Thursday 29 November 2018

Artikel The Economist: "Why Suicide is Falling Around the World."—So What Gitu, Loh?

Setelah membaca buku Factfulness, saya jadi sadar kalau selama ini, kita selalu dicecoki oleh pemberitaan yang cenderung negatif, menjelekkan pemerintah, atau tidak mendidik. Pada portal berita, misalnya, jurnalis lebih suka mengambil sisi ekstrem yang negatif, karena data historis menunjukkan artikel-artikel itulah yang sering dibuka oleh pembaca. Hal ini juga bisa kita lihat pada fenomena tayangan TV tidak mendidik yang berisik dan haha-hihi, malah yang sering memuncaki rating TV nasional. Oleh karena itu, pemberitaan The Economist tentang penurunan angka bunuh diri global benar-benar menggugah perhatian saya karena tidak hanya menyoroti sisi positif dari sebuah fenomena yang kita kurang awas, tetapi juga penyebab-penyebabnya.


Artikel ini berlandaskan pada data yang menyatakan bahwa pada tingkat global, angka bunuh diri menurun sebesar 29% sejak tahun 2000 (Sumber). Catatan penting pada temuan ini adalah penurunannya terjadi pada kelompok-kelompok yang berbeda, di lokasi yang berbeda, serta pada angka yang berbeda pula. Jadi, tidak ada penyebab tunggal mujarab yang bertanggung jawab atas penurunan ini. 

Namun, kita sebenarnya bisa melihat penyebabnya, secara garis besar, pada tiga kelompok yang mengalami penurunan paling signifikan di antara kelompok-kelompok lainnya: kelompok perempuan muda di Tiongkok dan Indiakelompok laki-laki paruh baya di Rusia, dan kelompok lansia di seluruh dunia.

Kenapa perempuan muda di Tiongkok dan India lebih rentan melakukan bunuh diri pada periode sebelum ini? Jawabannya adalah KDRT yang dilakukan suami dan siksaan mertua. Ha ha ha. Dan apa yang menyebabkan penurunan angka bunuh diri mereka? Urbanisasi dan kelonggaran persepsi atas “kebebasan” seorang perempuan. Ketika perempuan-perempuan muda ini keluar dari kampung halamannya (entah untuk sekolah, bekerja, dll), cakrawala mereka menjadi lebih luas. Mereka juga mengenal lebih banyak orang, dan pada akhirnya, memiliki lebih banyak pilihan dalam hal calon pasangan hidup. Saya di sini senang sekali lho pas tahu ketika perempuan bebas memilih pasangan hidup dan kapan mereka harus menikah, mereka bisa lebih bahagia.

Kelompok kedua adalah laki-laki paruh baya di Rusia. Penyebab tingginya angka bunuh diri mereka adalah kondisi ekonomi. Ketika Uni Soviet runtuh dan krisis ekonomi Amerika 2007-2008 terjadi, banyak yang mendadak kehilangan sumber pendapatan. Dan karena para tulang punggung keluarga adalah laki-laki, jadi kelompok yang paling tertekan ya mereka. Apa yang menyebabkan angka bunuh diri mereka turun? Mulai stabilnya ekonomi (khususnya Amerika) dan semakin banyak ketersediaan lapangan kerja. Di sini saya baru sadar kalau angka bunuh diri adalah variabel yang sangat penting untuk dipertimbangkan para pembuat keputusan di pemerintahan. Kalau suatu negara mampu menciptakan lapangan kerja yang mencukupi, mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi warga negaranya…tetapi juga menyelamatkan keluarga (khususnya anak) dari risiko kehilangan tulang punggung keluarga karena bunuh diri.

Tambahan dari penyebab turunnya angka di kelompok ini adalah aturan pemerintah. Contoh yang paling menunjukkan perubahan signifikan adalah aturan pembatasan produksi dan distribusi minuman keras oleh Mikhail Gorbachev (mantan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet). Ketika Uni Soviet hancur, aturan tersebut ikut diabaikan, sehingga angka bunuh diri melonjak tajam. Benar kata Rhoma Irama tentang Mirasantika (miras dan narkotika) ya, sahabat…

Gara-gara kamu orang bisa menjadi gila
Gara-gara kamu orang bisa putus sekolah
Gara-gara kamu orang bisa menjadi edan
Gara-gara kamu orang kehilangan masa depan

(wtf I just researched Rhoma Irama’s song lyric in Google. Such dedication)

Kondisi ekonomi juga menjadi penyebab besarnya angka bunuh diri pada kelompok lansia. Yang menyebabkan penurunan angka bunuh diri pada kelompok ini adalah peningkatan kesejahteraan lansia yang semakin signifikan (Jumlah uang pensiun? Pembentukan mindset pasca pensiun yang bikin mereka tetap bahagia beraktivitas?).

