Monday 23 March 2015

Reasons I'm Happy This Week

Best Movie I’ve Watched


Film ini adalah kesempurnaan yang selama ini saya cari di film drama. Plus, outfit dari Keira Knightley di sini juara banget! Dan jangan lupa kalau Adam Levine dapet peran yang cukup banyak. Awwwwwww. Karena film ini tentang musik, makanya banyak banget lagu-lagu keren dan konsep pembuatan album unik yang bikin kita pengen keliling New York juga *starry eyes*











Music I’ve Been Listening on Repeat


Seriously, tho. No words necessary.




Best Books I’ve Read


Saya memulai hari dengan bad mood berkepanjangan dan datanglah buku ini kemudian BAM!!!! My life’s turned upside down. Rainbows everywhere. Untung saya tidak perlu menunggu sekuelnya terlalu lama. Yay!

Friday 20 March 2015

Sekilas tentang Goodreads dan Bagaimana Membaca Ebook dengan Mudah

Di tahun-tahun saya menjadi seorang book-blogger dan pemilik beberapa akun lain yang berhubungan dengan buku, pertanyaan yang cukup sering saya dapatkan adalah, “San, gimana sih caranya baca buku di Goodreads?" dan "Kok tampilannya gini? Mana tombol buat baca bukunya?”

Saya yakin, teman-teman bookish juga sering dapat pertanyaan seperti itu. Dan memang tidak bisa dipungkiri duluuuuuu sekali saya juga sempat mengira Goodreads adalah wadah untuk membaca buku “gratis”. Karena, tahulah.... namanya aja Good dan Reads. Wkwk. Logika aneh memang, tapi seperti itulah pemikiran saya dulu.


Nah, jadi sebenarnya Goodreads itu bisa dibuat baca buku nggak sih? Jawabannya adalah tidak. Bagi saya, Goodreads adalah sebuah situs (atau aplikasi Android) untuk memantau proses membaca. Goodreads menyediakan 3 shelves utama; To-Read, Currently Reading, dan Read. Fungsinya buat apa? Seperti namanya, tiga shelves ini digunakan untuk mengklasifikasikan buku apa saja yang ingin kita baca, sedang kita baca, dan yang sudah kita baca.

Selain tiga shelves utama itu, kita juga bisa membuat shelves sendiri sesuai preferensi. Custom Shelves ini bisa disesuaikan sama kebutuhan kita, hampir seperti kita mengatur rak buku di rumah; mana buku kuliah, mana novel, mana buku impor, di rak mana yang buku-bukunya bagus dan bakal dibaca ulang, dll, dst. Suka-suka lah pokoknya. Nantinya, shelves ini bakal memudahkan teman yang sedang membuka profil kita untuk browsing buku-buku yang sudah kita tambahkan di shelves tersebut, atau sebaliknya, memudahkan kita melihat buku-buku terkategori di shelves milik teman. Segala aktivitas/ update kita akan muncul di Home milik teman-teman yang sudah kita add/ accept (seperti Facebook), dan di sini kita juga bisa kepo sama buku apa yang lagi teman-teman kita baca dan bagaimana pendapat mereka terhadap buku itu.


Apa itu aja fungsi Goodreads? O tentu tidak. Ada banyak sekali kegunaan Goodreads yang kalau saya sebutkan satu per satu mungkin bakal bisa diterbitkan jadi trilogi buku (oke ini lebay). Intinya, Goodreads adalah tempat kita untuk “melek” buku. Karena di sini kita bisa tahu informasi tentang buku-buku yang baru terbit, buku terkece bulan ini (kita bakal dapet newsletter bulanan), dan fungsi yang paling sering saya manfaatkan, di mana kita bakal bisa tahu bagaimana pendapat teman tentang buku X melalui rating dan review di halaman buku yang bersangkutan. Saran aja nih, banyak-banyakin aja nambah teman dan follow akun yang menurutmu punya selera baca yang sealiran dengan kamu atau akun yang bacanya “rajin” hehe dan jangan lupa ajak mereka ngomong; saling berbagi pikiran dan pendapat, minta rekomendasi buku bagus, dsb. Nggak semua informasi bakal disodorkan sama Goodreads, makanya selain rajin berteman, kita harus sering ngutak-atik situs ini (btw bakal lebih maksimal kalau lihatnya dari browser dan bukannya aplikasi android). Dari Goodreads lah saya tahu buku mana yang sekiranya bagus, kapan penulis favorit saya menerbitkan buku baru, dan berbagai macam informasi yang pasti bakal repot kalo di search satu per satu di Google. 

