Written in the Stars
penulis Aisha Saeed
277 halaman, Young Adult
Rating:
Dipublikasikan 24 Maret 2015 oleh Nancy Paulsen Books
Ini adalah kali kedua saya
mencoba menulis review untuk novel Written in the Stars. Soalnya yang pertama
penuh dengan caci maki jadi nggak begitu pas untuk di-publish. Hmm mari kita coba sekali lagi.
My mother always says when you fight destiny, destiny fights back. Some
things, they’re just written in the stars. You can try, but you can never
escape what’s meant to be.
Secara singkat, Written in the
Stars bercerita tentang Naila, gadis Amerika keturunan Palestina yang
dinikahkan secara paksa dengan Amin, seseorang yang sama sekali asing baginya.
Alasannya adalah Naila ketahuan pacaran (yang mana sangat dilarang oleh kedua
orangtuanya) dengan Saif,
laki-laki nomor satu yang dihindari orangtua Naila karena reputasinnya.
Beruntung, Amin adalah laki-laki baik dan menghormati istri barunya. Namun,
pernihakan berlandaskan paksaan dan tanpa cinta bukanlah sesuatu yang Naila
inginkan.
Ada banyak hal yang tidak saya
setujui terjadi di sini, dan kebanyakan berhubungan dengan unsur budaya. Masuk
akal sih kalau novel ini disebut sebagai novel kontroversial. Yang pertama
adalah orangtua Naila yang berpikir pernikahan adalah penyelesaian segala hal. Dengan
pemikiran bahwa “kami tahu yang terbaik bagimu”, mereka seolah-seolah berhak
mengendalikan hidup Naila tanpa persetujuan yang bersangkutan terlebih dahulu.
Orang tua dan keluarga besar Naila di sini melakukan segala cara agar penikahan tetap berlangsung, walaupun jelas-jelas
ketika ijab kabul Naila berkata “tidak, saya tidak bersedia.” Dan sepertinya
tidak hanya orang tua Naila saja lho yang berpikir seperti itu. Satu kampung
sepertinya membantu mereka untuk mensukseskan misi kedua orangtuanya.
How can this be a marriage? I am here against my will. He is not my
husband. He’s someone I must endure. Nasim is not my mother-in-law; she’s just
a warden. This is not a home. It is a cage.
Yang kedua adalah Amin yang
sangat clueless dengan tingkah Naila
yang cuek dan tidak mampu memandangnya. Ya saya bisa ngerti sih Naila eneg
banget sama perlakuan semua orang di sana, tapi Amin benar-benar nggak paham
dan nggak berusaha mencari tahu alasannya. GRRRRR. Saya sempat sedikit bersimpati sih lho sama Amin (saya tekankan di kata
sempat, sekarang sih nggak lagi!), tapi dia rupanya jadi tokoh yang sangat saya
benci di sini.
Dan ketiga, sepertinya tidak ada
karakter yang “normal” di sini. Yang paling nggak gila menurut saya cuma Naila
dan Saif. Selma dan Imran lumayan, walaupun mereka juga ikut bersekongkol di
luar kemauan mereka sendiri. Saya sampe mendidih karena perlakuan keluarga
besar Naila itu udah kayak nggak memanusiakan dia banget. Yikes.
Overall, novel ini memiliki jalan cerita yang tidak biasa
ditemui dalam YA lainnya. Endingnya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Tapi
ya itu, banyak hal yang saya nggak sreg. Penyampaian ceritanya pun masih belum
begitu luwes. I don’t recommend this book
for you, guys.
No comments:
Post a Comment