Friday 24 January 2020

[Review Buku] My Year of Rest and Relaxation oleh Otessa Moshfegh


Semingguan ini saya nemu buku aneh-aneh deh. Setelah tamat Convenience Store Woman (novel Jepang pendek, habis dalam sekali rebahan), saya memutuskan untuk lanjut ke My Year of Rest and Relaxation yang meskipun sekilas tampak seperti memoar, rupanya adalah sebuah novel juga. Tidak disebutkan sama sekali nama protagonis/narator di novel ini, sehingga saya cukup bingung gimana cara menyebut protagonisnya dalam ulasan ini. Pakai sebutan "narator" saja, ya.

My Year of Rest and Relaxation menceritakan tentang keinginan sang narator untuk melakukan hibernasi selama setahun penuh. Karena dia yatim piatu dan memiliki lingkaran pertemanan yang sangat sempit, tidak ada yang menghalanginya untuk melaksanakan proyek gilanya tersebut. Pertemuannya dengan dr. Tuttle, psikiater kurang laku yang tidak memegang teguh kode etik dokter, memudahkan jalannya untuk mengakses obat-obatan yang ia butuhkan untuk tidur lelap tanpa dicurigai perusahaan asuransi kesehatan ataupun pihak apotek. Sehingga, bring it on, I guess?


Plot dari novel ini tidak ada (atau mungkin ada, tetapi luput untuk saya perhatikan). Beberapa kegiatan narator cenderung repetitif, namun tetap bisa memancing rasa penasaran untuk menamatkannya. Sepertinya bukan spoiler ya untuk menyebutkan bahwa narator ini kerjaannya cuma menyeret diri untuk beli kopi, beli pil, dan mengkonsumi keduanya secara bersamaan (kadang ditambah “bantuan” minuman beralkohol). Kegiatannya ketika sadar? Menonton film sampah sambil merokok. Organ-organ saya (halo ginjal dan hati dan segalanya) ikut linu mengetahui bahwa narator akan melanjutkan kegiatan tersebut selama setahun penuh. Ketika narator mulai melakukan kegiatan-kegiatan aneh di bawah pengaruh Infermiterol, cerita menjadi sedikit menyenangkan untuk ditebak.

Hal paling unik yang membuat novel ini sangat menonjol dibandingkan novel-novel lain adalah sifat dari naratornya, yang sungguh blak-blakan dalam mengutarakan apa yang ia benci. Reva, teman satu-satunya, adalah korban analisis tajamnya. Trevor, kekasih on and off-nya yang brengsek, juga kena. Kadang kita juga diajak flashback ke kehidupan narator ketika orangtuanya masih hidup, sehingga lama-kelamaan kita menjadi paham tentang alasan narator ingin menjalani sebuah proses hibernasi yang panjang. Masalahnya adalah, sang narator menjelaskan itu semua ke kita dalam kondisi di bawah pengaruh obat-obatan dengan dosis tinggi dan dalam kombinasi yang sangat banyak, sehingga menurut saya apa yang ia katakan tidak begitu bisa diandalkan. Apakah kenyataannya seperti itu? Atau itu semua hanya rekaan imajinasinya? Saya nggak paham. Yang jelas, gaya penulisan yang dipakai berhasil menciptakan nuansa hazy yang mendukung ketidaksadaran 100% dari sang narator. 

Bagi saya, novel ini adalah gambaran betapa besar peran privilege dalam menyetir hidupmu. Kecantikan narator mampu membuatnya mendapatkan pekerjaan on the spot di galeri seni; kekayaan yang diwariskan orang tuanya mampu menghidupi pilihan-pilihan hidup nyelenehnya hingga saat ini. Ia sangat sadar akan kondisi yang membuatnya didekati Reva dan Trevor, namun tetap mempersilahkan mereka masuk ke hidupnya dan “mengganggunya”. Biasanya jika saya bertemu dengan cerita semacam ini, saya bakal menganalisis apa penyebab sang protagonis bisa bertingkah seperti demikian, namun khusus bagi narator novel ini, saya seperti “memisah” darinya. Tidak ada simpati ataupun empati, saya murni tidak cukup invested pada kehidupannya. Saya merasa, narator cukup mampu untuk menganalisis penyebab dan penyelesaian masalah hidupnya (yang dieksekusi secara mengejutkan di sepertiga akhir novel). Tugas saya cuma menjadi salah satu saksi kisah hidupnya untuk kemudian menutup buku ini sambil berkata…..oh, orang seperti ini tuh ada, toh. (It's a joke, everyone. She's not real; she's just a fictional character).

No comments:

Post a Comment