Nah, San, terus kalau kita mau baca buku gratis itu di mana?

Wah....... pertanyaan ini sebenarnya agak menjebak hehe.

Kalau saya pribadi, membaca buku itu lebih maksimal kalau pakai ebook dan bukannya baca online, karena (1) nggak melulu butuh internet, aman deh kalau langganan lagi habis atau bokek, (2) settingnya bisa disesuaikan seenak jidat, dan (3) kalau buku di situsnya udah dihapus server karena laporan DMCA, kita udah nyetok di memory card/ ereader/ laptop. Pokoknya, timbun dahulu, baca belakangan! *kemudian dikepruk*

Ebook yang dibaca pun nggak bisa seenaknya aja. Kadang nih saya sering dinyinyirin karena sok-sokan baca ebook Bahasa Inggris, nggaya katanya. Mereka nggak tahu aja kalau ebook Bahasa Indonesia nyarinya susah setengah mati. Seperti kata orang, kita harus terpaksa dulu biar terbiasa. Beberapa tahun berjuang merem melek baca kosakata dan kalimat aneh-aneh dalam bahasa asing, saya akhirnya bisa menguasai Bahasa Inggris sedikit demi sedikit. Membaca novel berbahasa Inggris menjadi semacam terapi bagi saya yang kalo disuruh belajar malesnya minta ampun. Memang saya akui kemampuan Bahasa Inggris saya belum begitu lancar, tapi kalo misal diajak jalan-jalan di Eropa/ Amerika, insya Allah saya nggak bakal nyasar/ malu-maluin kok (ini kode, saudara-saudara).



Oke, balik lagi ke masalah ebook. Format ebook yang saya pakai bukan PDF seperti kalau kita membaca jurnal-jurnal ilmiah, melainkan EPUB. Membaca file berformart EPUB membutuhkan epub reader, yang bisa didownload di Play Store (Android) atau komputer. Untuk aplikasi yang paling saya sukai adalah Aldiko dan FBReader. Karena Epub Reader ini memang didesain untuk membaca novel, aplikasi ini punya beberapa keunggulan, yaitu:

1. Epub Reader mengingat halaman terakhir yang kita baca, nggak kayak PDF yang kalau di close dan dibuka lagi bakal selalu balik ke halaman 1. Hal ini sangat, sangatlah berguna bagi saya yang selalu pelupa ini. Semacam pembatas buku virtual gitu lah. 
2. Tampilan yang didesain seperti halnya rak buku atau perpustakaan. Nggak usah repot-repot buka folder di memory card yang pasti butuh banyak tahap dan sentuh sana-sini. Cukup buka aplikasinya dan pilih buku yang ingin kamu baca. **PS: Untuk Aldiko ebook yang ingin dibaca harus diimpor dulu. 
3. Tidak perlu zoom-zoom kalau layar device yang dipakai kecil, seperti yang kita lakukan di PDF Reader. Repot cyin. Epub Reader akan otomatis menyesuaikan font file kita. Jadi kalau menurut kita font nya terlalu kecil, perbesar aja ukurannya di setting. Ini berlaku juga ketika Rotasi Otomatis kita menyala, karena Epub Reader juga bakal ikutan menyesuaikan font di tampilan layar. Jadi mesin yang menyesuaikan, bukannya kita.
4. Kita bisa mem-bookmark line atau paragraf yang kita suka. Buat blogger seperti saya, fitur ini penting, biar linenya nanti bisa ditambahkan ke review. Btw, Aldiko tidak punya fitur ini, jadi saya bergantung sepenuhnya ke FBReader. Tampilannya seperti ini.


Bukan hanya itu saja sih keunggulannya. Rajin utak-atik aja pokoknya biar bisa nemu banyak jalan pintas tersembunyi di aplikasi ini. Kebanyakan fitur yang saya pakai juga hasil nemu pas lagi iseng. Santai aja lah, aplikasi ini gampang banget makenya. Plus nggak bakal ada spam iklan yang kadang suka ganggu karena kedip-kedip itu.

Satu hal penting nih, Aldiko dan FBReader hanyalah alat untuk membaca ebook. Kita masih membutuhkan file EPUB yang bisa diunduh di Google, tentunya sesuai dengan judul yang kita inginkan.

Nah cukup sekian saja sharing dari saya, kalau ada yang masih jelas bisa ditanyakan di kolom komentar.


Monday 16 March 2015

[Book Review] Confess by Colleen Hoover

Confess
penulis Colleen Hoover
320 halaman, New Adult/ Contemporary Romance
Rating: 
Dipublikasikan 10 Maret 2015 oleh Atria Books

SINOPSIS:
Auburn Reed has her entire life mapped out. Her goals are in sight and there’s no room for mistakes. But when she walks into a Dallas art studio in search of a job, she doesn’t expect to find a deep attraction to the enigmatic artist who works there, Owen Gentry.

