay), death, addiction, dan depression.
Cukup banyak juga kan trigger-nya. Novel Young Adult (YA) memang
cukup sering mengangkat isu-isu seperti itu, dengan tujuan membuka mata para
remaja terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar mereka. Saya tidak paham ya
kalau di Indonesia sendiri, tetapi konon katanya…. novel-novel YA di luar sana—khususnya
yang mengulas tema-tema seperti ini—telah menyelamatkan jiwa banyak remaja dan
memandu mereka untuk “survive” dari
masa-masa SMP/ SMA yang kejam. Betapa kuat peran dari buku ya, teman-teman.
Sayangnya, novel-novel sejenis
ini biasanya memiliki suasana yang suram. Penulis akan berusaha mengulas
masalah atau bahkan menyelesaikannya sekaligus, sehingga sepanjang cerita akan
terisi dengan konflik demi konflik. Saya, yang tujuan utama membaca di
usia-usia sekarang adalah untuk mencari hiburan, merasa bahwa genre seperti ini sudah mulai tidak sesuai.
Sudah bukan jamannya lagi buat mencari jati diri hahaha udah ketemu soalnya. Kasus
inilah terjadi di novel Tone Deaf.
Bagi saya, penulis di sini sangat
memaksakan chemistry antara dua lakon
utamanya, Alison dan Jace. Tema benci jadi suka memang sering dipakai, walaupun
tidak semua penulis bisa mengeksekusinya dengan baik. Nah, landasan perubahan
emosi Ali dan Jace di sini, bagi saya terkesan kaku dan bahkan tidak masuk akal—walaupun
didasari oleh alasan yang jelas. Saya juga tidak terlalu ngefans sama Jace, meski
dia diceritakan sebagai seorang penyanyi super terkenal (dan, ehem, katanya
ganteng dan agak douchy). Padahal
biasanya, lakon-lakon tipe kayak gitu tuh yang jadi demenan saya. Mungkin karena
dari awal nggak begitu simpati sama Jace ya, jadi saya nggak begitu semangat
buat nge-ship mereka.
Keseluruhan cerita pun terkesan
sangat nanggung, seolah-olah penulis dijatah hanya boleh menulis sepanjang 288
halaman sehingga beberapa adegan/ detail harus dia potong. Beberapa bagian tampak
terburu-buru, bagian-bagian lainnya tampak tidak begitu penting untuk masuk di
cerita (terlalu banyak
adegan romantisnya sih menurut saya). Bagian akhirnya itu yang paling gaje.
Kalau istilah jawanya sih kesusu, alias
ujug-ujug, a.k.a kok tiba-tiba jadi
begini sih. Hehehe menurut saya ajasih tapi.
Terlepas dari segala uneg-uneg
saya di atas, novel ini juga memiliki poin positifnya sendiri. Untuk
novel yang membawa tema child abuse, Tone Deaf
mengulas isu ini (dan juga isu-isu yang berkaitan dengannya) secara mendalam. Banyak
pengetahuan baru yang saya dapatkan, beberapa di antaranya membuat saya
bersyukur karena selalu berada di lingkungan yang sehat dan suportif. Tapi ya
itu, sebagai pengetahuan aja, bukan yang saking WAH-nya sampe bisa mengubah
hidup saya jadi lebih baik gitu. Mungkin pendapat saya akan jauh berbeda ya jika
saya membacanya 5 atau 7 tahun yang lalu, saat Sany masih belasan tahun dan
masih lugu. Mungkin….
No comments:
Post a Comment