Friday 4 June 2021

Progress Membaca Januari - Mei 2021

Di awal pandemi, saya si introvert naif merasa sangat secure karena berpikir waktu untuk melakukan hobi-hobi egois akan jadi semakin panjang. Yah, salah satunya membaca. Berapa buku yang saat itu saya ekspektasikan akan terbabat habis? Enam puluh? Seratus?

Realitanya sih, dari pandemi dimulai hingga akhir tahun 2020, saya NYARIS tidak bisa menamatkan satu pun buku! Yang pada akhirnya tertamatkan pun tidak disertai dengan pengalaman yang enjoyable, sehingga sering terpikir, "Apa gunanya membaca jika tidak mendatangkan percikan rasa bahagia dan takjub atas informasi baru?" Karena itu, di awal tahun 2021, saya tidak berekspektasi muluk-muluk. Di Goodreads pun, saya hanya mematok goal untuk menamatkan 3 buku saja dalam satu tahun. Yeah, the bar is really that low. Mau baca, silahkan. Mau libur dan cari hobi baru, silahkan. Toh, belajar nggak cuma datang dari buku.

Makanya, heran juga saya ketika per akhir Mei, saya berhasil menamatkan 6 buku. Genre terpilih macam-macam, disesuaikan dengan suasana hati saat itu. 


Poisoner in Chief adalah buku PO ketika masih jaman suka baca biografi sejarah. Nunggunya lama banget, dan setelah melewati proses maju-mundur, eliminasi-eh nggak jadi dieliminasi, trus eh nekat beli (dengan saldo-saldo terakhir di rekening), pada akhirnya saya membacanya dengan ekspektasi yang nggak wajar tingginya. Memang sih informasi yang dijabarkan lengkap, tapi saya tuh merasa ada yang kurang. Bisa jadi saya nggak cocok sama gaya penulisannya, atau memang saya nggak peduli-peduli amat setelah informasi yang menggugah saya sebelumnya sudah terjawab oleh penulis di awal bab, atau..... karena buku ini gagal memberikan konklusi yang jelas. Sisi positifnya sih, saya jadi paham tentang detail MK-ULTRA dan betapa teganya penguasa yang mengatasnamakan kepentingan satu negara untuk menjustifikasi tindakan keji dan tidak manusiawi. 

The Radium Girls ini sebenarnya terbaca sebelum Poisoner in Chief, dan jujur saja, sama tidak berhasilnya dalam membuat saya kagum dengan cerita yang disajikan. Buku ini tuh tebal sekali, hampir 500 halaman. Mungkin untuk menggambarkan sudut pandang cerita yang mendetail tanpa meninggalkan satu korban pun, ya. Tapi bagi saya, kengototan untuk over-sharing membuat repetisi informasi terjadi di sana sini. Malas tapi kepalang tanggung membuat saya tidak bisa ikut berbahagia atas keberhasilan para Radium Girls melawan mantan perusahaan-perusahaan jahat tempat mereka bekerja. Oh ya, bagi kalian yang gampang bergidik dengan luka yang terlalu eksplisit detailnya, mungkin buku ini bukan untuk kalian. I'm really, really proud of you, girls, it's just a shame I approached you at the wrong time/mood.

Kurang sukses di 2 buku biografi sejarah membuat saya memilih untuk berganti genre. Kebetulan, teman saya menghadiahkan antologi dari Murakami (hehe trimikici kak reiza). Seperti yang diharapkan, buku ini bisa tamat dalam waktu kurang dari seminggu! Dan saya sangat enjoy ketika membacanya! It's all that matters, honestly. Kesampingkan fakta bahwa Murakami selalu menulis tokoh yang shitty as a human being, plot dan detail yang kadang nggak masuk di akal membuat saya cepat sekali menamatkan satu judul ke judul selanjutnya. Hingga tidak sadar, saya sudah mencapai halaman paling akhir dan harus mengucapkan selamat tinggal kepada buku kecil ini. (Btw, untung judulnya Men Without Women, ya. Kalau Women Without Men, kayaknya saya bakal di-judge rekan kerja sebagai feminis garis keras yang kolot LOL *meski, tidak salah juga sih*).

