Wednesday, 15 January 2020

Buku Terbaik Versi Nukhbah Sany Tahun 2019

Pencapaian membaca tahun 2019 bisa dibilang sangat memuaskan. Di tahun 2019, saya menetapkan beberapa resolusi membaca, antara lain (1) sebisa mungkin mengulas buku yang sudah ditamatkan di blog, (2) quality over quantity dalam hal memilih bacaan, dan (3) mulai mengeksplor berbagai genre nonfiksi. Berkat konsistensi menjalankan resolusi tersebut—dibantu dengan iPad dan beberapa pihak memberi saya hadiah dalam bentuk buku—saya berhasil menamatkan 66 buku. 

Jawaban atas "Kok bisa sih punya waktu buat baca buku segitu banyak?" adalah, "Saya menyempatkannya."

Resolusi nomor satu sudah saya upayakan semampunya, sehingga postingan di blog tahun 2019 jadi jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya. Berkat resolusi kedua, saya jadi semakin selektif dalam membeli buku. Tidak ada lagi timbunan buku baru menggunung yang terabaikan di rak, dan hal tersebut secara signifikan membuat hati lebih plong. Berkat resolusi ketiga, saya berhasil keluar dari jerat reading slump, bahkan saat ini masih jatuh cinta setengah mati dengan genre memoar dan biografi sejarah dari tokoh-tokoh penting. Sepertinya, saya akan menerapkan kembali ketiga resolusi membaca tersebut di tahun 2020. Dengan tekanan yang lebih ringan, karena waktu luang sudah tidak sebanyak tahun lalu.

Dari 66 buku yang terbaca di tahun 2019, ada segelintir kecil yang berhasil mendapatkan predikat 5 bintang. Setelah saya pikir-pikir lagi, buku yang mendapat predikat bintang 5 bukanlah buku yang saking berkesannya, membuat saya kepikiran berbulan-bulan setelah ditamatkan. Buku dengan predikat 5 bintang adalah buku yang membantu saya di saat yang tepat. Biasanya saya baca untuk kepentingan rekreatif, namun khusus bagi mereka, fungsinya lebih kepada praktikal—membimbing saya untuk menjalani hidup yang lebih baik saat menghadapi suatu masalah atau saat mandeg di situ-situ saja. Jika disuruh baca ulang, paling saya tidak akan kasih 5 bintang lagi, karena saat ini statusnya sudah move on, sudah punya masalah baru yang memerlukan pemecahan dari buku lain. Oleh karena itu, besar kemungkinan buku 5 bintang versi saya belum tentu akan jadi 5 bintang versi kalian.

Daftar ini saya urutkan berdasarkan waktu bacanya, ya. Oke ini dia buku dengan predikat 5 bintang versi saya tahun 2019:

 
Saya sudah bikin ulasan PANJANG LEBAR di postingan ini. Pretty proud with what I wrote, to be honest :’) Buku ini sudah diterjemahkan dan dijual bebas di toko buku lokal, so…….

OHMYGOD. Ilmu buku ini masih saya pakai hingga sekarang. Bukan tentang memakai wok, tetapi lebih ke cara mengolah bahan segar sebelum dimasak dan filosofi-filosofi hidup dari penulisnya. Kalau saya ingat-ingat lagi, dulu saya memilih baca buku ini karena lagi kering motivasi dan kurang semangat untuk beraktivitas secara normal. Burnout parah. Self-help books WHO?? Give me a book written with scalding hot PASSION about wok-handling and chopping vegetables method, instead!!! Proyek iseng untuk baca buku masak di waktu senggang pada akhirnya bikin saya menemukan mekanisme coping yang paling tepat bagi otak super bebal yang nggak bisa pakai pendekatan “ala bodo amat” atau dengan bantuan puisi-puisi senja/semesta/rumah itu. Memang ya, yang paling mengerti soal diri kita ya harusnya kita sendiri. Ulasannya bisa dibaca di sini.

Sudah dua tahunan saya rutin ngejurnal. Dan di tahun 2019, saya “pemanasan” buat naik kelas ke metode bujo dengan cara baca buku dari penemunya langsung, Ryder Carroll. Ternyata, buku ini menawarkan sesuatu yang lebih. Nggak heran banyak Youtuber dari komunitas “study” dan“produktivitas” mengidolakan Ryder Carroll. Hingga saat ini, buku The Bullet Journal Method masih jadi buku genre self-help paling bagus yang pernah saya baca (dan saya sudah baca banyak BANGET buku self-help).

