Friday 21 February 2014

[Book Review] The Beginning of Everything by Robyn Schneider

The Beginning of Everything (judul asli: Severed Heads, Broken Hearts)
penulis Robyn Schneider
335 halaman, Young Adult/ Contemporary
Dipublikasikan 27 Agustus 2013 oleh Katherine Tegen

Sometimes I think that everyone has a tragedy waiting for them, that the people buying milk in their pajamas or picking their noses at stoplights could be only moments away from disaster. That everyone’s life, no matter how unremarkable, has a moment when it will become extraordinary—a single encounter after everything that really matters will happen.

Teori itulah yang dipegang Ezra Faulkner sejak dulu. Bagi Ezra, kehidupan seseorang baru akan benar-benar dimulai setelah orang tersebut mengalami sebuah tragedi besar dalam hidupnya. Tragedi bagi Toby Ellicott, sahabatnya, datang ketika ia merayakan ulang tahun ke-12 di Disneyland. Toby dan Ezra memilih tempat duduk roller coaster paling belakang, dan seorang turis Jepang yang duduk di depan Toby tidak mengindahkan peringatan dengan berdiri ketika roller coaster melaju kencang menuju terowongan berlangit-langit rendah.

Bisa dibayangkan betapa shocknya Toby karena selama sisa perjalanan, ia harus memegang kepala turis yang terpenggal. Dan itu terjadi di hari ulang tahunnya.

Di saat Toby harus menjalani tahun-tahun selanjutnya dengan ejekan kepala terpenggal, hidup Ezra terus melaju mulus. Dia berbakat bermain tenis, populer, golden-boy-material (Kapten Tenis dan Homecoming King, okay?). Hingga tragedi pun menghampiri kehidupannya.


Ezra Faulkner mengalami kecelakaan di usianya yang ke-17, lututnya remuk dan dia tidak bisa bermain tenis lagi. Tragedi itu merubah Ezra. Dia merasakan sulit untuk tetap makan siang bersama teman-teman satu tim tenisnya, ketika yang ada di pikirannya adalah “mereka masih bisa bermain tenis sepulang sekolah, sedangkan aku harus memakai tongkat untuk membantuku berjalan”. Pacarnya yang populer berpaling kepada kapten tenis baru. Hidupnya jungkir balik dan dia harus berusaha tetap berdiri tegak.

Hingga akhirnya Toby kembali memasuki hidup Ezra. Dia mulai menjalani kehidupan baru bersama dengan Toby, teman-teman barunya di tim debat, dan Cassidy, cewek baru yang unik dan misterius. Cassidy tidak seperti cewek tidak biasa yang biasa kita temui dalam cerita (sedikit mengingatkanku pada Margo di Paper Towns). Tapi setelah dipikir-pikir…. ah enggak mirip juga. Cassidy yang pintar, yang belum mampu keluar dari belenggu tragedinya sendiri, telah memikat Ezra sejak awal.

“Ezra, the girl you’re chasing after doesn’t exist. I’m not some bohemian adventurer who takes you on treasure hunts and sends you secret messages. I’m this sad, lonely mess who studies too much and pushes people away and hides in her haunted house.”


The way I figured it, keeping quiet was safe. Words could betray you if you chose the wrong ones, or mean less if you used too many. Jokes could be grandly miscalculated, or stories demand boring, and I’d learned early on that my sense of humor and ideas about what sorts of things were fascinating didn’t exactly overlap with my friends.

INI YANG AKU HARAPKAN TENTANG BAGAIMANA SEHARUSNYA PIKIRAN COWOK BEKERJA. Aku suka sekali dengan gaya penulisan yang dituturkan dari sudut pandang Ezra (my book boyfriend this year!). Menyenangkan rasanya jadi saksi perubahan Ezra dan kisah yang dibangun antara dia dengan Cassidy. Aku tidak mengharapkan ending yang macam-macam. Hanya terus dan terus membaca. Bagaimana mungkin aku melewatkan buku ini setelah sekian lama haaaaaaah?


You know, poet is not my thing. Aku selalu mengira bahwa puisi itu adalah seni. Dan jenis seni yang tidak bisa kupahami (I read Lang Leav’s once and suddenly my mind goes blank). Buku ini adalah jenis puisi yang bisa kupahami. Kata-katanya itu lho…… puitis sekali. Dan setiap aku kembali ke beberapa halaman sebelumnya, aku selalu menemukan potongan-potongan makna ganda atau petunjuk. Atau nasehat hidup. Atau tamparan. Pokoknya aaaaaaaah aku suka sekali sama buku ini.

I wondered what things became when you no longer needed them, and I wondered what the future would hold once we’d gotten past our personal tragedies and proven them ultimately survivable.

So here what I say: read the book and tell me what do you think about the flash mob part because I loooooooove it!


About the Author

ROBYN SCHNEIDER is a writer, actor, and online personality who misspent her youth in a town coincidentally similar to Eastwood. Robyn is a graduate of Columbia University, where she studied creative writing, and the University of Pennsylvania School of Medicine, where she studied medical ethics. She lives in Los Angeles, California, but also on the internet. You can watch her vlogs at youtube.com/robynisrarelyfunny and follow her on Twitter, Tumblr, Facebook, and Instagram.


4 comments:

  1. Myaa... ehem ceritanya kayak keren nih, semacam buku bukan-self-help tapi sangat bagus sehingga helping (?) kali ya >w< penasaran soal cassidy/ezra nya *w*

    ReplyDelete
  2. lebih ke dengerin curhatannya ezra tapi dia nggak annoying dan nggak asal "teori". jadi jatunya enggak merasa digurui :))

    ReplyDelete
  3. Gue suka karakter cassidy. Coba gue punya cewek kayak gituu haha

    ReplyDelete