Satu buku Murakami membawa saya ke buku Murakami selanjutnya. Beli di Periplus dengan harga diskon, Killing Commendatore justru menjadi buku yang paling menghibur saya sepanjang tahun ini. Lebih mengagetkan lagi, saya sangat attached pada tokoh utama (yang kita nggak tahu namanya sama sekali) dan invested pada apa yang akan dia alami sepanjang cerita. Saya sadar, alasannya lebih ke personal: protagonis merupakan seorang pelukis dan sedang menyembuhkan luka patah hati setelah dikhianati istrinya. Cara dia memandang seni, kesedihan diam-diam yang dialami, dan coping mechanism yang diadopsi.... saya bisa sekali membayangkan diri saya di posisinya. Entah keberuntungan atau sesuatu yang harus disayangkan saya membaca buku ini tiga tahun pasca saya mengalami hal yang sama dengan si protagonis. Yang pasti, membacanya saat ini, saya bisa merefleksikannya dari kacamata yang lebih tenang dan dewasa. Cukup sedih ketika mencapai akhir cerita, padahal sudah setia ditemani lebih dari 700 lembar penuh cerita.

41045102. sy475
Circe adalah buku yang sudah dua tahunan mangkrak di rak buku rumah, terpilih karena saya merasa masih butuh berlama-lama di dunia fiksi. Banyak yang bilang Circe tidak bisa menyaingi The Song Achilles dan menurut saya pernyataan itu benar dan salah pada saat bersamaan. Benar karena secara kasar, The Song of Achilles >>>>> Circe. Dan salah karena, sesungguhnya keduanya tidak bisa dibandingkan secara apple to apple. The Song of Achilles diceritakan dari sudut pandang seseorang yang sangat menyayangi Achilles, sedangan Circe diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Jadi, intimasi pembaca dalam mendekati cerita jelas tidak bisa dibandingkan, bagai langit dan bumi. Tetapi, dari buku ini saya sangat menikmati perjalanan Circe sebagai ibu dan bisa bersimpati dengan keinginannya untuk melindungi sang anak, entah dengan bagaimanapun caranya. Saran saya sih, abaikan saja versi dirinya di awal-awal, memang kayaknya sengaja untuk bikin kita sebel.

Jujur? Saya belum tamat ini hehe. Tapi bukunya ketinggalan di kantor sedangkan ini saya lagi jalan-jalan dan fokus ke buku lain. Sudah hampir tamat, kok, jadi bisa saya simpulkan saja ya: buku ini lucu! Saya suka ketawa sendiri membaca tingkah Count Rostov dan orang-orang yang ada di sekitarnya (di Hotel Metropol). Tapi karena ceritanya berkiblat pada apa yang terjadi di Rusia di tahun 1930-an, akan ada banyak hal sedih dan haru yang juga diceritakan. Ada satu plot twist besar yang bikin saya makin suka (atau malah nggak habis pikir?) sama Count Rostov. Pembelajaran besar tersampaikan dari buku ini adalah: mungkin apa yang kita anggap penderitaan dan hukuman sebenarnya merupakan berkat terbaik yang hadir di hidup kita. A Gentleman in Moscow merupakan salah satu rekomendasi Bill Gates, sehingga saya bisa mencoret satu buku dari daftar panjangnya (mengingat apa yang sedang beliau alami saat ini, nggak yakin dalam waktu dekat akan ada rekomendasi baru, so I'll enjoy what I've got so far).


Beklah. Panjang juga, ya. Padahal sudah saya buat sesingkat mungkin. Untuk saat ini, saya lagi baca biografi sejarah lagi. Setelah jalan-jalan jauh, akhirnya kembali ke akar juga. Mungkin akan saya ulas, mungkin juga tidak. Semua tergantung suasana hati. Sampai jumpa di..... waktu terdekat saya membuka blogspot lagi.

No comments:

Post a Comment