Di pertengahan tahun 2018, saya memulai suatu proyek rahasia. Sebenarnya proyek ini bukan baru banget, karena beberapa kali sebelumnya sudah pernah saya lakukan—cuma ya memang kurang intens saja hehe. Nama proyeknya adalah “Posting Pencapaian Kamu Hari Ini”. Instagram adalah media yang saya pilih. Makanya, kalau kalian follow akun IG saya, kelihatan kalau saya akhir-akhir ini rajin upload. Tipikal anak yang suka ngebut di akhir deadline.
Monday, 31 December 2018
Friday, 28 December 2018
[Review Singkat] Turtles All the Way Down
Target baca novel tahun ini keteteran banget. Saya cuma sempat baca beberapa. Apa aja-nya sih...saya lupa (RIP akun Goodreads yang nggak pernah diperbarui). Makanya, untuk mengobati rasa bersalah di penghujung tahun ini, kemarin saya baca novelnya John Green yang paling anyar... Turtles All the Way Down (TATWD). Saya sengaja pilih ini karena John Green adalah penulis favorit putri Bill Gates, Phoebe. Novel ini masuk dalam rekomendasi tahunan Bill Gates di websitenya, gatesnotes.com tahun lalu. Dan karena saya sudah bertekad mau mengikuti jejak baca Bill Gates, saya pikir, why not?
"I've read a couple of John's books and enjoyed each one, and his latest is no exception. Turtles All the Way Down tells a story of Aza Holmes, a high school student from Indianapolis. When a local billionaire goes missing and a $100,000 reward is offered for information about his disappearance, she and her best friend decide to track him down."
Lucu mungkin ya bagi Bill Gates membaca buku tentang perasaan anak seorang milyuner yang hidup dalam bayang-bayang identitas ayahnya. Bahkan dia sempat bercanda, "While I hope I'm nothing like the morally bankrupt Russell—he wants to give all of his money to his pet lizard and was under investigation for fraud and bribery—I think my own kids can relate to some of Davis' experiences." Jadi makin semangat deh untuk membaca novel ini; untuk tahu gimana rasanya jadi Phoebe Gates. OK.
Permulaan cerita berjalan mulus. Bahkan saya sempat tertawa berkali-kali. Humor cerdas khas John Green terasa kental sekali dalam tokoh Aza. Tapi, semakin lama, alurnya mulai melambat. Deskripsi John Green tentang OCD yang dialami Aza juga mulai membuat saya nggak nyaman karena? Saya sedikit bisa relate?
Tapi overall, saya cukup menikmati novel ini sebagai selingan segar di antara banyak biografi dan buku psikologi yang saya baca tahun ini. Tidak se-memorable Looking for Alaska, I might say. Cuma saya sangat menghargai karya TATWD lebih pada…novel ini merupakan bukti nyata kesuksesan John Green untuk keluar dari bayang-bayang kespektakuleran The Fault in Our Stars. Terus berkarya, Mr. Green!
Tapi overall, saya cukup menikmati novel ini sebagai selingan segar di antara banyak biografi dan buku psikologi yang saya baca tahun ini. Tidak se-memorable Looking for Alaska, I might say. Cuma saya sangat menghargai karya TATWD lebih pada…novel ini merupakan bukti nyata kesuksesan John Green untuk keluar dari bayang-bayang kespektakuleran The Fault in Our Stars. Terus berkarya, Mr. Green!
Saya membaca novel ini dalam dua format: ebook dan audiobook. Menurut saya narator audiobooknya bagus. Cuma ya nggak yang spektakuler gitu. Kadang saya bosan sama cara dia membawakan cerita. Tapi, karena saya akhir-akhir ini lagi hobi jadi bibik (nyuci piring, ngelap kaca, ngepel), versi audiobook ini sangat membantu saya biar kerjanya nggak sambil bengong. Paling nggak bisa saya kalau otak nganggur. Bisa ngelantur kemana-mana nanti. Jadi ya, saya cukup merekomendasikan versi audiobooknya.
Thursday, 13 December 2018
India dari Sudut Pandang The Economist
Minggu ini saya tergugah dengan salah satu artikel dari The Economist. Dari semua isu penting yang dibahas (Brexit, Presiden Perancis vs Yellow Vest, USA, satelit, dan lain-lain), saya justru penasaran dengan pembahasan singkat tentang masalah yang sedang dialami India.
Ok u got my attention, sir.
Yep, India sedang menderita karena polusi.
Saturday, 1 December 2018
Serba-serbi Teh
“Tea is more delicate than coffee, infinitely more interesting than water, healthier and more subtle than soda. It is the perfect beverage—one that can be drunk frequently and in great quantities with pleasure and without guilt.”
Salah satu teman setia saya ketika membaca buku, menulis jurnal, atau mengerjakan tesis adalah teh. Seringnya kopi sih, tapi saya akan menyeduh teh ketika dosis kopi yang masuk ke badan sudah overload. Teh yang pertama kali saya konsumsi itu suatu merek teh celup punya Bapak yang astaga super sepat dan meninggalkan rasa tidak nyaman di tenggorokan ketika ditelan. Apa yang bisa dinikmati dari minuman seperti ini?
[Spoiler: bukan tehnya yang nggak enak, sayaahh yang bikinnya ngawur]
Namun, pertanyaan besar itulah yang akhirnya membuat saya melakukan riset SUPER MENDALAM tentang teh. Saya baca buku yang khusus membahas teh, nonton video-video di Youtube tentang teh, hingga menumbuhkan kebiasaan untuk berdiri lama sekali di rak bagian teh ketika pergi ke supermarket hanya untuk melihat dan memegang macam-macam teh yang mereka jual. Am I competent or just weird?
Subscribe to:
Posts (Atom)