penulis Windry Ramadhina
330 halaman, Young Adult/ Romance
Dipublikasikan oleh Gagas Media,
2013
Tahu-tahu saja, ia tidak terjangkau.Padahal, sebelum itu dia selalu ada di sisiku.
Berawal dari celetukan ngawur
ketika mabuk, Gilang membulatkan tekad untuk mengejar Ning ke London. Ning
adalah sahabat Gilang semenjak kecil dan sudah enam tahun lamanya Gilang
memendam perasaan kepada sahabatnya itu. Friendzone
garis keras sepertinya. Sebagai penulis dan editor novel roman, jiwa Gilang
yang memang sudah dari sononya romantis ingin memberikan kejutan kepada Ning
dengan datang diam-diam dan langsung mengetuk pintu Ning di London sana. Agak creepy sih, untung Ning nggak jantungan *sigh*.
Sudah jauh-jauh sampai ke London,
ternyata Ning sedang pergi selama beberapa hari untuk mengambil lukisan (Ning
bekerja di Tate Modern), tidak pasti kapan pulangnya. Padahal waktu Gilang di
sana kan terbatas.
Pelayan di tempatnya menginap menyarankan dia untuk jalan-jalan menikmati
London sembari menunggu Ning pulang.
Emang dasar kampret, hujan aja di
sana jadi romantis. Pindah juga nih, aku! Ketika hujan (baca: gerimis kecil)
pula, Gilang bertemu dengan gadis cantik berpayung merah, yang menyeretnya
menaiki London Eye. Seakan tersihir, Gilang yang aslinya takut ketinggian pun
menurut saja. Dan ketika perjalanan kecil mereka berakhir, sang gadis ikut
menghilang bersamaan dengan berhentinya hujan. Gilang menamainya Goldilocks
karena parasnya yang begitu rupawan.
Saat itulah Gilang sadar bahwa
Goldilocks meninggalkan payungnya yang berwarna merah.
“Kau tidak belajar mencintainya. Kau mencintai dengan sendirinya.”
London yang berhujan menjadi setting utama novel ini. Dan konon
katanya, hujan di London tidak seperti di Negara kita yang derasnya seperti…
Ide ceritanya sebenarnya sangat
sederhana; seseorang yang mencintai sahabatnya sendiri, tetapi terlambat sadar
sehingga sang pujaan
hati terlanjur pergi (ecieh). Eksekusinya dilakukan dengan bagus, walaupun
bahasa yang digunakan agak “berat”, tipikal yang nggak bakal kita digunakan
dalam percakapan sehari-hari. Diksinya kaya, dan suasananya “hujan”
banget. Aku bisa menangkapnya dengan baik. So….
okay ;)
Konon, hujan turun membawa serta malaikat surga.
Siapa sih yang meragukan
keindahan London? Melalui buku ini, aku bisa tahu tempat-tempat yang (sudah)
aku tandai sebagai tempat-yang-wajib-banget-dikunjungi kalau aku berkesempatan
pergi ke sana. Dari mulai Underground, London Eye (sumpah awalnya aku nggak
tahu di London ada London Eye, terus pas lihat openingnya Sherlock aku baru nyadar….. ohh itu toh yang namanya
London Eye *kampungan*), dan berbagai tempat lain yang bangunan-bangunannya
udah tua tapi masih terawat. Dengan atau tanpa Ning, perjalanan Gilang
menjelajahi tempat-tempat di sana diceritakan dengan apik dan detail oleh
penulis, walaupun awalnya aku merasa lambaaaat banget. Tapi tenang saja,
setelah menyesuaikan dengan gaya penulisannya, aku bisa menikmatinya dengan
baik.
Aku suka sekali dengan julukan Goldilocks yang diberikan
Gilang kepada gadis asing berpayung merah (jadi ingat, kemarin Mami sempat tanya
penampakan apa sih yang aku jadiin background Twitter. Mami ngiranya asparagus,
padahal kan aslinya tulip hiks T______T). Jadi mungkin besok kalo ada cowok cute asing yang ngikutin aku (perlu
diberikan penekanan pada kata cute),
akan aku kasih julukan Asparagus. Fix!
Sayang, kartu pos yang menyambung dengan cover depan membuat aku jadi lumayan terganggu ketika menggenggam bukunya. Nggak nyaman waktu membolak-balik halaman karena tanganku harus menyesuaikan lagi, dan lagi.
Gara-gara novel ini, aku jadi sering senyum-senyum sendiri, dan ada
satu adegan mengharukan gegara si payung merah. Endingnya….. ah endingnya :’) Makasih Mami Khairisa sudah meminjamkan novel indah ini. Ngembaliinnya….
kapan-kapan ya eheheh.
No comments:
Post a Comment