Saturday, 2 July 2016

[Review Buku] Written in the Stars oleh Aisha Saeed

Written in the Stars
penulis Aisha Saeed
277 halaman, Young Adult
Rating: 
Dipublikasikan 24 Maret 2015 oleh Nancy Paulsen Books

Ini adalah kali kedua saya mencoba menulis review untuk novel Written in the Stars. Soalnya yang pertama penuh dengan caci maki jadi nggak begitu pas untuk di-publish. Hmm mari kita coba sekali lagi.


My mother always says when you fight destiny, destiny fights back. Some things, they’re just written in the stars. You can try, but you can never escape what’s meant to be.

Secara singkat, Written in the Stars bercerita tentang Naila, gadis Amerika keturunan Palestina yang dinikahkan secara paksa dengan Amin, seseorang yang sama sekali asing baginya. Alasannya adalah Naila ketahuan pacaran (yang mana sangat dilarang oleh kedua orangtuanya) dengan Saif, laki-laki nomor satu yang dihindari orangtua Naila karena reputasinnya. Beruntung, Amin adalah laki-laki baik dan menghormati istri barunya. Namun, pernihakan berlandaskan paksaan dan tanpa cinta bukanlah sesuatu yang Naila inginkan.


Ada banyak hal yang tidak saya setujui terjadi di sini, dan kebanyakan berhubungan dengan unsur budaya. Masuk akal sih kalau novel ini disebut sebagai novel kontroversial. Yang pertama adalah orangtua Naila yang berpikir pernikahan adalah penyelesaian segala hal. Dengan pemikiran bahwa “kami tahu yang terbaik bagimu”, mereka seolah-seolah berhak mengendalikan hidup Naila tanpa persetujuan yang bersangkutan terlebih dahulu. Orang tua dan keluarga besar Naila di sini melakukan segala cara agar penikahan tetap berlangsung, walaupun jelas-jelas ketika ijab kabul Naila berkata “tidak, saya tidak bersedia.” Dan sepertinya tidak hanya orang tua Naila saja lho yang berpikir seperti itu. Satu kampung sepertinya membantu mereka untuk mensukseskan misi kedua orangtuanya.

How can this be a marriage? I am here against my will. He is not my husband. He’s someone I must endure. Nasim is not my mother-in-law; she’s just a warden. This is not a home. It is a cage.


Yang kedua adalah Amin yang sangat clueless dengan tingkah Naila yang cuek dan tidak mampu memandangnya. Ya saya bisa ngerti sih Naila eneg banget sama perlakuan semua orang di sana, tapi Amin benar-benar nggak paham dan nggak berusaha mencari tahu alasannya. GRRRRR. Saya sempat sedikit bersimpati sih lho sama Amin (saya tekankan di kata sempat, sekarang sih nggak lagi!), tapi dia rupanya jadi tokoh yang sangat saya benci di sini.

Dan ketiga, sepertinya tidak ada karakter yang “normal” di sini. Yang paling nggak gila menurut saya cuma Naila dan Saif. Selma dan Imran lumayan, walaupun mereka juga ikut bersekongkol di luar kemauan mereka sendiri. Saya sampe mendidih karena perlakuan keluarga besar Naila itu udah kayak nggak memanusiakan dia banget. Yikes.



Overall, novel ini memiliki jalan cerita yang tidak biasa ditemui dalam YA lainnya. Endingnya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Tapi ya itu, banyak hal yang saya nggak sreg. Penyampaian ceritanya pun masih belum begitu luwes. I don’t recommend this book for you, guys. 

No comments:

Post a Comment