Monday 29 July 2019

[Review Buku] 1Q84 oleh Haruki Murakami


Di waktu istirahat kerja, saya membaca 1Q84 sebagai selingan dan hiburan. Tidak disangka, saya bisa menamatkan raksasa setebal 1.184 halaman ini. Lebih tidak disangka lagi, saya bisa meluangkan waktu untuk menulis ulasannya. 

1Q84 adalah novel kedua Haruki Murakami yang saya baca setelah Norwegian Wood. Tema yang dipakai adalah Magical Realism, dimana Q pada judul merupakan istilah pembeda yang disematkan sang tokoh utama untuk melabeli dunia aneh yang tidak sengaja dimasukinya: dunia dengan dua buah bulan dan bayang-bayang ancaman The Little People pembuat air chrysalis. Q pada judul juga membedakan novel ini dengan masterpiece George Orwell, 1984, yang tentu sudah memiliki penggemar fanatiknya sendiri.

Novel tebal ini dibagi menjadi 3 buku; terjemahan Indonesia memisahkan tiap bagian dalam 3 buku yang berbeda, sedangkan edisi Bahasa Inggris yang saya baca menggabungkan ketiganya dalam satu buah buku yang berat. Layaknya karya Murakami lainnya, versi Bahasa Inggris diterjemahkan oleh Jay Rubin (buku 1 & 2) dan Philip Gabriel (buku 3). Saya sudah pernah baca terjemahan Jay Rubin di Norwegian Wood dan terjemahan Philip Gabriel di What I Talk About When I Talk About Running, sehingga ekspektasi saya sama peralihan bahasa di 1Q84 cukup besar. 

Fakta mengejutkan yang saya temukan adalah Jay Rubin dan Philip Gabriel menerjemahkan jatah mereka secara mandiri (tidak pakai acara kerja kelompok). Entah karena mereka sudah paham sama gaya Murakami atau karena peran editor yang kerja keras bagai kuda ya, hasil terjemahan keduanya bisa menyatu dengan baik tanpa terlihat terlalu berbeda. Meskipun harus saya akui bagian milik Philip Gabriel sedikit lebih bagus sih, lebih mengalun. Hasil terjemahan Jay Rubin ketika dibaca agak kaku dan kurang bisa menyampaikan unsur magis khas Murakami ke pembaca (saya membandingkan hasil karya dia di sini sama di Norwegian Wood yang menurut saya sangat breath-taking in a way that brings a sense of calmness for the reader). Ada dua kemungkinan hal ini bisa terjadi: (a) Murakami sendiri yang memilih gaya menulis yang berbeda atau (b) gaya menerjemahkan Jay Rubin yang berubah. Apapun itu, saya rasa sangat disayangkan ini terjadi, terutama ketika porsi beliau lebih besar dan tema novelnya memang sengaja ingin melenceng dari realita kehidupan kita. 

Untuk cerita sendiri, saya nggak ingin terlalu mengkritisinya karena novel ini saya baca untuk menghibur diri daripada bengong. Nah, apakah cukup menghibur? Hmm, lumayan adalah jawaban yang paling tepat. Ide ceritanya bagus, tetapi eksekusinya terasa terlalu dipanjang-panjangkan di beberapa titik dan kurang ngegas di titik-titik lainnya. Pertemuan Aomame dan Tengo, misalnya, diulur oleh Murakami macam petualangan Hachi si anak lebah yang ingin bertemu ibunya; alias cerita sudah hampir tamat tapi kok tidak ketemu-ketemu juga. Gumash sendiri saya bacanya. Di sisi lain, penceritaan The Little People hanya muncul sekelebat. The Little People jadi terkesan seperti tokoh yang tidak penting, karena jika mereka dihilangkan (atau diganti sebagai tokoh yang tidak nampak tapi punya kekuatan gaib), sebenarnya tidak bakal ada perbedaan besar dari segi plot. Padahal mereka harusnya jadi poin penting di novel ini, kan? Oleh karena itu, saya rasa novel ini cukup menghibur tapi tidak bisa memaksimalkan potensi ide ceritanya yang sangat menjanjikan.

Untuk karakternya sendiri, Haruki Murakami bisa dibilang punya bakat untuk menciptakan karakter-karakter yang nggak saya suka. Sama kasusnya dengan Toru dan Naoko di Norwegian Wood, saya NGGAK PEDULI sama Aomame dan Tengo. Sangat sulit untuk menikmati jalannya cerita ketika saya nggak bisa bersimpati sama karakter-karakter utama. Setidaknya di Norwegian Wood, saya terhibur dengan deskripsi latar Murakami yang membius—membuat saya seolah-olah masuk ke dalam cerita dan ikut menikmati pergantian musim yang dialami tokoh. Karena 1Q84 lemah dalam hal deskripsi dan urusan bius-membius ini, saya jadi masa bodoh sama tindakan-tindakan mereka. Err, ada dua pengecualian, ding. Yang pertama adalah makanan sederhana yang disiapkan Tengo, bikin saya tertarik buat ganti menu sehari-hari (sayur dan telur rebus? Sesekali protein yang dimasak dengan bumbu utama kecap asin? Kayaknya bisa jadi angin segar di tengah-tengah bombardir aneka gorengan yang saya konsumsi selama beberapa hari terakhir). Yang kedua adalah tokoh Mr. Ushikawa, satu dari segelintir tokoh yang punya ambisi dan karakteristik menonjol di novel ini. Selain itu sih, rasanya ingin cepat-cepat menamatkan biar bisa tahu akhirnya gimana dan move on ke buku lain. AND DON’T LET ME START WITH THE FAITHFUL LOVE BETWEEN AOMAME AND TENGO THAT’S BEEN STEADILY FLOURISHING FOR MORE THAN 20 YEARS SKSDJSKFHFK SO SILLY AND UNREALISTIC

“In this world, there is no absolute good, no absolute evil,” the man said. “Good and evil are not fixed, stable entities but are continually trading places. A good may be transformed into an evil in the next second. And vice versa. Such was the way of the world that Dostoevsky depicted in The Brothers Karamazov. The most important thing is to maintain the balance between the constantly moving good and evil. If you lean too much in either direction, it becomes difficult to maintain actual morals. Indeed, balance itself is the good. This is what I mean when I say that I must die in order to keep things in balance.”

Begitulah kesan saya soal 1Q84. Novel ini bukan tipe yang menyenangkan untuk dibaca ulang; sekali saja cukup, itupun saya merasa capeeek sekali pas baca bab-bab terakhirnya. Mungkin saya sudah sepuh dan nggak bisa menikmati buku-buku raksasa lagi kali, ya. Tamat ini pun saya sampai harus melakukan kegiatan pemulihan sehari penuh. Buku selanjutnya sepertinya bakal yang tipis dan enteng buat dipahami saja. 

No comments:

Post a Comment