Self-disruption adalah buku yang mahal menurut standar saya (padahal
cuma 98 ribu huft) karena waktu beli kemarin kondisi ekonomi lagi fluktuasi
parah. Tapi karena melihat nama Rhenald Kasali, ya akhirnya asal bawa aja ke
kasir (if you’re a business student, try
to read his books to stay up to date to global economic’s develompment)
sambil harap-harap cemas waktu gesek ATM. Si miskin ini akhirnya berhasil
membawa pulang buku impiannya.
Buku ini adalah jawaban dari
keinginan saya untuk membaca buku biografi perusahaan yang tidak membosankan.
Saya selalu tertarik untuk mengetahui seluk beluk dan jatuh bangunnya suatu
perusahaan, tapi nggak pernah bisa sabar dalam membaca narasi yang
bertele-tele. Makanya, pembahasan Rhenald Kasali tentang proses disrupsi diri
PT Adaro Energy ini pas banget karena infonya sudah terfokus.
Seperti yang kita tahu, Adaro
mulanya merupakan perusahaan batu bara. Bisnis batu bara belakangan memang lagi
lesu terutama setelah Amerika Serikat menerapkan teknologi hydraulic fracturing dan mulai diterapkannya energi baru terbarukan
(EBT) pada pembangkit-pembangkit listrik di berbagai negara. Oleh karena itu,
informasi yang ada di buku ini sangat penting karena ketika perusahaan batu
bara lainnya bangkrut, Adaro ini justru mampu bertahan dan bertumbuh. Apa
rahasia mereka?
“…berubah bukan karena dipaksa atasan atau pemilik perusahaan,
tapi karena sadar kalau mereka harus
berubah.”
Pesan yang selalu mereka tekankan
adalah jangan terlalu nyaman ketika
mengalami suatu kesuksesan. Selalu persiapkan diri karena kita tidak dapat
mencegah gelombang disrupsi yang pasti akan muncul dan memengaruhi bisnis kita.
Mindset itulah yang membuat mereka
rajin melakukan ekspansi bisnis. Karena mindset
itu pula, setelah tamat baca ini, saya makin nggak guilty dalam mengeluarkan uang untuk mendukung pengembangan diri
saya, misal nih: beli buku waktu jalan-jalan ke Gramedia, daftar seminar yang
bayar pake duit sendiri dan diadakan di kota lain, daftar kursus-kursus di
bidang yang memang belum mahir, dan rajin-rajin ke lab buat ngerjain tesis
(yang kemudian pasti bikin pengen jajan atau ngemall). Hidup beberapa bulan ini
jadi penuh dengan proses belajar, namun dengan pace yang nggak ngoyo karena dilakukan dengan fun dan disambi sama jalan-jalan (I have amazing friends, thanks God. Also,
BALANCE!!!). Pokoknya apapun yang bikin kualitas diri saya nambah ketika
lulus nanti….
[kemudian nggak bisa jajan
skincare sebulan karena impulsif] [yaudalaya otak dulu baru nanti mikir muka]
Masih banyak (BANYAK BANGET!)
pembelajaran (baik praktik, teori, maupun pandangan unik penulis) yang
dituangkan dalam buku ini. Misalnya, teknologi sebenarnya bukan jawaban mutlak
untuk melawan gelombang disrupsi. Yang namanya investasi teknologi itu mahal,
apa iya manfaat yang kita dapet sepadan sama duit yang dikeluarkan? Dihitung
dulu deh dengan seksama. Terus, pemerintah tuh sebenarnya lagi mencoba
mematahkan dominasi asing di bisnis-bisnis alam, tapi enggak pakai cara ngasal.
Tetap harus menggunakan strategi bisnis yang fair, karena biar gimanapun kita masih butuh investasi asing. Dan
yang paling bikin kagum, upaya mereka untuk mensejahterakan masyarakat sekitar
(dan juga Indonesia) melalui hasil aktivitas bisnis mereka, sehingga bakal
lebih mudah untuk mendapat bantuan dari pemerintah dalam hal pengembangan
bisnis. Jadi kepentingan mereka terpenuhi, dan kelebihannya bisa dinikmati
bersama oleh warga sekitar. Pinter kan?
Kalian kayaknya memang harus baca
sendiri deh biar bisa tau apa saya maksud. Karena abis ini saya harus revisi
dan bobo gasik biar besok nggak bangun kesiangan lagi lol.
*Btw, setelah baca buku ini saya
jadi pengen baca buku Astra: On Becoming
Pride of the Nation. Atau, buku terbarunya Rhenald Kasali yang harganya
naik gas pol itu. Ingin cepat bekerja cerdas rasanya, agar tidak mudah
jantungan ketika lihat price tag buku
impian.