Thursday 31 January 2019

[Review Buku] The Kiss Quotient oleh Helen Hoang


Sedang cari novel New Adult yang ringan dan menghibur? Saya sarankan untuk baca The Kiss Quotient.

Ini adalah kali kedua saya baca The Kiss Quotient, novel debut Helen Hoang. Oktober lalu, saya memilih novel ini sebagai bacaan hiburan di tengah break tesis. Tapi karena waktu itu saya terlalu tegang buat menunggu follow-up dari informan, pada akhirnya huruf-huruf cuma numpang lewat saja, nggak masuk ke otak. Untuk menebus kesalahan saya, hari ini saya memutuskan untuk membaca ulang novel ini.

Dulu saya memilih untuk baca The Kiss Quotient karena alasan receh: sampulnya mirip dengan The Hating Game yang ditulis oleh Sally Thorne (rekomen juga!). Yang saya suka dari The Kiss Quotient—tanpa mengurangi kesukaan pada The Hating Game, karena memang nggak ada niat untuk membandingkan—adalah fokus penulis pada tokoh protagonis yang memiliki sindrom asperger. Ini lho alasan saya suka baca novel, karena novel yang bagus dapat menyajikan tema yang sebelumnya asing bagi saya dengan cara yang unik dan memikat hingga halaman terakhir, sehingga saya bisa belajar dan refreshing secara bersamaan. Inspirasi untuk menulis kisah yang berkaitan dengan sindrom asperger didapatkan setelah penulis divonis menderita sindrom ini tahun 2016 lalu, membuat saya belajar memahami sindrom asperger dari orang yang merasakannya secara langsung dan bukannya modal sotoy. Selain itu, penulis juga selalu berusaha memasukkan unsur diversifikasi pada tokoh-tokoh yang ditulis, khususnya menekankan representasi orang Vietnam. Helen Hoang, siapapun kamu… aku ngefans!

Asperger syndrome (AS), also known as Asperger's, is a developmental disorder characterized by significant difficulties in social interaction and nonverbal communication, along with restricted and repetitive patterns of behavior and interests. (Wikipedia)

The Kiss Quotient menceritakan tentang Stella Lane, seorang ahli ekonometrika penderita sindrom asperger yang bekerja di perusahaan belanja online. Tugas utama Stella adalah menciptakan formula tentang pola belanja konsumen menggunakan statistika dan kalkulus, sehingga perusahaan nantinya bisa mengirimkan email berisi produk rekomendasi yang sesuai berdasarkan histori pembeliannya. Pekerjaan ini menantang, butuh konsentrasi penuh, dan tidak mengharuskan dia berinteraksi dengan banyak orang. Benar-benar Stella banget, pokoknya. Gaji besar? Check. Jenjang karir?Check. Lingkungan kerja damai? Check.

Namun, sifat antisosial Stella mulai meresahkan orang tuanya. Mengingat Stella adalah anak tunggal dan memasuki usia kepala tiga, mereka mulai mendesak dia untuk lebih berusaha membuka diri. Apalagi sejak Stella menolak kesempatan promosi yang ditawarkan bosnya dengan alasan nggak siap membawahi 5 anak buah…semakin menjadi-jadi deh tingkah ibunya. Mungkin karena Stella adalah good girl at heart, pada akhirnya dia berusaha belajar memperbaiki kemampuan membangun hubungan dengan cara……….menyewa escort.

"I'm awful at...what you do. But I want to get better. I think I can get better if someone would teach me. I'd like that person to be you."

The Kiss Quotient pada dasarnya adalah Pretty Woman dengan peran yang ditukarEscort pilihan Stella, Michael Phan, adalah penyejuk novel ini. LOL. Lama nggak baca novel, saya langsung disuguhin manusia macam Michael. Lemme tell ya why I love him:

Pertama, Michael sangat menghargai consent. Michael dapat membuat Stella merasa nyaman berinteraksi dengannya karena dia selalu memastikan Stella setuju untuk melakukan sesuatu sebelum benar-benar melakukannya. Michael juga selalu memperhatikan raut muka Stella sebelum mengambil suatu tindakan. Yang paling penting, Michael tidak pernah memaksa ketika Stella tidak siap dan langsung memutar otak biar Stella bisa nyaman kembali. No is a "no", guys. Not "try harder".