Jadi, apa yang bisa dilakukan?

Hal-hal berikut disarankan The Economist kepada pemerintah untuk mengurangi angka bunuh diri:
- Menciptakan pelatihan-pelatihan pada para pengangguran, sehingga membuat mereka merasa “berguna” dan “mampu.” Mindset seperti itu membuat mereka memiliki semangat hidup dan nggak gampang menyerah.
- Meningkatkan budget asuransi kesehatan, khususnya pada orang-orang tua dan yang lagi sakit. Katanya, ketakutan atas penyakit kronis merupakan salah satu alasan orang-orang suka cari jalan pintas (bunuh diri lebih cepet dan nggak perlu sakit lama-lama—I shivered while typing this).
- Karena bunuh diri terkadang merupakan keinginan impulsif (muncul kurang lebih 2 jam sebelum ybs melakukannya), penanggulangan segera pada korban yang “belum terlambat”—I shivered again—bisa menyelamatkan mereka. Hal ini berdasarkan data yang menyatakan bahwa 94% korban percobaan bunuh diri jembatan Golden Gate yang terselamatkan, tidak melakukan percobaan bunuh diri di tahun-tahun selanjutnya.
- Pemerintah Korea Selatan mencabut ijin edar paraquat (salah satu jenis racun pestisida) di tahun 2011, yang menghasilkan penurunan angka bunuh diri tetapi juga menurunkan output agrikultur mereka. Pembatasan dosis peredaran aspirin dan parasetamol juga secara nyata menurunkan angka bunuh diri. Namun, yang paling penting (di Amerika) sebenarnya adalah larangan untuk memiliki pistol bagi kaum sipil. Tahu sendiri lah, banyak kasus penembakan massal oleh orang-orang yang mentalnya kurang stabil di sana setahunan ini. Oleh karena itu, pemerintah harus waspada sama hal-hal yang biasanya dijadikan akses warganegaranya untuk bunuh diri.

Tambahan nih, saran The Economist bagi media massa:
Kurang-kurangin tuh pemberitaan negatif terutama yang berkaitan sama bunuh diri. Karena, hal kayak begini tuh ternyata “menular” dan “menginspirasi.” Ketika seorang artis pujaan meninggal karena bunuh diri—dan metodenya dipublikasikan secara detail, kemungkinan fans mereka untuk ngikutin ternyata ada lho. 

Terakhir, saran terakhir dari saya sendiri, adalah belajar untuk membagi beban yang kita rasakan, entah ke teman dekat atau ke Tuhan. Memperkuat pondasi agama serta rajin curhat ke orang terdekat mengurangi bias kita dalam melihat masalah, sehingga yang sebelumnya nampak sangat luar biasa besar, menjadi cukup besar namun tetap endurable. Saya sudah membuktikan betapa kuatnya pengaruh “percaya ke Zat yang memiliki kuasa tak terbatas di atas kuasa manusia” dan dukungan orang-orang terdekat ketika mengalami masa-masa kejatuhan besar dalam hidup. It works, ladies and gentlemen. And at the end of your suffering tunnel, you’ll discover people who are supportive to you no matter what and you’ll eliminate those shitty people who only used you and took you for granted. (Saya waktu itu juga sempat baca laporan keuangan BI dan RI, saya bedah sampai mau muntah rasanya, dan menyimpulkan...kalau masalah saya nggak ada apa-apanya dibandingkan masalah yang dihadapi sama negara ini. Mencari pembanding yang lebih "besar" akan mengubah cara kita memandang suatu hal). Intinya, apapun, mau aneh kayak gimana, temukan caramu untuk menghadapi ini.


Overall, saya senang sekali The Economist membahas topik ini secara mendalam. Selain memberitakan proses yang baik, artikel ini bikin saya banyak mikir tentang hal-hal yang luput sebelumnya. Terutama sih soal penyebab dan cara pencegahannya berdasarkan data. Jadi, ke depan para pembuat keputusan bisa fokus bikin aturan yang sudah terbukti berhasil di belahan dunia lain. Semoga lebih banyak ya artikel-artikel macam gini biar pembaca makin cerdas dan kritis.

No comments:

Post a Comment