Saturday 27 July 2019

The Deckled Edges, Pahami Dulu Sebelum Komplain

Masih ingat ketika saya bilang lagi baca Upheaval? Sebenarnya ada kisah yang cukup memalukan di balik pengalaman saya beli buku tersebut.

Seperti biasa, saya beli Upheaval di website Periplus.com. Waktu itu, bukunya lagi didiskon lumayan banyak sehingga saya bisa memprioritaskannya sebagai buku yang akan dibeli di Bulan Juni. Statusnya juga in stock (dalam artian, sudah tersedia di gudang mereka di Indonesia), jadi saya cuma perlu menunggu waktu kirim dari kurir SAP saja. Namun, ketika saya menerima paket tersebut dan membukanya, ada hal yang tidak biasa.


Kondisi halaman yang tidak rata adalah hal yang pertama saya sadari ketika membuka kardus dan segel Upheaval. Dengan perasaan malu saya mengakui kalau reaksi yang saya berikan, tanpa filter, adalah: (1) jengkel, (2) ambil foto kondisi buku dari SEMUA sisi, dan (3) mengadu ke Periplus. Maklum, jiwa perfeksionis saya langsung risih melihat keadaan buku yang nggak rata terlebih ketika tahu sampulnya yang bagian bawah seperti tercakar. Saat itu saya mengirim email ke CS-nya, yang hingga beberapa hari kemudian tidak dibalas. Besoknya, saya terinspirasi buat follow up ke room-chat di website mereka—yang selalu kedap-kedip dan cukup mengganggu kalau lagi buka jendela selancar lain itu, lho—dan untungnya langsung dibalas. CS yang saat itu diteruskan ke saya dengan sabar menjelaskan kalau buku saya tidak cacat (sayangnya saya tidak sempat mengambil tangkapan layar dan akhirnya otomatis ter-log out dari percakapan ketika jendela Periplus.com saya tutup).

Yang bisa saya simpulkan dari percakapan saya sama CS Periplus adalah kondisi buku yang saya terima adalah sebuah tren yang sedang marak diikuti oleh penerbit-penerbit besar luar negeri, the deckled edges. Mereka ingin mereplikasi kondisi-kondisi buku jaman dulu, ketika mesin dan teknologi penerbitan belum canggih sehingga mengharuskan pembeli buku untuk mengiris tiap pasangan halaman secara manual menggunakan pisau seiring perjalanan membaca mereka. Saya langsung membayangkan seorang lord duduk di kursi mewah ruang membaca miliknya, dengan buku di atas meja kayu jati megah, serius menyerap tiap ilmu di tiap halaman sambil sesekali… mengiris lembaran pakai pisau khusus. Karena diiris dengan pisau itulah, hasil akhir ketika buku dibaca cenderung tidak rata. 

Jadi, ini adalah keputusan desain dengan tujuan aesthetic dan sentimental. Agak berani juga, mengingat terdapat kelompok pembaca buku yang sangat protektif terhadap kondisi buku yang mereka miliki (masih ingat drama tentang melipat ujung halaman sebagai penanda vs memakai pembatas buku?). Saya untungnya masuk ke kelompok yang tidak begitu protektif berkat kegiatan menganotasi buku yang sudah dua tahunan ini saya lakukan; secara teknis, menganotasi membuat buku yang saya punya rusak. Tetapi, saya kadang lupa kalau jiwa pembaca saya sebelum masa-masa anotasi adalah jiwa yang SANGAT protektif terhadap buku. Saya bahkan sempat marah ke teman yang mengembalikan Perahu Kertas dalam keadaan lecek seperti habis tenggelam di kubangan. Mungkin, jiwa perfeksionis masa lalu itulah penyebab reaksi dadakan grusa-grusu saya ke CS Periplus (saya harap saya sudah minta maaf ke CS mereka, beneran lupa karena histori chat hilang). Tapi setelah paham kondisinya, saya langsung santai kok. Batal ke fotokopian juga, buat minta bantu potongin gradakannya pake mesin mereka. ALL IS WELL, EVERYBODY. I CAN PEACEFULLY STAY AT HOME WITHOUT FUMING AT MY BOOKSELLER.



Ketika saya melihat ulasan buku website Amazon pun banyak yang “terbakar” macam saya kemarin. Bahkan, beberapa konsumen beneran sampai menukar buku yang mereka beli karena dikira dapat produk cacat. Tentunya, pengganti yang mereka dapat punya kondisi yang sama-sama gradakan. Hal tersebut membuat mereka-mereka yang masih belum mengerti mengurangi penilaian bintang ulasan Amazon, suatu hal yang merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah pada proses rantai pasokan. Ini menunjukkan bahwa penerbit-penerbit tersebut gagal memberikan edukasi—atau setidaknya pemberitahuan—bagi konsumen mereka ketika meluncurkan inovasi baru. Padahal, inovasi dan edukasi konsumen adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Hal inilah yang sebenarnya mendorong saya untuk menulis postingan ini; saya mau mencegah kalian-kalian untuk nggak langsung marah ke penjual (yang mungkin nggak bersalah sama sekali) dan mencoba mengapresiasi buku yang sudah ada di tangan kalian. Atau, untuk ikhlas pergi ke fotokopian dan merapikan jilidnya sendiri kalau memang dirasa terlalu mendistraksi kegiatan membaca kalian.

Dari kejadian ini, saya merasa berterima kasih sama Periplus karena sudah sabar menghadapi komplain saya. Saya juga jadi dapat ilmu baru, kan? Ke depan, saya tentu bakal lebih santai dan riset kecil-kecilan ke google dulu sebelum berasumsi yang aneh-aneh.

No comments:

Post a Comment