Thursday, 19 February 2015

[Book Review] Second Chance Summer by Morgan Matson

Second Chance Summer
by Morgan Matson
468 halaman, Young Adult/ Contemporary Romance
Rating:  image 
Dipublikasikan 7 Mei 2013 oleh Simon & Schuster

“Hi, kid,” he said. “What’s the news?” 

Setiap dihadapkan pada situasi yang sulit, hal pertama yang dilakukan oleh Taylor Edwards adalah kabur. Harfiah. Begitu seringnya hal ini terjadi sehingga ibunya tidak perlu merasa repot untuk panik. Namun ayahnya tahu kapan harus menjemput Taylor, lalu mengajaknya membeli es krim dan membicarakan masalahnya. Hal itu selalu menjadi rahasia kecil mereka.


Keluarga Edwards memang bukan tipe yang selalu dekat dan hangat, dan mereka pun terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sehingga jarang menghabiskan waktu bersama. Maka dari itu, ketika ayah Taylor didiagnosis menderita kanker pankreas stadium empat dan memiliki permintaan untuk menghabiskan musim panas terakhir bersama keluarganya di Lake Phoenix, Taylor tahu kabur bukanlah jalan terbaik untuk menghadapi semua ini.

It wasn’t until now, when every day I had with my father was suddenly numbered, that I realized just how precious they had been. A thousand moments that I had just taken for granted—mostly because I assumed that there would be a thousand more.

Lima tahun mencoba kabur dari Lake Phoenix dan segala masalah yang belum terselesaikan, mau tak mau Taylor harus menghadapi konsekuensi dari tindakan cerobohnya dahulu. Di samping mendampingi ayahnya (yang masih sibuk bekerja dengan semua kiriman paket rutin dari kantornya), Taylor berusaha membangun kembali hubungan yang retak dengan sahabatnya Lucy, dan mantan pacarnya ketika berumur dua belas tahun, Henry—yang bisa dikatakan tidak menyambut kedatangan Taylor dengan antusias.


Mungkin yang saya suka dari novel ini adalah bahwa Taylor tidak sibuk bermuram durja terhadap cobaan yang sedang dihadapi keluarganya. Waktu yang mereka miliki terbatas, jadi mereka berusaha untuk membuat setiap detiknya berharga. Tidak melulu nempel ke sang ayah, Taylor pun menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki kesalahannya lima tahun lalu satu per satu, membantu kakaknya yang super brainiac yang lagi naksir cewek untuk pertama kalinya, mengajarkan pada adiknya pentingnya punya sahabat, dan lebih mendekatkan diri dengan ibunya. Lama-kelamaan dia tersadar bahwa musibah yang menimpa keluarganya ini justru mampu untuk membuat mereka semua kembali akrab dan bertingkah seperti layaknya keluarga, saling menopang satu sama lain.

I kept thinking back to all those nights in Connecticut, when I was out the door as soon as dinner was over, yelling my plans behind me as I headed to my car, ready for my real night—my time with my family just something to get through as quickly as possible. And now that the time we had together was limited, I was holding on to it, trying to stretch it out, all the while wishing I’d appreciated what I’d had earlier.

Saking menikmati cerita dan momen family-bonding mereka, saya sampe nggak begitu ambil pusing sama masalah Taylor dan Henry. Ya, ya, Henry memang memiliki porsi yang cukup besar di novel ini, tapi bagi saya dia cuma pelengkap saja. Pemanis buat unsur cinta di novel YA. Yah walaupun saya akui sebagai cowok dia cukup swoon-worthy dan boyfriend material (HELL YEAH HE’S MY BOYFRIEND MATERIAL!!!), saya lebih terfokus dengan hubungan Taylor dengan keluarga dan sahabatnya. Because when life is getting tough, you can’t just thinking about all luuuuuuv.

Satu yang saya nggak suka sama novel ini adalah tingkah Morgan Matson yang mengulur-ulur informasi tentang apa yang terjadi lima tahun lalu. Uuuughhh ganggu banget deh pokoknya. Selain itu? Sempurna. Morgan Matson berhasil membuat novel yang begitu lengkap namun kompleks. I can’t even….

Jujur saja, membaca (dan menamatkan) novel ini merupakan hal yang sulit bagi saya. Ada saat-saat ketika situasi terasa begitu berat, sehingga memaksa saya untuk berhenti selama beberapa hari untuk kembali ke realita. Saya benar-benar menikmati dan menghayati setiap kejadian yang ada di novel ini—dan ini bukan sesuatu yang sering terjadi terlepas dari banyaknya novel yang saya baca—sehingga takut rasanya untuk mencapai halaman akhir. Keluarga yang mencoba tabah untuk sang ayah, dan sang ayah yang mencoba kuat demi menenangkan hati orang-orang terkasihnya. Semua kepura-puraan ini terlalu berat untuk saya terima karena saya tahu, seiring waktu mereka harus semakin berusaha. Lebih berpura-pura antar satu sama lain.

Membaca Second Chance Summer bagi saya seperti mengembalikan kepercayaan kepada Morgan Matson setelah sebelumnya kecewa berat dengan Since You’ve Been Gone. Amy and Roger’s Epic Detour memang istimewa, tapi Second Chance Summer-lah yang benar-benar berhasil memenangkan hati saya.

Serius deh, saya benar-benar merekomendasikan novel ini.

Karya lain Morgan Matson:


Since You’ve Been Gone: 
Amy and Roger’s Epic Detour:  image

No comments:

Post a Comment