Wednesday 3 May 2017

Review Buku Pertama Saya Sejak Hiatus: Holding Up the Universe

Dua tahun lalu saya membaca sebuah novel bertema mental health+suicide dan novel tersebut mengubah cara saya memandang dunia ini. Penulisnya saat itu masih terasa asing, walaupun demikian kata-kata yang ia tulis sangatlah indah dan tragis dan lucu. Pokoknya semua perasaan campur aduk jadi satu ketika membacanya. Saya pun merasakan keterikatan yang amat sangat kepada kedua tokohnya, terutama si tokoh laki-laki, walaupun saya tidak menderita penyakit mental yang sama dengannya.

Sudah tahu novel apa yang saya maksud? (gambar di sebelah gede banget yak)

Novel fenomenal tersebut adalah All the Bright Places (ATBP), karya Jennifer Niven. Pasti beberapa dari kalian sudah tidak asing lagi ya. Atau mungkin sudah pada membacanya, karena sejak terbit novel ini udah booming banget dan menjadi PENGHANCUR HATI PARA PEMBACANYA UHUK!!!


Menyusul kesuksesan ATBP, Jennifer Niven kemudian menulis novel YA keduanya yang diberi judul Holding Up the Universe (HUTE). Sejak sinopsisnya diterbitkan, sudah muncul banyak pro-kontra mengenai konten yang ada di dalamnya (padahal baca isinya juga belom ya jeng, udah main tuduh aja). Jennifer Niven mengambil tema yang sensitif bagi calon pembacanya, katanya. Tidak seharusnya ia mengambil tema mengenai remaja yang overweight sampai rumahnya harus dijebol oleh tim medis untuk mengeluarkannya, katanya. Tidak boleh meromantisasi kisah yang berhubungan dengan berat badan dan prosopagnosia, katanya. Blah blah blahh. Pro kontra ini terbilang wajar, karena remaja Amerika memang terkenal akan kekritisan mereka. Apalagi kalau menyangkut novel bertema berat yang berpotensi memengaruhi cara pandang khalayak banyak di seluruh dunia, mereka bakal lebih kritis dan persuasif dari para politikus. And don’t even start with feminism topic!

Lalu, seperti apakah kesan saya (remaja biasa yang tidak kritis apalagi persuasif) terhadap HUTE?

Pendapat Singkat Mengenai HUTE
Jujur, HUTE ini tidaklah sebagus ATBP. Mungkin karena tidak ada unsur kejutan mengenai kualitas penulisannya. Sejak awal, saya sudah berekspektasi bahwa Jennifer Niven akan memberikan karya yang bagus, dengan cara penulisan yang sudah cocok banget bagi selera saya. Jadi, ya, ekspektasi saya terpenuhi. Bagus deh. Tapi ya nggak ada perasaan I didn’t see it coming (in a good way) gitu. Terlebih karena saya sudah punya pembanding, yaitu ATBP, novel HUTE ini jadi terkesan lebih datar (saya tidak bilang novel ini jelek lho ya!)

Tokoh dan Cerita 
Poin ini juga membuat HUTE berada di bawah ATBP. Tidak seperti Violet-Finch yang memang sudah seperti jodoh dari langit, saya kesulitan membangun hubungan dengan Libby-Jack. Mungkin saya cukup terganggu dengan tingkah Libby yang kelewat sok, atau Jack yang juga nggak kalau douche. Karena sejak awal saya tidak respect sama keduanya itulah, jadi ya detail cerita tidak saya pelototin sebegitunya. Saya cukup tahu novel ini menceritakan apa, tetapi ketika harus menceritakan ulang secara runtut? Nope, blank.

Self-love, Mental Health, dan Bullying
HUTE membawa pesan yang sangat kuat dan beragam, terutama karena kedua tokoh utamanya memiliki masalah yang cukup pelik. Libby yang mengalami depresi berat ketika ibunya meninggal melakukan coping dengan makan apapun di hadapannya, hingga ia dijuluki sebagai Remaja Tergemuk di Amerika dan harus dikeluarkan dengan crane dari rumahnya sendiri oleh tim medis. Konsekuensi dari reputasinya ini, ia harus menghadapi tudingan dan ejekan dari orang-orang, bahkan setelah Libby berhasil menurunkan berat badannya secara signifikan dan mengumpulkan tekad untuk kembali bersekolah umum.