For once, Auburn takes a risk and puts her heart in control, only to discover Owen is keeping major secrets from coming out. The magnitude of his past threatens to destroy everything important to Auburn, and the only way to get her life back on track is to cut Owen out of it.

The last thing Owen wants is to lose Auburn, but he can’t seem to convince her that truth is sometimes a subjective as art. All he would have to do to save their relationship is confess. But in this case, the confession can be much more destructive than the actual sin…


REVIEW:

Auburn kesulitan mencari uang untuk membayar jasa seorang pengacara. Pekerjaan utamanya sebagai karyawan salon tidak bisa menutup besarnya biaya yang ia butuhkan. Di usianya yang ke-21, hidupnya berantakan karena dia terlalu banyak mengambil keputusan yang salah di hidupnya. Setiap hari ia hanya menangisi nasib buruknya dan berharap keajaiban akan datang dan menyelamatkannya.

Keajaiban akhirnya datang dalam bentuk tanda HELP WANTED, Knock to Apply di sebuah bangunan yang selalu ia lewati ketika berangkat dan pulang bekerja.


Awalnya Auburn sangsi, karena Owen, sang pemilik bangunan yang ternyata juga merupakan studio itu bersedia membayar $100 per jamnya. What kind of weirdo does that? Apa pekerjaan yang sebenarnya ditawarkan oleh Owen? Pertanyaan itu terjawab ketika Auburn memasuki studio milik Owen yang ternyata, akan dibuka untuk pameran kurang satu jam lagi. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di studio tersebut, Auburn langsung terpesona dengan lukisan-lukisan yang ada di sana. Bukan hanya karena lukisan-lukisan tersebut luar biasa indah (beberapa gambar lukisan dilampirkan dalam buku ini), tapi karena setiap lukisan diwakili oleh secarik kertas Pengakuan a.k.a Confess. Tiap harinya, orang-orang menuliskan Pengakuan di secarik kertas kecil dan memasukannya ke selot pintu studio Owen, yang kemudian akan dijadikan inspirasi olehnya dalam melukis. Pengakuan-pengakuan itulah yang membuat tiap lukisan begitu indah, jujur, dan menuntut untuk didengar (ok well, dibaca… atau dilihat, you know what I mean). Berbagai emosi langsung berkecamuk dalam diri Auburn ketika melihat dan membaca Pengakuan di tiap-tiap lukisan yang ada di sana.

Di luar segala prasangka yang Auburn punya, dia ternyata menikmati pekerjaan barunya sebagai asisten Owen dalam melayani pengunjung pameran. Ditambah, uang yang ia hasilkan cukup untuk menumbuhkan kembali harapannya dalam menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi.

Namun pertemuannya dengan Owen menyeretnya dalam masalah yang lebih besar. Masalah yang mengancamnya untuk kehilangan orang yang selama ini susah payah ia perjuangkan.

Source

Saya sudah baca beberapa novel Colleen Hoover, namun belum semua. Hal ini mungkin sudah cukup saya jadikan bukti bahwa saya berpendapat CoHo memakai formula yang nyaris sama di novel-novelnya. Kalau di Confess ini, mungkin bedanya ada di ketiadaan puisi yang selama ini setia muncul di beberapa judul… setahu saya sih yang pakai puisi itu Slammed, Point of Retreat, This Girl, dan Ugly Love. Plot cerita, kondisi emosi tokoh (dalam artian apa yang saya rasakan ketika membaca narasi dari tokoh-tokohnya), gaya penulisan…. sama. Bisa dibilang ini membuat CoHo memiliki gaya yang khas di mata saya dibanding penulis lain, namun di sisi lain saya juga mulai bosan ketika ia membahas hal itu lagi, itu lagi. Pakai cara yang begitu lagi, begitu lagi.


Yang jadi masalah adalah Confess diceritakan bergantian dari sudut pandang Auburn dan Owen. Kemotonan pada gaya penulisan menyebabkan baik suara Auburn dan suara Owen bagi saya sama. Terlebih, si Owen ini makin kesini makin mirip sama Will Cooper-nya Slammed Series. Duh, jeng. Aku kudu piye. Seharusnya diceritakan dari salah satu tokoh aja cukup lah, daripada jadinya kayak gini.

