Sunday 4 August 2019

[Review Buku] Maybe You Should Talk to Someone oleh Lori Gottlieb


Maybe You Should Talk to Someone menambah daftar memoar yang saya tamatkan tahun 2019, kali ini membahas tentang bidang psikoterapi. Seperti apa kehidupan pribadi dan profesional seseorang yang bekerja sebagai psikoterapis? Bagaimana cara dia membangun hubungan dengan pasien? Kesulitan-kesulitan apa saja yang dia hadapi dalam bekerja dan apa yang dia lakukan untuk mengatasinya? Dibahas dengan lengkap di sini. Sang penulis, Lori Gottlieb, memiliki gaya menulis yang sangat mudah diikuti berkat latar belakang pendidikan dan pengalaman pekerjaannya sebelum menjadi seorang psikoterapis. Tema yang dia bahas pun menarik, mengingat tidak semua orang punya privilige atau bersedia untuk berkonsultasi dengan psikoterapis. Maka tidak heran jika memoar ini memuncaki daftar terlaris Amazon dan daftar paling sering dibaca Goodreads selama belasan minggu.

Secara garis besar, Maybe You Should Talk to Someone membahas kehidupan Lori pasca ditinggalkan oleh kekasihnya (dengan alasan yang tidak masuk akal) dan kehidupan Lori sebagai seorang psikoterapis. Banyak pembaca yang bosan dengan kegalauan Lori, tetapi menurut saya, bagian itulah yang membedakan memoar ini dengan memoar bertema psikologi lainnya. Lori dengan jujur menceritakan bahwa dalam perkara menangani sakit hatinya sendiri, ia tidak bisa bertindak profesional dan membutuhkan bantuan orang lain. Teman-teman dalam lingkaran karirnya memiliki pandangan yang saling berlawanan mengenai kondisi Lori. Pada akhirnya, Lori mencari bantuan kepada Wendell, seorang psikoterapis yang benar-benar asing baginya. Karena bagaimanapun, seseorang yang diperlukan Lori adalah yang netral dan tidak memihak siapa-siapa. Dari perjuangan Lori inilah pembaca bisa melihat sisi manusiawi seorang psikoterapis, yang tetap punya insecurity dan bisa tersesat dalam pikiran-pikiran negatif meskipun pekerjaan sehari-hari mereka adalah membantu dan membimbing orang lain melihat masalah secara jernih tanpa ada bias penilaian.

Tidak kalah menarik dengan kisah pribadi Lori adalah kisah pasien-pasien yang ia tangani. Di sini pembaca bisa menilai secakap apa Lori sebagai seorang psikoterapis melalui interaksinya dengan beberapa pasien dengan masalah hidup yang beragam. Keluwesan Lori dalam menulis membuat penceritaan bagian ini menyenangkan untuk diikuti. Tidak heran jika pada akhirnya pembaca jadi punya keterikatan emosional dengan pasien-pasien Lori, mengingat pembaca mengikuti perjalanan mereka dari saat pertama kali berkonsultasi (dengan masalah yang begitu ruwet) hingga sesi terakhir mereka. Hal ini membuat pengalaman membaca Maybe You Should Talk to Someone menjadi lebih personal; kita ikut sedih ketika takdir berbeda dari rencana yang mereka tetapkan, kita ikut bangga ketika mereka mengalami progress yang berarti, dan yang paling penting, kita ikut belajar mengenai cara menghadapi masalah dengan kepala dingin melalui interaksi Lori (sebagai psikoterapis) kepada pasien dan interaksi Wendell kepada Lori (sebagai pasien).

Many people don’t know that Elisabeth Kübler-Ross’s familiar stages of grieving—denial, anger, bargaining, depression, acceptance—were conceived in the context of terminally ill patients learning to accept their own deaths. It wasn’t until decades later that the model came to be used for the grieving process more generally. It’s one thing to “accept” the end of your own life, as Julie is struggling to do. But for those who keep on living, the idea that they should be getting to acceptance might make them feel worse (“I should be past this by now”; “I don’t know why I still cry at random times all these years later”). Besides, how can there be an endpoint to love and loss? Do we even want there to be? The price of loving so deeply is feeling so deeply—but it’s also a gift, the gift of being alive. If we no longer feel, we should be grieving our own deaths.

Namun, tetap ada perasaan mengganjal bagi saya ketika membaca memoar ini, yaitu berkaitan dengan data kerahasiaan pasien. Meskipun Lori sudah mengantongi ijin dari pasien-pasien yang dibahas di sini dan mengganti detail-detail mengenai mereka, rasanya kurang etis untuk menjabarkan secara panjang lebar mengenai aib dan musibah yang sedang mereka alami. Yang paling riskan adalah identitas John, produser acara TV Amerika yang pernah menyabet Emmy. Pengembangan karakternya yang begitu mengagumkan membuat banyak pembaca bertanya-tanya siapa identitas dia sesungguhnya di dunia nyata. Apakah Lori sudah berpikiran cukup jauh untuk mengganti detail penting dalam kehidupan karir John di buku agar tidak mudah terlacak oleh netijen S3 ilmu detektif internet?

Saya juga bertanya-tanya mengenai praktik terapi yang dilakukan Lori dan Wendell. Membaca interaksi dan jenis-jenis pasien yang ditangani, saya merasa bahwa Lori dan Wendell adalah psikoterapis high-end. Dengan jadwal pertemuan rutin (seminggu sekali) dan frekuensi yang cukup banyak, sepertinya tidak semua orang bisa membayar jasa Lori dan Wendell. Asuransi kesehatan yang umum dipakai masyarakat Amerika juga tidak mungkin bisa meng-cover semua tagihannya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan: apakah benar kehebatan praktik psikoterapi yang dilakukan Lori dan Wendell adalah standar praktik yang ada? Atau hanya orang-orang kaya saja yang bisa dapat efek seperti itu? Takutnya, mengingat yang diceritakan oleh Lori hanya kisah sukses dan mengharukan, nanti pembaca jadi punya ekspektasi yang kelewat tinggi dan tidak realistis ketika memutuskan untuk mendatangi psikoterapis. Apalagi sudah bayar mahal, kan, bakal sakit hati banget kayaknya kalau ujung-ujungnya gagal/tidak cocok.

Oleh karena itu, saya merasa sangat bingung menghadapi memoar ini. Di satu sisi, saya belajar banyak hal. Tetapi saya cemas apakah manfaat yang saya dapatkan adalah hasil dari mengorbankan kemaslahatan beberapa pihak? Apakah memoar ini menunjukkan kredibilitas Lori sebagai seorang profesional atau malah merusaknya? 

No comments:

Post a Comment