Friday 28 December 2018

[Review Singkat] Turtles All the Way Down


Target baca novel tahun ini keteteran banget. Saya cuma sempat baca beberapa. Apa aja-nya sih...saya lupa (RIP akun Goodreads yang nggak pernah diperbarui). Makanya, untuk mengobati rasa bersalah di penghujung tahun ini, kemarin saya baca novelnya John Green yang paling anyar... Turtles All the Way Down (TATWD). Saya sengaja pilih ini karena John Green adalah penulis favorit putri Bill Gates, Phoebe. Novel ini masuk dalam rekomendasi tahunan Bill Gates di websitenya, gatesnotes.com tahun lalu. Dan karena saya sudah bertekad mau mengikuti jejak baca Bill Gates, saya pikir, why not

"I've read a couple of John's books and enjoyed each one, and his latest is no exception. Turtles All the Way Down tells a story of Aza Holmes, a high school student from Indianapolis. When a local billionaire goes missing and a $100,000 reward is offered for information about his disappearance, she and her best friend decide to track him down."

Lucu mungkin ya bagi Bill Gates membaca buku tentang perasaan anak seorang milyuner yang hidup dalam bayang-bayang identitas ayahnya. Bahkan dia sempat bercanda, "While I hope I'm nothing like the morally bankrupt Russellhe wants to give all of his money to his pet lizard and was under investigation for fraud and bribery—I think my own kids can relate to some of Davis' experiences." Jadi makin semangat deh untuk membaca novel ini; untuk tahu gimana rasanya jadi Phoebe Gates. OK.

Permulaan cerita berjalan mulus. Bahkan saya sempat tertawa berkali-kali. Humor cerdas khas John Green terasa kental sekali dalam tokoh Aza. Tapi, semakin lama, alurnya mulai melambat. Deskripsi John Green tentang OCD yang dialami Aza juga mulai membuat saya nggak nyaman karena? Saya sedikit bisa relate

Tapi overall, saya cukup menikmati novel ini sebagai selingan segar di antara banyak biografi dan buku psikologi yang saya baca tahun ini. Tidak se-memorable Looking for Alaska, I might say. Cuma saya sangat menghargai karya TATWD lebih pada…novel ini merupakan bukti nyata kesuksesan John Green untuk keluar dari bayang-bayang kespektakuleran The Fault in Our Stars. Terus berkarya, Mr. Green!


Saya membaca novel ini dalam dua format: ebook dan audiobook. Menurut saya narator audiobooknya bagus. Cuma ya nggak yang spektakuler gitu. Kadang saya bosan sama cara dia membawakan cerita. Tapi, karena saya akhir-akhir ini lagi hobi jadi bibik (nyuci piring, ngelap kaca, ngepel), versi audiobook ini sangat membantu saya biar kerjanya nggak sambil bengong. Paling nggak bisa saya kalau otak nganggur. Bisa ngelantur kemana-mana nanti. Jadi ya, saya cukup merekomendasikan versi audiobooknya. 

No comments:

Post a Comment