Dan duh, kemana perginya CoHo yang dulu sering bikin hancur perasaan saya? Jalan cerita Confess ini jauuuuuh banget dari ekspektasi yang saya pasang. Hambar, terlalu banyak drama, dan bikin pusing saking capeknya saya rolled eyes rolled eyes mulu. Karena ketika masalah datang, yang seharusnya kamu lakuin adalah berpikir dan cari solusi biar masalahnya cepetan selesai. Bukannya malah flashback ke masa lalu dan sibuk nyusun kata-kata puitis.

Untungnya Confess ini lumayan asyik juga buat ngabisin waktu, daripada bengong. Dan syukur deh sukses menarik saya dari book hangover yang akhir-akhir ini lagi melanda. Apalagi banyak gambar lukisan keren yang ada di beberapa bagian buku. Oooookay, I guess. 

Kesimpulannya….. Confess ini enggak sekacrut Ugly Love. Tapi tetep aja, tidak memenuhi harapan saya sebagai penggemar lama CoHo. Jadi dua bintang cukup lah, atas nama masa lalu, ok?


Some secrets should never turn into confessions. I know that better than anyone.


Novel ini saya rekomendasikan buat yang belum pernah baca karya Colleen Hoover sebelumnya. Kalau sudah pernah, yaudah berarti jangan hahaha.

Friday 13 March 2015

[Book Review] I'll Meet You There by Heather Demetrios

I’ll Meet You There
penulis Heather Demetrios
400 halaman, Young Adult/ Contemporary Romance
Rating: image
dipublikasikan 3 Februari 2015 oleh Henry Colt & Co. BYR

SINOPSIS:
If seventeen-year-old Skylar Evans were a typical Creek View girl, her future would involve a double-wide trailer, a baby on her hip, and the graveyard shift at Taco Bell. But after graduation, the only standing between straightedge Skylar and art school are three minimum-wage months of summer. Skylar can taste the freedom—that is, until her mother loses her job and everything starts coming apart. Torn between her dreams and the people she loves, Skylar realizes everything she’s ever worked for is on the line.

Nineteen-year-old Josh Mitchell had a different ticket out of Creek View: the Marines. But after his leg is blown off in Afghanistan, he returns home, a shell of the cocksure boy he used to be. What brings Skylar and Josh together is working at the Paradise—a quirky motel off California’s dusty Highway 99. Despite their differences their shared isolation turns into an unexpected friendship and soon, something deeper.


REVIEW:

When we were freshman, Chris and I had promised each other that we’d be the ones to get out—we called it our Sacred Pact. We nagged each other all throughout high school, when one of us wanted to be lazy or give in to giving up. Whenever I liked a boy, Chris had been all, The pact! The Pact! Because, of course, romance was bad for GPAs.

Saya punya pendapat yang cukup beragam mengenai I’ll Meet You There. Secara pribadi, saya sangat menikmati membaca buku ini…..atau mungkin terlalu menikmati? Entahlah, butuh waktu lebih dari satu bulan bagi saya untuk menamatkannya. Bukan karena ceritanya membosankan loh ya, saya cuma ingin benar-benar memahami cerita yang disuguhkan oleh sang penulis dengan tidak terburu-buru membacanya.

Tema yang diangkat Heather Demetrios sebenarnya sederhana, tanpa ada plot twist yang bombastis. Menceritakan tentang dua remaja muda, Skylar dan Josh, kita diajak untuk mengenali kehidupan masyarakat pinggiran kota yang hidup dan bernapaskan kemiskinan. Skylar, yang harus mengambil 3 pekerjaan di luar waktu sekolahnya untuk membayar tagihan sehari-hari….. dan Josh, yang walaupun sudah merasakan kebebasan sementara dengan menjadi tentara yang dikirim ke Afghanistan, harus kembali dengan trauma berat dan kehilangan sebelah kakinya. Karena, tahu sendiri lah, hidup itu bisa sebegitu jahatnya. Josh yang mengerti rasanya memiliki rumah di luar Creek View, mengerti kekeraskepalaan Skylar untuk segera keluar dari kota kecil ini. 

The other towns needed us: you can’t have the light without the dark, right? Maybe our darkness was necessary for other people to see their light.

Jelas di sini Heather Demetrios benar-benar menuangkan segala kemampuannya dalam I’ll Meet You There. Disamping bakat luar biasanya dalam menulis, dia melakukan riset mendalam kepada beberapa mantan Marine (termasuk ayahnya sendiri!). Nggak heran di bab-bab Josh yang walaupun pendek, saya benar-benar bisa merasakan emosi gelap Josh sebagai mantan prajurit yang harus kembali ke kampung halamannya dalam keadaan kurang, baik dari sisi fisik maupun emosional.

