Sunday 2 June 2019

[Review Buku] Field Notes on Love oleh Jennifer E. Smith


Sebagai intermezzo dari laporan yang harus saya selesaikan minggu ini, saya bakal mengulas novel terbaru dari penulis Young Adult favorit, Jennifer E. Smith, yang berjudul Field Notes on Love. Novel ini menurut saya cocok buat masuk ke daftar bacaan musim panas, karena temanya asyik buat dieksplor saat libur panjang tanpa beban kayak sekarang.

Field Notes on Love menceritakan tentang perjalanan dua remaja dalam menemukan jati diri. Mae sangat menyukai proses membuat film dan selalu dibanjiri pujian dari sana sini atas karyanya, sehingga penolakan dari universitas impiannya membuatnya tidak habis pikir: apa yang salah dari karya terbaiknya? Sedangkan Hugo adalah anak bungsu dari kembar enam yang tersohor di Surrey, Inggris. Hugo dan kelima saudara kembarnya hidup dalam eksposur dari media. Sang ibu mengabadikan kehidupan mereka ke blog dan buku, mall lokal menjadikan mereka ikon untuk lini fashion dan iklan, dan stasiun TV kadang melakukan wawancara tentang kehidupan mereka. Saking terkenalnya si kembar enam di Surrey, seorang konglomerat memberikan beasiswa penuh kepada mereka untuk bersekolah di University of Surrey. Tujuan utamanya tentu untuk mendongkrak publisitas kampus yang telah mendukungnya dalam meraih kesuksesan karir. Sayangnya, yang paling diinginkan oleh Hugo saat ini adalah mengambil gap year selepas lulus dari SMA untuk mencari jati dirinya dan terlepas dari identitas “satu dari kembar enam.”

Jalan hidup kedua remaja ini akhirnya berpapasan setelah pacar Hugo memutuskan hubungan mereka secara mendadak. Padahal, Hugo dan Margaret sudah merencanakan perjalanan panjang dengan kereta. Semua tiket dipesan atas nama Margaret Campbell, non-refundable dan non-transferable. Perjalanan ini adalah kesempatan pertama bagi Hugo untuk mencicipi kebebasan dan dengan mundurnya Margaret dari rencana… dia harus menemukan Margaret Campbell lain untuk menggantikannya.

Perlu dicatat bahwa Mae bukan kandidat utama yang dipilih Hugo, melainkan seorang wanita berusia 86 tahunan yang seumur hidup belum pernah merasakan perjalanan spontan. Detail ini membuat saya cukup senang karena tidak banyak “kebetulan” yang diciptakan oleh penulis. Yah, walaupun di detik-detik terakhir sang lady harus mundur karena alasan kesehatan. Setidaknya, terpilihnya Mae melewati transisi yang smooth

Karena genre-nya Young Adult, saya lebih menyoroti soal pengembangan karakter yang dialami oleh Mae dan Hugo. Kita bertemu Mae saat dia masih naif dan bingung: terlalu sering menerima pujian, dia jadi susah bangun ketika dirudung masalah. Ini adalah masalah klasik yang dialami orang-orang yang tidak pernah gagal. Mae susah menerima kritik dari orang lain karena dia beranggapan caranya adalah yang paling benar. Saya suka sekali dengan cara Jennifer E. Smith mengeksekusi tema ini. Dari mulai respon Mae ketika menerima kritik, denial yang dia lakukan, hingga upaya (yang secara tidak sadar akan menjadi hal “besar” bagi pengembangan karakternya) yang dia pilih ketika sudah memulai perjalanan, benar-benar menggambarkan perjuangan seseorang dalam mencari jati diri. Kondisi Mae pun meyakinkan saya untuk kelak jangan terlalu memuji-muji anak, karena pujian punya potensi untuk membuat mereka lengah dalam hal belajar, mengurangi kegigihan dalam berusaha, dan seperti Mae ini…. tidak mudah menerima fakta kalau dia ternyata tidak “sebaik” apa yang dikatakan orang-orang. 

“But the hurt and rejection and disappointment? It’ll help you grow as an artist. And it’ll all be worth it when you finally get it right.”

Saya tidak begitu yakin sama pengembangan karakter Hugo, karena sejak awal saya sudah sinis dengan impian yang ingin dia wujudkan. Sebagai seseorang yang harus berjuang untuk terus bersekolah, saya tidak bisa bersimpati dengan keputusannya untuk siap kehilangan beasiswa demi “keliling dunia.” Rasanya seperti berhadapan sama ABG yang terlalu lama stalk akun instagram bertajuk soul-searching (I KNOWWW you know what I’m talking about!! Yang postingannya nggak jauh-jauh dari individu dengan kulit terbakar matahari itu lhoooo, dengan latar laut SUPER biru atau langit yang SUPER biru juga, pluuuuus caption yang mengayo-ayokan buat mencari jati diri melalui jelajah alam). Di saat banyak mahasiswa terjebak hutang puluhan tahun demi bisa bayar kuliah (yang beneran marak terjadi di Amerika), tindakan Hugo jadi tampak egois di mata saya—terutama ketika kelima saudaranya akan terancam kehilangan beasiswa juga. After all, it’s for the publicity, okay?

Selain masalah Hugo ini, saya juga merasa tidak sreg sama premis “ketemu orang asing untuk kemudian traveling bersama selama semingguan naik kereta.” Tapi karena dari novelnya sendiri sudah sering dibahas sama tokoh-tokohnya, kebanyakan soal “Lu kagak takut kalau yang pasang iklan itu ternyata pembunuh berantai atau pedofil, kan?” saya merasa remaja-remaja yang baca bakal bisa memfilternya dengan baik (BISA KAN??? PLIS BILANG BISA. JANGAN SAMPAI NANTI KALIAN MALAH TERINSPIRASI BUAT JALAN-JALAN PAKAI METODE ANEH KAYAK GINI. KARENA LET ME TELL YA… RISIKO KETEMU PEMBUNUH BAYARAN ATAU PENJAHAT SEKSUAL LEBIH GEDE DARI KETEMU COWOK BRITISH CUTE).

Because the statistical probability of finding a travel companion like Hugo is...I don't even want to think about it.

Begitulah kesan saya soal novel ini. Khas Jennifer E. Smith banget lah, menggunakan pola ketemu orang asing dan pada akhirnya bisa menemukan jati diri yang selama ini dicari. Ada nuansa kalem gimanaa gitu kalau baca novel dia, membuat novel-novel dia cocok dibaca di penghujung hari—setelah seharian memeras otak buat bikin laporan. Meskipun di beberapa bagian terlalu cheesy atau overly quotable, saya cukup terhibur dengan karya dia. Asal tetap pakai filter ya bacanya? 

Someone recently told me that if you want something badly enough, you have to make your own magic. You have to lay it all on the line. And most of all, you have to be brave. When you grow up as one of six, it can be hard to say what you want. But that person was right. Which is why, no matter what ends up happening, I had to write this letter. Because some things are worth fighting for—and this is one of them.

No comments:

Post a Comment