2019 menandai perjumpaan pertama saya dengan Haruki Murakami, penulis yang saking terkenalnya bikin saya takut untuk mulai baca karyanya. Sepertinya memilih memoar sebagai pembuka kesan terhadapnya adalah pilihan yang tepat, karena saya bisa langsung melihat seperti apa etika kerja dan prinsip hidup Murakami. Dengan terbacanya memoar ini, saya jadi bisa memisahkan antara penulis dengan karyanya (because let’s be honest, he writes about bunches of arseholes that I can’t even emphatized with). Ulasan lengkapnya sudah pernah saya tulis di sini.

Whole Again adalah buku yang sangat personal. Saya akui, penulisnya tidak punya gelar pendidikan di bidang yang ia tulis. Tapi di saat terendah hidup saya tahun lalu, logikanya dalam menghadapi trauma menjadi kompas penting dalam menuntun saya balik setelah tersesat cukup lama. Saya sering menyendiri di coffeeshop demi membaca kata demi kata di buku ini, men-stabilo dan menganotasi TIAP HALAMAN sampai stabilo dan pulpen saya habis. Edisi buku yang saya punya sudah nggak karuan lagi penampakannya. Whole Again adalah buku yang paling membantu hidup saya di tahun 2019. Dan saya sedih karena tidak memberikan shout out yang layak kepadanya huhuhu tapi gimana dong? Terlalu personal rasanya. I just can’t.

Memoar terbaik yang saya baca di tahun 2019. Sangat underrated. Ulasan bisa dibaca di sini.

Mulanya, saya iseng pengen baca biografi perempuan di masa perang. Algoritma Amazon akhirnya menuntun saya biografi Elizebeth Smith Friedman, istri dari William F. Friedman yang sangat tersohor sebagai pemrakarsa ilmu kriptografi AS. Untuk memudahkan imajinasi kalian, William adalah Alan Turing-nya Amerika. Jika Alan Turing punya The Enigma, William adalah perakit SIGABA. Selama puluhan tahun, jurnalis hanya tertarik dengan kisah hidup Willian Friedman. Padahal, kisah hidup istrinya lebih mencengangkan. Jason Fagone, penulis buku ini, melakukan riset yang sangat mendalam demi mengungkap kehidupan Elizebeth. Gara-gara Jason Fagone, saya sekarang jadi punya standar sangat tinggi soal karya jurnalisme yang dielaborasi dalam bentuk buku. Brilian! Biografi terbaik yang saya baca tahun 2019 dan berhasil memunculkan rasa penasaran luar biasa ke biografi-biografi lain tentang perempuan di masa perang.

Eheheheh sudah saya ulas buku ini. Tidak banyak fiksi terbaca di tahun 2019 but this one I enjoyed the most. Karena buku ini adalah akhir dari sebuah seri, perjalanan kalian bakal cukup panjang sebelum mencapainya. Is it worth the time and effort? Yes, yes, very much so


The books that you read changed and shaped you. Saya rasa tidak ada kata-kata yang lebih menohok dari itu. Bagaimana bisa buku-buku tersebut masuk ke radar dan akhirnya terbaca di saat yang tepat menurut saya adalah salah satu bentuk rezeki Allah yang patut saya syukuri. Tahun 2019, saya berhasil menjadi resilient dengan menjadikan semua masalah sebagai bahan pembelajaran yang berharga. Saya sangat oportunis: apapun yang menyentuh hidup saya, baik itu positif atau negatif, akan menjadi media saya untuk belajar! Selama masih ada di jangkauan ikhtiar saya, pasti akan saya usahakan mati-matian. Salah satu caranya adalah dengan merefleksikan kondisi diri dengan bacaan-bacaan yang saya pilih. Semoga, di tahun 2020 ini saya juga akan diberi kemudahan dan kemauan dalam mencari solusi dari masalah hidup yang akan datang. Karena menurut saya, continuous improvement terhadap diri sendiri adalah salah satu bentuk syukur yang bisa kita lakukan atas berkah yang telah diberikan Allah.  

No comments:

Post a Comment