Berbeda dengan Skylar (saya suka sekali sama nama dia!). Heather Demetrios berhasil menciptakan sosok tokoh utama yang kuat dan tabah. Skylar bukan tipe heroine humoris manis yang membuat kamu menyukainya sejak paragraf-paragraf pertama. Dibesarkan dalam lingkungan yang keras, saya menemukan bahwa sosok Skylar lumayan pahit. Ketika tinggal selangkah lagi dia bisa menggenggam tiket keluarnya dari Creek View, cobaan datang. Hal yang dialami Skylar cukup menjengkelkan bagi saya, karena yang menghalangi Skylar untuk mendapatkan kebebasannya adalah ibunya sendiri. Ibu seharusnya menjadi pelindung dan pendukung bagi anaknya, bukan malah jadi beban. Ya, saya tahu ibunya sedang berduka karena kehilangan suami yang merupakan belahan jiwanya. La la la….. Tapi Skylar juga kehilangan sosok ayah. Hidup tanpa ayah dan sekarang ibunya tidak bisa membantunya menopang hidup karena "berduka"......well, forgive me for being this cranky.

Why is it that some people in the world get to wake up in beautiful houses with fairly normal parents and enough food in the fridge while the rest of us have to get by on the scraps the universe throws at us? And we gobble them up, so grateful. What the hell are we grateful for?

Novel ini terasa begitu realistis sampai saya takut untuk menamatkannya.

Namun terlepas dari kebencian mereka terhadap Creek View, Skylar dan Josh tetap dapat menemukan keindahan di sana... kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang mungkin bagi penduduk lain Creek View tampak tidak berharga. Saya jadi penasaran buat tahu seperti apa Creek View versi I'll Meet You There di kehidupan nyata.

Mungkin saya tidak mendapat pengalaman yang sama dengan Skylar dan Josh, yang harus terjebak di kota kecil nan terisolasi serta dipenuhi oleh orang-orang yang betah tinggal di sana. Tapi satu hal yang sama, saya ingin keluar dari kota yang selama ini menaungi saya. Saya haus pengalaman untuk merasakan kehidupan di luar Semarang, walaupun dalam waktu yang sebentar. And hell yeah I did.


Terlepas dari hal-hal di atas, pengalaman membaca I’ll Meet You There terasa seperti tiket sekali perjalanan bagi saya. Tidak ada keinginan sama sekali untuk membaca ulang di masa mendatang. Satu kali saja cukup, dan saya senang karena sudah benar-benar menikmatinya di perjalanan pertama—dan terakhir—ini.

My blood was carbonated, and I was awake and young and alive, and screw everything because this moment was mine.


Monday 2 March 2015

NARC 2015 Update (Jan-Feb)

Januari

The Pirate Next Door by Jennifer Ashley
Novel historical fiction pertama saya dan suka banget!!! Heroine milik Jennifer Ashley ini selalu strong dan witty tanpa perlu dibuat-buat. Saya sudah mencapai buku ketiga dari seri ini dan menyimpan buku keempatnya ketika mood untuk historical fiction muncul kembali.

Falling into Place by Amy Zhang
Novel bertema bullying yang disorot dari pihak si penggencet. Banyak banget yang saya pelajari dari buku ini; tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk, dan yang paling penting tentang bagaimana sebaiknya kita memperlakukan orang lain. Sangat saya rekomendasikan!


Wish You Were Italian by Kristin Rae
Traveling? Italia? Cocok baca buku ini. Review sudah diposting.

Fallen Too Far by Abby Glines
Pendapat pertama saya mengenai buku ini adalah duh dan meh. Tapi nyatanya, saya sudah tamat sebagian besar buku dari seri ini dan sangat familiar dengan para penduduk Rosemary Beach. Teknik penulisan Abby Glines semakin lama semakin membaik lah. Kacrutnya cuma di buku pertama aja. So if you curious, you have to bear this first book.


For Real by Alison Cherry
Termasuk buku baru yang underrated padahal bagus. Review sudah diposting.

The Girl in 6E by Alessandra Torre
Bikin penasaran banget. Tapi cuma itu aja sih strong point dari buku ini. Jatohnya, membaca buku ini terasa seperti lagi balapan, pengen cepet-cepet nyampe akhir cerita. Bobotnya sih nggak ada wkwk.


Februari 


Wait for You by J. Lynn
KECEWA, KECEWA, KECEWA. Tipikal cerita standar good girl meets bad boy. Apalagi eksekusinya jelek banget. Meh.


Diposting untuk New Author’s Reading Challenge Periode Januari-Februari 2015