Kedua, Michael sangat bangga dengan kepintaran dan kesuksesan Stella. This by far is the time when I think he's at his sexiest:

"Why couldn't you be a doctor, then, E?" his mom asked as she peeled her tenth mango. "All I wanted was a doctor in the family, and not one of you could do that for me."
"Stella's a doctor," Michael said with a grin.
Her eyes rounded into giant buttons. "No, I'm not."
"Yes, you are. You have a PhD. That makes you a doctor. And you went to the University of Chicago, the best school for economies in the U.S, probably the world. You graduated magna cum laude."

Ketiga, Michael sayang keluarga dan bertanggung jawab. Kalian bakal tahu perjuangan dia ketika baca novel ini.

Keempat, penulis sejak awal sudah menyebutkan kalau Michael ini mirip sama artis Korea Danniel Henney. Fondasi kuat macam gini bikin pembaca mudah membayangkan dia. Mudah naksir juga.


Tetapi Michael tetap merupakan tokoh yang manusiawi di mata saya sebagai pembaca, terutama ketika dia berkali-kali mengungkapkan perasaan insecure atas masa lalunya. Sekali dua kali saya maklum. Lah, ini….lima juta kali ya mungkin doi meratapi fakta kalau gara-gara kelakuan bapaknya, doi jadi nggak pantas bersatu sama Stella. Michael, my dear… kamu kok jadi nggak begitu cakep lagi kalau ngeluh gitu terus.


Sedangkan Stella…. Saya jujur suka sekali sama semangat dia dalam bekerja. Nggak pernah sekalipun dia mengeluh meskipun akhir minggu harus dihabiskan di kantor. Dia sadar itu keputusan yang dia buat dengan sukarela. Senang rasanya membaca sebuah cerita dimana seorang perempuan karir begitu berdedikasi terhadap pilihan pekerjaan yang dia pilih dan nggak bergantung sepenuhnya pada laki-laki. Terus, dia nggak mengeluh berkepanjangan tentang asperger yang dialami. Justru dengan segala sumber daya dan keyakinan yang dia punya, dia bersedia untuk memperbaiki kemampuan sosialnya dari orang lain yang ahli. Dia selalu mendengar, dan kalau salah, dia nggak ragu buat minta maaf dan tanya gimana cara yang benar. Mempelajari sindrom asperger dari sudut pandang Stella Lane jadi lebih menyenangkan di mata saya.

“If you can't stand being with a woman who's more successful than you, then leave her alone. She's better off without you. If you actually love her, then know the value of that love and make it a promise. That is the only thing she needs from you.”

Novel ini mengajarkan pada saya pentingnya membangun hubungan melalui consent dan saling memahami kondisi satu sama lain. Menurut saya ini penting, karena penjelasan macam gini kadang masih tabu untuk dibicarakan. Bagaimana seharusnya kita diperlakukan oleh pasangan, bagaimana cara kita membalasnya, apa yang terjadi kalau pasangan memaksa... penting untuk dijadikan pegangan. Harus ada garis batas jelas yang nggak boleh dilewati, karena yang namanya hubungan itu tentang dua pihak. Kalau yang satu dirugikan, takutnya makin menjadi ketika hubungannya semakin serius.


Setahu saya novel ini belum diterjemahkan sama penerbit Indonesia. Kalaupun diterjemahkan, kayaknya bakal masuk kategori 21+ deh, karena banyak adegan steamy spesifik yang bikin kipas-kipas. Tapi eksekusinya bagus, bikin chemistry antara Stella dan Michael terjalin dengan kuat. Oh ya, ketika tadi saya update status baca di Goodreads, baru ngeh lho kalau The Kiss Quotient ini adalah serial. Jadi, kemungkinan kita bakal bisa baca kelanjutan kisah Stella dan Michael! Dan Mei tahun ini, novel lain dari Helen Hoang akan diterbitkan. Judulnya The Bride Test, merepresentasikan orang Vietnam juga. YASSS gimme!

No comments:

Post a Comment