Friday 13 September 2019

[Review Buku] The Raven Boys oleh Maggie Stiefvater


Paperbackdreams, Readbyzoe, Ellias, dan BooksandLala melakukan The Raven Cycle Readalong di Youtube. Setiap minggu di Bulan September, satu buku akan dibaca dan dibahas bersama. Saya tergugah untuk ikut baca ulang seri ini karena The Raven Cycle sangat berkesan di hati tapi saya terlalu pengecut buat baca ulang sendirian. Memori yang melekat ketika saya membaca seri ini… pahit-pahit manis. Euforia readalong bikin saya lebih berani buat memulai dan mengakhiri 4 buku penuh kenangan ini, once and for all.

Berdasarkan timeline, seharusnya buku kedua (The Dream Thieves) sudah ditamatkan per hari ini. Tetapi minggu lalu saya lagi sibuk ngurus kerjaan dan Kelas Inspirasi, jadi di sela-sela waktu luang saya cuma bisa dapat beberapa bab buku pertamanya saja (The Raven Boys). Tidak mengapa, saya akhirnya bisa menamatkan The Raven Boys dan siap ngebut ke The Dream Thieves untuk kemudian melesat membalap ketertinggalan di Blue Lily, Lily Blue.

Buku pertama dari seri The Raven Cycle, The Raven Boys, memperkenalkan kepada kita tentang Blue Sargent dan keluarga cenayangnya di 300 Fox Way, Kota Henrietta. Meskipun dikelilingi oleh cenayang-cenayang hebat, Blue bisa dibilang tidak menuruni kemampuan tersebut. Yang Blue miliki justru lebih unik, yaitu dia bisa memperkuat dan memperjernih penerawangan ibu dan sahabat-sahabatnya hanya dengan keberadaannya di dekat mereka. Istilah yang mereka berikan sih amplifier. Blue seperti meja yang dekat stop kontak di Starbucks; sumber energi, paling dicari konsumen di antara meja-meja lainnya.

Sejak kecil, cenayang-cenayang yang Blue temui sudah mewanti-wanti jika dia akan membunuh cinta sejatinya dengan ciuman. Sebagai anak baru gede, tentu Blue tidak begitu mempermasalahkan ramalan tersebut. Tetapi sejak kehidupannya bersinggungan dengan rombongan siswa dari Akademi Aglionby (SMA super elit khusus laki-laki) di tahun yang diketahui akan menjadi tahun Blue jatuh cinta, Blue sekeluarga jadi lebih waspada. Rombongan yang disebut Blue sebagai Raven Boys tersebut membawa perubahan besar tidak hanya pada hidup Blue, tetapi juga pada masa depan Kota Henrietta.

Kemunculan Raven Boys bagi saya sama ikoniknya seperti scene masuknya keluarga Cullen di Twilight. Saya langsung ingat kalau saya pernah sayang sama mereka (mulai lebay). They’re my family, they’re all my babies. Dari mulai Gansey dan Camaro kebanggaannya, Ronan dan Chainsaw si bayi burung gagaknya, Noah yang saya ingat penderitaannya seperti apa, bahkan termasuk juga si Adam dan gengsinya yang setinggi langit itu. Ketika Blue mulai gabung sama Raven Boys dalam petualangan membangunkan ley line dan mencari Raja Glendower yang ribuan tahun tertidur, baru deh cerita terasa menyenangkan.

“You’re looking for a god. Didn’t you suspect that there was also a devil?”

Membaca ulang The Raven Boys, saya jadi sadar betapa masih belum stabil gaya menulis Maggie Stievfater pada tahap ini. Membosankan di beberapa bagian, cenderung kering di bagian-bagian lainnya. Kurang terasa unsur magis yang seharusnya ada di novel semacam ini. Saya menulis ulasan ini ketika sudah baca 2 bab awal The Dream Thieves, dan terasa sekali cerita buku kedua diawali dengan suasana magis yang lebih kental dari buku pertamanya. Pengembangan yang positif bagi penulis, I guess

The Raven Boys menurut saya cuma sukses menjadi landasan pengenalan karakter dan nasib mereka di masa depan. Beberapa potensi yang seharusnya dimiliki buku pertama kurang berhasil dimaksimalkan. Secara pribadi, manfaat berarti yang saya dapat dari proses baca ulang The Raven Boys adalah saya jadi paham kenapa Gansey sangat terobsesi untuk mencari Glendower. Beberapa detail seperti rahasia Noah, masa depan Adam, kemampuan Ronan, dan hal-hal yang akan terjadi pada karakter-karakter yang sempat terlupa perlahan kembali teringat. Khusus buat detail Gansey, saya dulu tidak begitu mengerti. Maklum, dibacanya pas kemampuan Bahasa Inggris masih terbatas. Ketika sekarang paham, jadi super bangga sama diri sendiri dan makin semangat untuk menapak tilas petualangan mereka hingga akhir. 

Beberapa contoh interaksi Ravan Boys dan Blue yang bikin saya sayang (bahkan setelah dibaca ulang, tidak terasa basi):

“What fresh hell is this?” Gansey asked pleasantly.

“Did you get Mom a birthday present?” Helen asked.
“Yes,” Gansey replied. “Myself.”
Helen said, “The gift that keeps on giving.”

Roman demanded, “Saw him where?”
“While I was sitting outside with one of my half aunts.”
This seemed to satisfy Ronan as well, because he asked, “What’s the other half of her?”

“Out of the blue?” Calla asked.
“I’d prefer if you didn’t use that expression,” Blue said.
“Out of nowhere?” Calla repeated.

“… And they aren’t cardboard. They’re repurposed canvas.”
“The environment breathes a sigh of relief.”


Begitulah. Saya rasa membaca ulang seri ini adalah keputusan yang tepat karena saya selalu butuh fiksi buat selingan kerja. Semoga saya siap buat menghadapi kenangan-kenangan yang datang bersamaan dengan nostalgia cerita Blue dan kawan-kawan, terutama di buku ketiga dan keempatnya nanti.

1 comment:

  1. Saya juga sempat lihat review buku the raven cycle ini. Alur ceritanya cukup menarik, gabungan antara permasalahan dalam dunia magis dan modern, tetapi mungkin ada beberapa adegan cerita yang mungkin kurang cocok dengan kebudayaan dan kepercayaan orang di Indonesia, seperti hubungan antara Adam dan Ronan, tetapi sisa dari buku ini cukup menarik untuk dibaca walau saya agak kesulitan dengan bahasa asing dan saya kurang cocok dengan genre romansa.

    ReplyDelete