I know what you’re thinking—if you hate it so much and it’s such a burden, just lose the weight, and then that job will go away. But I’m comfortable where I am. I may lose some weight, I may not. But why should what I weigh affect other people? I mean, unless I’m sitting on them, who cares?

Keberaniannya untuk mencintai diri sendiri ini saya acungi jempol, walau terdapat beberapa keambiguan yang hingga saat ini belum saya mengerti. Bagaimana bisa sang ayah tidak sadar anaknya depresi dan lari ke binge-eating? Memangnya tidak pernah dicek ya kondisinya? Saya saja usia segini tiap hari pasti diabsenin sama orang tua. Sebebas itukah Libby?

Sedangkan tokoh laki-lakinya, Jack Mosseley, menderita prosopagnosia. Kondisi ini masuk dalam kategori kelainan otak yang menyebabkan penderitanya tidak bisa mengingat dan mengidentifikasi wajah orang-orang, termasuk wajahnya sendiri dan orang-orang terdekatnya. Baru kali ini lho saya ngeh sama keberadaan prosopagnosia ini, dan bisa dikatakan Jennifer Niven melakukan riset yang cukup matang untuk membuat penyakit ini layak dimunculkan sebagai poin utama di HUTE. Untuk melindungi dirinya sendiri dari kejahatan teman-temannya, Jack mati-matian memunculkan imej sebagai anak populer berengsek yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Diburu atau memburu. Suatu teknik yang bisa saya pahami, tetapi tidak bisa saya terima dengan baik.

Bullying yang diangkat pada novel ini lebih pada verbal bullying dan direct bullying, seperti ketika seseorang mengejek tepat di muka korban atau memasukkan kertas berisi tulisan-tulisan negatif di loker korban. Dan gaes, kejadian semacam ini SERING BANGET terjadi, bahkan sampai kita sendiri secara tidak sadar memakluminya. Jennifer Niven pintar sekali mengemas sentilan-sentilan kepada yang pada hobi nge-bully, bahwa sekecil apapun ejekan yang keluar dari mulut kita, akan memberikan dampak besar pada rasa percaya diri dan bahkan masa depan seseorang. “Berhenti menyakiti orang lain ya, terutama teman yang membutuhkan pertolongan” adalah konsep yang masih kurang ditekankan pada pendidikan kita, sehingga jangan heran deh kalau banyak orang dengan mudahnya menebar kebencian baik di dunia nyata maupun maya.

Versi Buku yang Saya Baca
Saya membaca buku ini di mana saja; ketika di kampus, ketika break ngerjain tugas di perpus, beberapa saat sebelum tidur, dan kesempatan-kesempatan lain. Saya juga membacanya dalam dua versi, yaitu ebook dan audiobook. Mana yang lebih baik, kalau kalian tanya, ebook atau audiobook? Menurut saya pribadi, yang paling praktis dan nyaman adalah versi ebook (atau kalau bisa pegang versi cetak malah lebih bagus). Narator audiobooknya cukup profesional, terutama yang membacakan bab-bab Libby, tapi saya merasa audiobook kurang tepat untuk dinikmati pada situasi ramai. Saya juga kesulitan membedakan mana line dialog dengan line gumaman dalam hati (yang terjadi CUKUP BANYAK), sehingga dibutuhkan konsentrasi ekstra ketika mendengarkannya.

Oke, sekian celotehan dari saya. Jadi intinya, saya cukup menikmati novel ini, dan lumayan deh dapet banyak pengetahuan baru tentang prosopagnosia. Jadi penasaran buat baca novel-novel bertema sejenis ini. Kalau kamu, sudah baca novel ini belum? Atau jadi tertarik membacanya? 
Tinggalkan kesanmu di kolom komentar ya!!

No comments:

Post a Comment