Second Chance Summer
by Morgan Matson
468 halaman,
Young Adult/ Contemporary Romance
Rating:
Dipublikasikan 7
Mei 2013 oleh Simon & Schuster
“Hi, kid,” he said. “What’s the news?”
Setiap dihadapkan pada situasi
yang sulit, hal pertama yang dilakukan oleh Taylor Edwards adalah kabur.
Harfiah. Begitu seringnya hal ini terjadi sehingga ibunya tidak perlu merasa
repot untuk panik. Namun ayahnya tahu kapan harus menjemput Taylor, lalu mengajaknya
membeli es krim dan membicarakan masalahnya. Hal itu selalu menjadi rahasia
kecil mereka.
Keluarga Edwards memang bukan
tipe yang selalu dekat dan hangat, dan mereka pun terlalu sibuk dengan urusan
masing-masing sehingga jarang menghabiskan waktu bersama. Maka dari itu,
ketika ayah Taylor didiagnosis menderita kanker pankreas stadium empat dan
memiliki permintaan untuk menghabiskan musim panas terakhir bersama keluarganya
di Lake Phoenix, Taylor tahu kabur bukanlah jalan terbaik untuk menghadapi
semua ini.
It wasn’t until now, when every day I had with my father was suddenly
numbered, that I realized just how precious they had been. A thousand moments
that I had just taken for granted—mostly because I assumed that there would be
a thousand more.
Lima tahun mencoba kabur dari
Lake Phoenix dan segala masalah yang belum terselesaikan, mau tak mau Taylor
harus menghadapi konsekuensi dari tindakan cerobohnya dahulu. Di samping
mendampingi ayahnya (yang masih sibuk bekerja dengan semua kiriman paket rutin
dari kantornya), Taylor berusaha membangun kembali hubungan yang retak dengan
sahabatnya Lucy, dan mantan pacarnya ketika berumur dua belas tahun, Henry—yang
bisa dikatakan tidak menyambut kedatangan Taylor dengan antusias.
Mungkin yang saya suka dari novel
ini adalah bahwa Taylor tidak sibuk bermuram durja terhadap cobaan yang sedang
dihadapi keluarganya. Waktu yang mereka miliki terbatas, jadi mereka berusaha
untuk membuat setiap detiknya berharga. Tidak melulu nempel ke sang ayah,
Taylor pun menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki kesalahannya lima tahun
lalu satu per satu, membantu kakaknya yang super brainiac yang lagi naksir cewek
untuk pertama kalinya, mengajarkan pada adiknya pentingnya punya sahabat, dan
lebih mendekatkan diri dengan ibunya. Lama-kelamaan dia tersadar bahwa musibah
yang menimpa keluarganya ini justru mampu untuk membuat mereka semua kembali
akrab dan bertingkah seperti layaknya keluarga, saling menopang satu sama lain.
I kept thinking back to all those nights in Connecticut, when I was out the
door as soon as dinner was over, yelling my plans behind me as I headed to my
car, ready for my real night—my time with my family just something to get
through as quickly as possible. And now that the time we had together was
limited, I was holding on to it, trying to stretch it out, all the while
wishing I’d appreciated what I’d had earlier.
Saking menikmati cerita dan momen
family-bonding mereka, saya sampe
nggak begitu ambil pusing sama masalah Taylor dan Henry. Ya, ya, Henry memang memiliki
porsi yang cukup besar di novel ini, tapi bagi saya dia cuma pelengkap saja. Pemanis
buat unsur cinta di novel YA. Yah walaupun saya akui sebagai cowok dia cukup swoon-worthy
dan boyfriend material (HELL YEAH HE’S MY BOYFRIEND MATERIAL!!!), saya lebih
terfokus dengan hubungan Taylor dengan keluarga dan sahabatnya. Because when
life is getting tough,
you can’t just thinking about all luuuuuuv.
Satu yang saya nggak suka sama novel ini adalah tingkah
Morgan Matson yang mengulur-ulur informasi tentang apa yang terjadi lima tahun
lalu. Uuuughhh ganggu banget
deh pokoknya. Selain itu? Sempurna.
Morgan Matson berhasil membuat novel yang begitu lengkap namun kompleks. I can’t
even….
Jujur saja, membaca (dan
menamatkan) novel ini merupakan hal yang sulit bagi saya. Ada saat-saat ketika
situasi terasa begitu berat, sehingga memaksa saya untuk berhenti selama
beberapa hari untuk kembali ke realita. Saya benar-benar menikmati dan menghayati
setiap kejadian yang ada di novel ini—dan ini bukan sesuatu yang sering terjadi
terlepas dari banyaknya novel yang saya baca—sehingga takut rasanya untuk
mencapai halaman akhir. Keluarga yang mencoba tabah untuk sang ayah, dan sang
ayah yang mencoba kuat demi menenangkan hati orang-orang terkasihnya. Semua kepura-puraan
ini terlalu berat untuk saya terima karena saya tahu, seiring waktu mereka
harus semakin berusaha. Lebih
berpura-pura antar satu sama lain.
Membaca Second Chance Summer bagi
saya seperti mengembalikan kepercayaan kepada Morgan Matson setelah sebelumnya
kecewa berat dengan Since You’ve Been
Gone. Amy and Roger’s Epic Detour
memang istimewa, tapi Second Chance Summer-lah yang benar-benar berhasil
memenangkan hati saya.
Serius deh, saya benar-benar merekomendasikan novel ini.
Karya lain Morgan
Matson:
Since You’ve Been Gone:
Amy and Roger’s Epic Detour: